Tampilkan postingan dengan label Traveling & Kuliner. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Traveling & Kuliner. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Oktober 2024

Jalan-jalan ke Malaysia

Niatnya setelah landing di Jakarta gue bakal bikin tulisan soal perjalanan gue ke Kuala Lumpur, Malaysia. It took nearly seven months for my travels to find their way into words.

Ide jalan-jalan ke Malaysia ini muncul karena gue kangen traveling, lebih tepatnya I'm a bit tired of living my adult life. Gue pun memborbardir Cici biar mau ke Malaysia. Pucuk dicinta ulam pun tiba, band asal Korea Selatan yang kita dengarkan, wave to earth, konser di Asia, termasuk Kuala Lumpur dan Jakarta.

So, tujuan utama jalan-jalan ke Malaysia ini adalah untuk menonton konser wave to earth di Kuala Lumpur. Namun, rasanya bukan gue dan Cici kalau nggak hunting kopi dan matcha tiap ke tempat baru. Bukan gue dan Cici juga kalau nggak melakukan hal aneh pas traveling.

Gue dan Cici liburan ke Kuala Lumpur tanggal 1-4 Maret 2024 karena konser wave to earth digelar pada Sabtu, 2 Maret 2024. Kita terbang dari Jakarta pukul 09:40 WIB dan tiba di Kuala Lumpur pukul 12:40 waktu Malaysia. Btw, Malaysia itu 1 jam lebih cepat dari Jakarta.

Hal pertama yang gue sadari ketika mau landing adalah bandara Kuala Lumpur dikelilingi pohon sawit yang luas banget, lalu cukup jauh dari kota. Untuk menuju hotel, kita naik bus yang tiketnya bisa dipesang langsung maupun online  dengan tuhuan KL Sentral, stasiun utama di Kuala Lumpur. Dari KL Sentral kita lanjut naik MRT dan jalan sedikit untu ke hotel.

Kita menginap di Pacific Regency Suit Hotel yang letaknya persis di sebrang KL Tower. Gue sangat merekomendasikan hotel ini karena harganya sebanding dengan ukuran dan fasilitas kamar yang dikasih. Cuma, hotel ini kurang strategis kalau kalian malas jalan kaki terlalu jauh buat ke MRT. Nah, cocok buat yang suka jalan kaki karena jarak hotel ini ke Petronas Tower dan Pavilion itu kurang dari 2 kilometer.

Day 1

Gue dan Cici sampai hotel sudah agak sore. Setelah bersih-bersih, malamnya kita ke Pavilion KL dan sekitarnya buat mengisi perut. At some point I still wonder, why are we going to the mall again for dinner, instead of going to Jalan Alor to look for delicious local cuisine. Kita makan nasi kandar di sebrang Fahrenheit88. Gue memutuskan makan sepiring berdua Cici karena porsinya besar banget. Ini pertama kalinya gue makan nasi kandar, yang mengingatkan gue dengan nasi padang atau nasi kapau. Nasi dengan lauk yang disiram berbagai macam kuah yang kaya akan bumbu rempah. Btw, selain rasa nasi kandarnya yang juara, teh tarik di sini juga enak banget, enggak terlalu manis seperti pada umumnya.

Setelah puas keliling area Pavilion, gue dan Cici memutuskan untuk balik hotel dengan jalan kaki. Sepanjang perjalanan, gue menyimpulkan bahwa KL itu mirip dengan Jakarta, lebih tepatnya area Blok M dan sekitar. Ada jalan MRT di bagian atas, jalanan di bawahnya macet dan sesekali klakson dibunyikan karena nggak sabar buat jalan, dan beberapa orang yang menyebrang sembarangan. Bedanya cuma di kontur jalanan KL yang agak naik-turun. Fyi, gue turun 4 kilogram selama liburan di sini!

Day 2

Gue bilang, kan, pasti akan ada kelakuan aneh selama traveling? Di hari kedua, kita memutuskan buka jastip nastar dan cokelat Beryl's. Jadi, ada nastar yang viral banget di sini dan banyak orang yang buka jastip, kita pun ikutan. Jadilah kita kejar-kejaran sama waktu karena hari ini mau ke kafe Niko Neko Matcha dan Zepp Kuala Lumpur buat nonton konser wave to earth.

Apakah jastip ini berhasil? Sayangnya nggak karena kita sampai di Suria terlalu siang, yaitu jam setengah 11. Padahal mall juga buka jam 10, tapi ternyata banyak orang yang antre di depan toko nastar itu dari jam 9! Dari sana kita langsung ke Pavilion buat beli cokelat Beryl's. Fyi, kita keliling dengan jalan kaki pas hari itu. What a tough-fun day.

Setelah sampai hotel, kita memutuskan buat tidur siang sebentar sebelum pergi lagi. Kita sudah nggak sanggup jalan kaki ke MRT, akhirnya kita putuskan untuk naik Grab saja ke kafe. Honestly, I’m completely enchanted by the cafe and shop atmosphere in KL. It feels like stepping into a charming modern old town, where every corner is filled with warmth and nostalgia.

Pas sampai, kafenya itu penuh banget, jadi kita harus take away. Pas lagi antre, pelayannya bilang ada bangku kosong buat kita. Atas rekomendasi pelayan yang ganteng itu, gue pesan Sayamakaori yang rasanya ringan dan agak manis, cocok buat semua orang. Sementara Cici pesan Gokou yang rasanya pahit, mirip kayak kulit kuaci yang putih. 

Btwdi kafe ini nggak ada makanan berat, jadi kita memutuskan buat cari makan di tempat konser. Jujur, tempat konsernya punya vibes kayak Ashta! Depannya itu gedung kantor, tapi bagian belakangnya mall. Kita pun makan nasi hainan dan keliling mall buat killing time.

Setelah nonton konser wave to earth ini, gue makin suka sama mereka! Cuma, gue nggak mau lagi nonton konser di luar Indonesia, terutama kalau berdiri. Sumpah, semua pada angkat hp setinggi harapan orang tua. Gue enggak bisa melihat para personil wave to earth dengan jelas karena sangat terhalang. Beda kalau di Indonesia, terutama KPop yang punya kesepakatan untuk angkat hp maksimal di eye level.

Day 3

Gue melakukan kebodohan di hari ketiga. Rencananya kita bakal main di Genting Highlands dan Batu Caves. Gue dan Cici naik bus dari KL Sentral buat ke Genting Highlands. Setelah sampai, kita langsung antre buat naik gondola sampai. Sumpah, gue kira nggak akan semenyeramkan itu, ternyata cukup bikin deg-degan. Kalau kalian takut ketinggan, jangan beli yang lantainya kaca.

I thought Batu Caves was in Genting Highlands, but it turns out they are two different places! Jadinya gue cuma mampir ke Chin Swee Caves Temple karena balik lagi pun nggak bisa dan kita sudah punya tiket pulang. Setelah itu, kita keliling Genting Highlands Premium Outlets dan makan mi kari yang super enak itu! Personally, Genting Highlands ini mirip kayak Lembang, dingin, gerimis, dan berkabut. Kalau baru pertama kali ke KL, oke untuk ke sini.

One of the most exciting things about traveling with Cici is that she is always excited to buy snacks! Setelah sampai di KL Sentral, kita memutuskan untuk ke Hanifa, swalayan di Kuala Lumpur yang vibes-nya Tanah Abang banget. Kita beli cokelat dan berbagai macam mi kari. Dari sini, harusnya kita makan malam di Pavilion, tapi karena terlalu lelah, kita memutuskan untuk balik ke hotel dan pesan Grab Food saja.

See? Orang gila mana yang pesan makanan online pas traveling.

Day 4

Btw, kita belum menyerah sama usaha jastip ini! Di hari keempat, kita sengaja bangun lebih pagi buat ke Suria. And you know what? Kita tetap kehabisan! Kita pun memutuskan untuk mencari kopi dulu sebelum balik ke hotel dan pulang ke Jakarta. Ini adalah salah satu agenda kita pas traveling, cari kopi dan matcha terbaik di berbagai belahan dunia!

The atmosphere in KL is unique, with many tall buildings, but surrounded by hills. It feels modern and nostalgic at the same time. The sidewalks in KL are much better than in Jakarta. The streets are also nicer and cleaner, although I still find beggars and street vendors in KL, but not as many as in Jakarta. Btw, we also took Grab there several times. I swear, no one drives smoothly, it makes me nauseous and scared.

Overall, I really enjoyed my trip to KL with Cici this time! We had a lot of fun together, and even the little bumps along the way made our adventure even more memorable.

Sabtu, 25 November 2023

Jalan-jalan ke Singapura

 


Mungkin apa yang terjadi sekarang adalah impian dan harapan kita di masa lalu

Ini adalah salah satu impianku di masa lalu yang terwujud. Tumbuh dengan teman-teman yang pergi ke luar negeri saat liburan sekolah, membuatku berpikir 'bagaimana rasanya jalan-jalan ke luar negeri?' dan hari itu, meskipun-butuh-waktu-beberapa-tahun akhirnya terjawab.

Ada perasaan gembira saat aku ingin membuat paspor beberapa bulan lalu. Buku kecil bersampul hijau tua yang wajib kumiliki jika ingin berpergian ke luar negeri. Saat paspor sudah di tangan, ada diriku versi remaja yang sedang loncat kegirangan di sana.

Long story short, aku menghabiskan waktu 4 hari 3 malam di Singapura bersama temanku, Cici. Kami berangkat dari Bandara Soekarno Hatta pada Jumat, 25 Agustus 2023 sekitar pukul 11 siang waktu Jakarta dan tiba di Bandara Changi sekitar pukul 2 siang waktu Singapura.

Setelah urusan imigrasi dan Ez-Link (kartu MRT) selesai, kami pun menyempatkan diri untuk ke Jewel. Rasanya belum afdol kalau singgah di Bandara Changi, tetapi enggak ke Jewel.

It's really huge dan ada banyak spot untuk berfoto, dari lantai dasar hingga atas. Mungkin karena sudah lelah, kami hanya mengambil beberapa foto dan video saja. Kami juga sudah punya janji untuk bertemu Kak Mel, temanku yang tinggal di Singapura. 

Kami sedang kejar-kejaran dengan waktu.

Day 1: Makan Malam dan Minum Kopi di Orchard

Salah satu hal yang aku suka dari Singapura adalah transportasi umum yang sangat memadai. Kami menggunakan MRT dari bandara untuk ke hotel yang berada di Owen Road. Mungkin bisa jadi referensi kalian, kami menginap di Owen House by Hmlet, hotel bintang 3 yang lokasinya sangat strategis dan dekat MRT Farrer Park.

Aku suka banget sama hotel ini karena bersih dan wangi. Kamar bernuansa hijau ini cukup luas dengan desain kamar mandi yang menurutku cantik dan praktis. Aku akui, untuk harganya cukup mahal karena ada banyak hotel di Singapura yang lebih murah. Hanya saja, aku dan Cici punya preferensi soal hotel, yaitu strategis, ada jendela yang luas, dan kamar mandi yang bagus. Kami mendapatkan itu semua di Owen House by Hmlet.

Setelah tiba di hotel, kami pun beberes untuk untuk bertemu Kak Mel di salah satu mall di area Orchard. Aku dan Cici sampai di sana sekitar pukul 7 malam waktu Singapura. Kami putuskan untuk makan malam dengan kari ayam dan udang. Porsinya itu besar banget dan ternyata bisa di-sharing.

Setelah makan dan keliling mall, kami pergi ke area luar dan beli minuman di Luckin Coffee. Aku pesan mocha latte dan sumpah, ini kopi ternikmat yang pernah aku coba dalam hidup! Aku suka banget kopi di kedai ini. Meskipun secara harga jauh lebih mahal dari Jakarta, Luckin Coffee bakal jadi tempat kopi pilihanku kalau balik ke Singapura nanti!

Day 2: Main di Universal Studio Singapore dan Minum Kopi Marina Bay

Hari kedua adalah hari aku mewujudkan rasa penasarakanku saat remaja. Main ke Universal Studio Singapore atau USS. Aku versi remaja lagi-lagi teriak kegirangan di sana.

Buat kalian yang belum ke sini, USS berada di pulau yang berbeda, yaitu Sentosa Island. Kami menggunakan MRT untuk kesana. Kami berhenti di VivoCity dan beli sarapan sebelum lanjut naik kereta ke Sentosa Island. Sejujurnya aku bingung mau sarapan apa, jadi aku pilih makan KFC dan beli minuman di Mr. Coconut. Kata orang-orang ini adalah minuman yang wajib dicoba kalau ke Singapura.

Setelah sampai di USS, kami sempat berfoto di globe yang ikonik itu. Setelah scan tiket yang dibeli secara online, kami masuk dan berkeliling. Sejujurnya kami hanya ingin 'absen' saja karena rasanya kurang afdol main ke Singapura, tetapi enggak ke USS. 

Kami hanya naik dua permainan, yaitu Revenge of the Mummy dan Human, roller coaster indoor dan outdoor. Kalian harus coba Revenge of the Mummy karena seru banget! Sejujurnya, lebih banyak permainan di Dufan daripada USS. Cuma, kalau kalian pertama kali ke Singapura, rasanya tetap harus mengunjungi USS dan sabar mengantre. Aku dan Cici memang kurang tertarik untuk mengantre lama-lama, sehingga kami hanya berkeliling dan berfoto.

Sekitar jam setengah 4 sore, kami beranjak dari USS. Kami menyempatkan diri untuk makan fish noodle di VivoCity, lalu lanjut ke area Marina Bay untuk 'absen' ke patung Merlion dan minum kopi sambil menikmati angin sore Singapura.

Day 3: Makan Siang di Haji Lane dan Chinatown, Naik Kapal di Fort Canning, dan Nonton Garden by The Bays di Marina Bay

Selayaknya turis, tentu kami juga mengunjungi tempat-tempat yang populer. Di hari ketiga, sekitar pukul 10 berangkat ke area Haji Lane, gang aesthetic yang dipenuhi banyak kafe. Sebenarnya ada banyak jalan di area ini dan punya vibes yang sama. Setelah puas berkeliling dan kepanasan, aku dan Cici makan Nasi Padang yang berada di dekat Sultan Mosque.

Fun fact, setelah minum teh tarik di VivoCity, kami jadi pesan teh tarik di setiap kesempatan. Kami pun sepakat kalau teh tarik di Singapura itu enak banget!

Rasanya, sebagian besar perjalanan kami diisi untuk makan dan minum kopi karena setelah makan nasi padang, kami lanjut ke Chinatown untuk makan di The Populus, kafe di Neil Rd. Kami memesan spaghetti bolognese yang ternyata berukuran besar dan dua kopi. Aku suka kafe ini! Selain makanannya bisa sharing dan kopinya enak, tempat ini juga terasa hangat. Interiornya didominasi warna cokelat dengan lampu yang temaram.

Btw, Neil Rd. ini dekat dengan Maxwell Food Centre yang punya banyak stand makanan dan minuman khas Singapura. Cici pengin banget makan nasi hainan di sana, tetapi niat ini harus diurungkan karena kami sudah makan dua kali! 

Sekitar pukul 3 sore, kami lanjut ke area Fort Canning, sebuah terowongan aesthteic. Ini salah satu tempat yang ikonik dan banyak dikunjuni turis untuk berfoto. Setelah berfoto, kami lanjut ke WaterB River Cruise Singapore untuk naik perahu dari Fort Canning ke Marina Bay. Kami menghabiskan waktu berjam-jam di Marina Bay sambil menunggu pertunjukkan Garden by The Bays pada pukul 19:45 dan 20:45 waktu Singapura. 

Setelah pertunjukkan selesai, kami pulang dan beli oleh-oleh di dekat hotel karena rasanya enggak keburu kalau beli besok.

Day 4: Belanja di IMM, Makan Siang di Maxwell Food Centre, Minum Kopi di Orchard, dan Pulang ke Jakarta

Oh, Cici masih penasaran untuk makan di Maxwell Food Centre. Ada nasi hainan yang katanya enak menurut orang-orang di TikTok. Aku bilang ke dia, kalau mau makan di sana, bangunnya harus pagi. Dia pun setuju. Biasanya kami keluar hotel pukul 10 pagi, tetapi hari itu,  jam 9 pun kami sudah rapi.

Sebelum ke Maxwell Food Center, kami pergi ke IMM terlebih dahulu. Mungkin kalian pernah dengar kalau barang branded itu lebih murah di luar negeri. Akhirnya, kamu memutuskan untuk ke IMM karena banyak mid-high end brand dengan harga miring di sini. Aku baru sadar kalau mall di Singapura baru buka pukul 11 pagi, sedangkan kami sudah sampai sejak pukul 10 pagi. Alhasil, kami sarapan dulu di McD sembari menunggu toko-toko buka.

Setelah keliling di IMM, kami langsung ke Maxwell Food Center mengunakan MRT. Sayangnya, nasi hainan yang Cici mau tutup. Akhirnya kami makan kwetiau dan mie goreng dengan dua gelas teh tarik. 

Aku punya cerita menarik soal ini. Kalian pernah penasaran dengan tempat-tempat di novel yang kalian baca? Kalau ya, berarti relate dengan Cici. Dia mau minum kopi Alchemist di area Orchard karena tempat kopi itu disebut di novel favoritnya. Setelah makan, kami pun ke area Orchard untuk minum kopi itu. Syukurnya aku pun pecinta kopi dan turns out, kopi Alchemist enak. Kalau kalian suka kopi, kalian wajib coba!

Setelah itu, kami pergi beli oleh-oleh khas Singapura alias Garret Popcorn di salah satu mall di sana. Fun fact, ada satu hal yang kami lewatkan di area ini. Bisa-bisanya kami enggak beli es krim 1 dollar. Padahal ini salah satu hal yang rasanya wajib dilakukan kalau main ke Singapura.

Long story short, kami bergegas kembali ke hotel dan langsung berangkat ke Bandara untuk pulang ke Jakarta.

Rangkuman Jalan-jalan ke Singapore

Aku mau pengakuan dosa, sedikit. Sebenarnya, perjalanan ini adalah bentuk ketakutan dan kecemasanku atas suatu hal yang enggak bisa aku jabarkan di sini. Aku memohon pada Cici agar perjalanan ini terlaksana. Awalnya, kami mau ke Korea Selatan, tetapi rasanya tahun ini bukan waktu yang tepat.

Selain itu, awalnya aku juga takut dengan perjalanan ini karena jadi penguji pertemanan belasan tahun kami. Mungkin kalian pernah dengar, kan, salah satu cara mengetahui apakah cocok atau enggak dengan seseorang, pergilah traveling dengannya. 

Aku rasa ada benarnya karena di tempat baru ini aku dan Cici harus banyak kompromi. Soalnya, aku tidur dengan keadaan gelap total, sedangkan Cici sebaliknya. Kemarin, kami sepakat untuk tidur dengan lampu yang temaram. Itu baru contoh kecil dari perjalanan kami.

Syukurnya, caraku dan Cici menghabiskan uang itu mirip. Jadi enggak ada kesenjangan yang signifikan soal jajan. Menurutku ini penting banget karena perbedaan ini bisa jadi masalah.

Terlepas dari rasa takutku dan kompromi dengan Cici, aku suka Singapura. Meskipun secara pemandangan dan cuaca itu mirip Jakarta, aku suka transportasi di sana karena sangat memadai. Untuk aku yang baru pertama kali, MRT di Singapura sangat mudah untuk digunakan. Aku juga suka keteraturan di sana.  Bagaimana orang-orang berdiri di sisi kiri dan langsung jalan saat di sisi kanan eskalator. Soalnya, di Jakarta itu kebanyakan orang harus diteriaki satpam terlebih dahulu.

Selama 4 hari di Singapura, isi kepalaku sangat ringan. Aku hanya perlu memikirkan jurusan MRT apa yang harus aku pilih. Sitting and sipping coffee there would probably be my weekend's main activity. My hair and face feel so good when the fresh air meets them. All of the things that made my shoulders feel heavy seemed to be swept away.

Due to that fear and anxiousness, seeing the Garden by the Bay show truly made me a little teary-eyed. The show was very outstanding. That doesn't mean Cici isn't fun, but imagine how amazing it would be to watch a show like this with someone special. My heart will be overflowing with joy. You know what I'm saying.

Aku, suka sekali dengan perjalanan ini. Liburan bareng Cici juga menyenangkan dan semoga dia merasakan hal yang sama. Syukurnya sampai hari ini dia masih mengirimiku destinasi-destinasi di negara lainnya.

P.S. Tulisan ini sebagian besar aku persembahkan untuk Cici karena mau mewujudkan permohonanku.

Image: Freepik/@tawatchai07

Jumat, 22 Juli 2022

Jalan-jalan ke Bandung dan Now Playing Festival Day 3

Ini adalah salah satu perjalanan enggak terduga di tahun ini meskipun hanya ke Bandung. Out of nowhere, Cici mengajak gue dan Pani ke Bandung untuk nonton konser Now Playing Festival karena ada Tulus di sana. 

Maklum, lagu-lagu di album Manusia lagi laris banget di April itu. Perasaan mau nonton Tulus jadi menggebu-gebu. Mungkin karena efek ingin menyembuhkan diri juga, gue mengiyakan ajakan Cici tersebut untuk nonton di hari ketiga.

Sejujurnya ada penyesalan di hati kita berdua karena bintang tamu di Now Playing Festival Day 1 dan 2 itu juga bagus-bagus banget. Namun, nasi sudah menjadi bubur, jadi kita nikmati saja perjalanan impulsif ini. Here we go!

Transportasi dan Penginapan di Bandung

Tentu, hal esensial yang harus dilakukan sebelum berpergian adalah menentukan transportasi dan penginapan. Akhirnya, yang jadi pergi ke Bandung itu gue, Cici, dan Desi. Kita naik kereta Argo Parahyangan, pulang-pergi, dengan harga Rp95.000 per tiket.

Sebenarnya masih ada tiket yang lebih murah, tetapi karena kita takut salah dan nyasar, akhirnya kita memilih naik Argo Parahyangan yang memakan waktu 3 jam. Ini adalah salah satu kereta ekonomi terenak dengan harga yang cukup murah yang pernah gue coba.

Untuk penginapan, gue menginap di Vue Palace Hotel, hotel bintang 3 yang terletak di tengah kota Bandung. Hotel ini strategis banget karena kita bisa jalan kaki dari Stasiun Bandung. Cuma, karena kita agak bodoh, kemarin kita pakai taksi online ke sana.

Kita menginap 2 hari 3 malam dengan total biaya sekitar Rp700.00-an. Menurut gueharga tersebut cukup murah untuk hotel bintang 3. Btw, buat gue kamarnya enggak begitu luas, sih, tetapi ada yang agak mengganggu.

Sebagai anak yang tidur harus pakai guling, bantal menjadi hal yang esensial. gue pernah menginap di beberapa hotel dan dapat empat, sedangkan di Vue Palace Hotel ini gue cuma dapat dua. Biasa, comparisons are easily done one you've had a taste of perfection.

Jalan-jalan di Bandung

Jujur, ini adalah perjalanan tanpa rencana selain pergi ke Now Playing Festival Day 3. Jadi, kita berangkat ke Bandung dari Gambir hari Sabtu jam 08.00 dan sampai jam 11.00 di Stasiun Bandung. Sampai di hotel sekitar jam 12.00 dan baru bisa check-in jam 13.00. 

Perkiraaan gue, kita bakal main di Braga dan sekitarnya dari sore sampai malam. Ternyata, Cici dan Desi adalah tipe orang yang enggak apa-apa cuma tiduran di hotel selama liburan. Berhubung gue ketiduran, mereka pun senang karena enggak perlu ke mana-mana. 

Alhasil, setelah solat Magrib gue baru jalan-jalan di daerah Braga dan lanjut ke sebuah kafe yang entah alamatnya di mana. Btw, sebelum jalan-jalan ke Braga, kita order Mie Gacoan untuk mengisi perut. Gue senang banget karena terakhir makan mi ini ketika gue masih kuliah di Malang. 

Kita cuma jalan-jalan di Braga dan pergi sebuah kafe yang entah di mana. Kadang gue heran, jauh-jauh ke Bandung malah ke kafe lagi. Semacam enggak ada kafe di Jakarta. Cuma, ya, enggak apa-apa. Memang ke Bandung kali ini sungguh random dan tanpa perencanaan.

Now Playing Festival Day 3

Di hari kedua, gue, Cici, dan Desi pergi bareng Vinka dan dua orang temannya. Sebelum pergi ke Cimahi, kita makan siang dulu di Jardin. Gue pikir, Bandung-Cimahi itu jauh banget. Ternyata perjalanan pakai mobil dengan jalanan lancar itu cuma makan waktu 40 menitan.

Btw, ada hal bodoh di perjalanan kita mau ke Cimahi. Tentu saja kita pakai Maps biar enggak nyasar. Kita pakai handphone si Cici untuk buka Maps tersebut. Perjalanan itu sangat lancar sampai akhirnya kita hampir tiba. Jadi, kita diarahkan ke sebuah jalan yang cuma muat satu mobil.

Akhirnya ada warga yang bilang kalau jalanan ini enggak bisa dimasuki mobil. Pastinya kita heran, dong. Masa arahan dari Maps salah? Pas kita cek lagi, selama perjalanan tadi kita pakai mode motor.  Akhirnya kita keluar dari jalanan itu dan mencari jalan lain untuk menuju tempat konser. 

Sebetulnya, hal yang paling susah ketika bawa mobil ke tempat konser adalah mencari parkir. Syukur, pas kita berhenti di sebuah rumah sakit, itu tempat mengizinkan kita buat parkir sampai malam. Terima kasih untuk tukang parkir yang lagi jaga di sana. Semoga rezekinya lancar!

Gue juga baru paham sama cuaca di Bandung dan sekitarnya. Kita melalui jalan yang becek dan licin untuk ke tempat tujuan. Setelah cek tiket dan sebagainya, sampailah kita di dalam dan disuguhi pemandangan lapangan yang becek dan penuh lumpur karena hujan kemarin.

Gue dan Desi itu pakai sepatu putih, jadi sekeras apapun untuk tetap bersih, akhirnya kotor juga. Karena kita datang agak sore, penampilan yang kita tonton itu cuma Kahitna, Yura Yunita, Tulus dan Dipha Barus. So far, gue enjoy banget sama acara ini.

Meskipun pas bagian Yura Yunita, Tulus, dan Dipha Barus, posisi kita agak jauh. Mereka membawakan lagu-lagu terbaik. Setelah itu, rasanya gue mau nonton konser solo mereka, deh! Semoga ada rezeki dan waktunya untuk nonton konser mereka.

Back to the main topic, jadi ada banyak stand makanan juga di sana. Lumayan kalau kita lagi mau istirahat. Ada stand Tarot juga dan itu bikin gue berpikir, memang bisa konsentrasi ketika bertanya? Menariknya, banyak orang yang ke sana termasuk teman gue.

Btw, Now Playing Festival Day3 ini memberikan pengalaman tersendiri, sih, buat gue. Kapan lagi nonton konser sambil diguyur gerimis? Ya, meskipun lebih seru lagi kalau enggak hujan, sih. Gue menikmati perjalanan ke Bandung kali ini meskipun tanpa rencana.

Jalan-jalan Random dan Impulsif

Gue juga merasakan hal baru, yakni pergi dengan orang-orang yang suka rebahan di hotel. Menarik juga. Definisi bermalas-malasan tanpa melakukan apapun. Lalu, ada hal bodoh lainnya yang baru kita sadari ketika mau pulang.

Gue, Cici, dan Desi pulang ke Jakarta naik kereta lagi. Setelah check out, kita pesan taksi online. Baru dua menit perjalanan, taksi tersebut sudah berhenti. Ternyata kita sudah sampai. Gue heran banget karena ketika hari pertama, perjalanan ke hotel memakan waktu sekitar 10 menit.

Ternyata itu hotel dekat dan bahkan terlihat dari stasiun. Kita butuh waktu untuk mencerna kejadian bodoh ini. Lalu, kenapa pas ke hotel itu agak lama? Ternyata karena jalanannya satu arah, kita harus memutar. Sumpah, ini salah satu kejadian yang akan selalu gue ingat.

Minggu, 06 September 2020

Piknik di Taman Tabebuya Jakarta Selatan & Curahan Hati Manusia

Piknik Ala-ala di Taman Tabebuya

Di Sabtu siang menjelang sore ini gue mencoba untuk produktif dengan memaksa diri untuk membuka laptop dan menulis kalimat ini. Gue ingin menceritakan pengalaman piknik ala-ala di Taman Tabebuya untuk pertama kalinya dalam hidup ini. Omg, where have you been, Felly?

Kalian pasti tahu, kan, piknik ala-ala yang banyak orang-orang lakukan dan posting di Instagram atau Pinterest? Akhirnya gue melakukan hal itu. Berawal dari rencana main yang entah sudah enggak tahu mau ke mana lagi, muncul ide untuk melakukan piknik di taman.

Awalnya kita mau ke Kebun Raya Bogor karena sebelumnya kita sudah pernah jalan-jalan ke sana. Tahu, kan, Kebun Raya Bogor? Pas banget untuk piknik ala-ala. Sayangnya, salah satu teman gue enggak bisa ikut dan kita kekurangan mobil. Sebenarnya bisa, sih, naik KRL, tetapi sebagian besar teman gue enggak mau.

Setelah scroll sana-sini dan berunding panjang, akhirnya kita piknik di Taman Tabebuya yang berada di Jakarta Selatan. Fyi, kita tinggal di daerah Jakarta Barat dan Tangerang. Sebuah usaha besar untuk piknik ala-ala ini.

Oh, iya, gue selalu suka untuk terlibat dalam merencanakan sesuatu apalagi berpergian seperti waktu liburan ke Bandung. Sayangnya, dua hari sebelum pergi tubuh gue enggak bertenaga. Jadi, gue tim ikut ke mana pun hasil diskusinya. Selain itu, kita semua juga kebagian tugas untuk membawa makanan atau barang-barang lucu yang akan menambah estetika piknik nanti. Gue pun kebagian untuk menggoreng Pempek Arjei milik Reyfanny Jullianty.

Gue, Cici, Bunda, dan Reyfanny satu mobil dengan Vinka. Sedangkan Levi dan Ghisanda naik taksi online. One of the good things about my friendship is that general expenses are divided equally. Salah satu hal yang patut disyukuri dalam hidup. Biar semua sama-sama enak. Ini bisa jadi tips untuk kalian kalau mau berpergian bareng teman-teman. Ditotal aja semua lalu bagi rata.

Setelah keluar-masuk beberapa pintu tol dan menyanyikan lagu mulai dari Day6, BTS, ITZY, hingga Jessi, akhirnya kita sampai di Taman Tabebuya. Apa, sih, yang spesial dari Taman Tabebuya? Enggak ada. Hanya taman biasa seperti yang ada di setiap kecamatan atau kelurahan. Bedanya, daerah Jagakarsa entah kenapa masih asri dan adem banget.

Masuk ke Taman Tabebuya itu gratis, enggak dipungut biaya sepeser pun. Sebelum masuk tentu suhu tubuh kita harus dicek dan cuci tangan terlebih dahulu. Dari luar, Taman Tabebuya itu tampak kecil, tetapi ketika sudah masuk, cukup besar dan banyak orang datang ke taman ini untuk olahraga pagi. Iya, kita semua menyaksikan orang-orang pada lari pagi karena kita sudah tiba sekitar pukul 08.00 WIB.

Gue masih heran kenapa bisa kita semua berangkat sepagi itu.

I really want to say kalau Taman Tabebuya itu minim sampah alias bersih terawat, guys. Kita menggelar kain yang-sebenarnya-adalah-taplak-meja di rerumputan hijau enggak jauh dari pintu masuk. Setelah masalah tata letak kain agar estetik selesai, saatnya menata makanan agar terlihat indah di foto.

Okay, everything's fine, all set. Camera, roll, and action!

"Makan dulu atau foto-foto dulu?"
"Foto-foto dulu aja,"
"Sebentar, deh, ini kenapa mereka ke sini?"
"Bun, tolong, dong, Bun!"
"Hush! Hush! Hush! Sana, pergi!"
"Eh, dia ke sini. Aduh, woy, gue takut!"
"Bun, itu kamu doang yang berani, Bun!"
"Siram pakai air!"
"Siram! Siram! Siram!"
"Ah, dia bersin, dong!"
"AAAAA!!!"

Begitulah kira-kira percakapan kita semua satu menit setelah menata semua makanan. Entah apa yang mengundang makhluk yang menurut banyak orang ini lucu ke arah kita. Sampai akhirnya kita sadar bahwa salah satu bahan membuat pempek adalah ikan. Indera penciuman hewan itu tajam memang ada benarnya. Enggak hanya satu, tetapi tiga kucing sekaligus mengganggu ketenangan dan kesenangan kita saat itu.

Masalahnya, segala cara kita lakukan agar makhluk berkaki empat itu pergi, tetapi mereka malah semakin mendekat. Alhasil, cara paling ampuh untuk membuat mereka pergi adalah menghabiskan semua pempek agar enggak ada lagi bau amis.

Sialnya, ketika pempek itu sudah habis bahkan dibawa ke mobil Vinka, tiga makhluk lucu itu tetap berada di sekitar kita. Jadi, kesimpulan piknik ala-ala kita minggu lalu adalah mengusir kucing.

Enggak, deh. Tentu kita tetap foto-foto lucu nan menggemaskan. Sebenarnya enggak ada konsep spesifik untuk baju, tetapi baju yang kita pakai banyak yang senada. Gue satu frame dengan Bunda karena kita menggunakan baju bermotif, lalu Vinka dan Reyfanny dengan baju kuning-oranye, terakhir Levi, Ghisanda, dan Cici dengan baju pink-putihnya.

Bonus foto aku dengan Bunda. 😝

Taurus x Scorpio. 😉

Enggak cuma olahraga, ada sekelompok perempuan yang sedang meng-cover dance dari GFriend dan beberapa orang yang bersantai di taman ini. Namun, entah kenapa orang-orang ini satu per satu membereskan barangnya dan bergegas untuk keluar taman. Ternyata, selama pandemi Taman Tabebuya ada sistem buka-tutup. Kalau pagi, di buka dari jam 07.00-10.00 dan lanjut 14.00-17.00 WIB.

Gue enggak jadi mengeluh berangkat sepagi itu. Kalau aja kita berangkat lebih siang lagi, pasti waktunya enggak enak banget. Di menit terakhir pun kita jadi buru-buru fotonya. Eh, ini salah kucing juga! Mereka menyita 87% waktu kita untuk mengusir mereka.

Apakah kita kembali ke rumah begitu saja? Oh, enggak semudah itu, kawan. Masa jam 10 pagi balik ke rumah? Malu, dong, sama Mama Lisa yang sudah mengoceh karena harus masak pempek pagi-pagi. Rapat dadakan pun terjadi. Akhirnya, kita memutuskan untuk pergi ke Happiness yang enggak jauh dari Taman Tabebuya. Bukan enggak jauh lagi, bahkan kelihatan dari taman ini.

Cuma, jalan hidup memang enggak selalu mulus, kawan. Semesta kadang suka bercanda dengan kita. ((SEMESTA)). Ibaratnya jalan, pasti ada aja lubang atau kerikil yang bikin kita oleng ke kanan dan kiri. Kecerdasan kita di sini adalah memesan taksi online dan belok ke kiri ketika posisi itu kafe ada di sebelah kanan. What a stupid wonderful time.

Setelah pesan minuman, kita duduk untuk bersantai sejenak setelah memikirkan betapa bodohnya kita. Jangan heran kenapa kita enggak pesan makanan karena kimbab Vinka masih sisa banyak. Ah, senangnya alias hemat, cuy!

Tentu enggak akan lupa dan terlewatkan sesi foto-foto bagian dua di kafe.



Entah kenapa waktu berjalan begitu lambat hari itu. Setelah foto ke sana-sini pun waktu masih menunjukkan pukul setengah dua siang. Hal ekstrim yang sebenarnya ingin dilakukan salah satu teman gue adalah mencari hotel untuk kita sambangi beberapa jam untuk bersantai.

Setelah rapat dadakan (lagi) akhirnya kita memutuskan untuk main ke kosan Levi yang berada di Meruya. Sayangnya, perjalanan kali ini kita lalui tanpa Ghisanda karena dia mau pacaran. Bye, Ghis. Berakhir pula perjalanan kita di daerah Jakarta Selatan ini dengan Levi naik taksi online sendiri dan sisanya di mobil Vinka.

Setelah sampai, tentu gue tidak lupa membeli es di depan gerbang kosan Levi terlebih dahulu. Kali ini gue jajan bersama Bunda. Kalau gue itu Levi, gue akan membeli es di sana setiap hari. Sepertinya gue hidup untuk minum es coklat dan kopi, deh.

Konser di mobil selama 40 menit membuat perut kita semua minta dimasukkan makanan. Pesan bakmi di GoFood adalah jalan ninja kita. Ya, seperti biasa, sambil menunggu bakmi, ini adalah waktunya kirim foto setelah banyak berpose di taman dan kafe. Bakmi selesai dimakan, cerita berurai air mata pun dimulai.

I will end this story here. But I want to express my feelings about everything that happened that day. It was a beautiful and memorable day.

Ternyata seru, ya, mencoba hal baru seperti piknik ala-ala begini. Setelah bertahun-tahun menghabiskan waktu kalau enggak di mal, ya, kafe. Kenal manusia-manusia ini sejak SMA. Tentu, perjalanan pertemanan ini enggak semulus itu. Banyak banget drama yang kita lalui yang kalau diingat suka bikin ketawa sendiri. Pasti akan ada banyak hal yang menanti juga di depan sana yang entah apa. Gue enggak suka janji dan kata selamanya, sih, tetapi kalau gue boleh pinta, let's always try to stick together, okay?

Teman gue di kampus pernah mengenalkan konsep kalau keluarga itu enggak harus selalu sedarah. It sounds cheesy, but now I know and feel the concept.

I am grateful they trusted me to be someone they could count on. Sometimes I am surprised, how strong they are. If I were them, I don't know what to do. Hey, thanks for not giving up, and please don't. There are many places we promised to visit together. There are many concerts we want to watch together.

Life is not always beautiful, but there are many beautiful things that we can find. Let's find it together!

Yours,
Felly E. Putri



Selasa, 01 Mei 2018

Bandung di Bulan Agustus 2017

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi." - Pidi Baiq


"Salah satu cara untuk mengetahui sifat atau karakter seseorang adalah mengajaknya traveling bareng.", kata-kata ini sering kali gue lihat, di Twitter, di Blog orang, atau di postingan Instagram. Siapapun penulisnya, menurut gue, kata-kata itu ada benarnya.

Mungkin Bandung emang enggak sedingin tahun 2009. Enggak lagi bikin gue pakai jaket saat keluar rumah dan memasukkan tangan gue ke kantong seperti waktu itu. Mungkin buat sebagian orang juga, Bandung enggak berarti apa-apa, tapi buat sebagian lainnya, Bandung itu kota penuh cerita. Buat gue, Bandung itu kota penuh cerita, yang menjadi salah tujuan untuk melepas penat.

Gue sudah beberapa kali mengunjungi Bandung, karena Papa dulu buka usaha rental di sana. Mulai dari ikut tour sekolah hingga liburan bareng keluarga. Gue suka Bandung dengan segala hiruk piruknya, dengan dinginnya, dengan pisang salenya, dengan CiWalknya, dengan Gedung Satenya, dan dengan kemacetannya. Ya, dulu Papa malas banget untuk keluar saat weekend, karena sama kaya Jakarta, macet.

Di tahun 2017 kemarin, hype banget, deh, pokoknya sama yang namanya Dilan. Iya. Astaga. Namun, gue bersyukur juga. Mungkin kehiruk-pirukan soal Dilan ini juga yang membawa gue dan teman-teman gue ke Bandung. Sebenarnya, beberapa temen gue, termasuk gue, penginnya ke Jogja, mengingat lebih murah juga biayanya.

Beberapa temen gue, tim ikut aja. Mau ke mana juga enggak masalah, tetapi satu orang tiba-tiba menjadi keras kepala padahal enggak pernah terjadi sebelumnya. Reyfanny Jullianty. Pokoknya dia mau ke Bandung. Katanya mau cari Dilan, kalau ke Jogja, dia enggak ikut. Dasar gila. Oke. Mari kita ke Bandung, Reyfanny Jullianty.


Oh, iya, bersyukur banget waktu itu keuangan dan waktu antara gue dan teman-teman gue akhirnya sama-sama cocok. Jadilah kita pergi bareng keluar dari ibu kota untuk pertama kalinya. Demi perjalanan yang efektif dan efisien, kita semua bikin rencana dari a-z. Gue dan Cici mencari promo tiket kereta dan penginapan, lalu gue dan Levi juga menjadwalkan semua tempat yang direquest dan yang lainnya menyesuaikan hasil pencarian.

Bahkan gue, Fanny, dan Eunike bela-belain ke KAI Travel Fair yang jauh itu untuk mencari tiket murah yang ternyata bisa dipesan lewat Traveloka. Pas pulang, gue sama Fanny pessn Gojek dengan keadaan baterai sama-sama sisa 1 persen. Kemudian enggak bisa keluar dari halte busway karena cuma Eunike yang punya kartu dan turunnya beda. Alhasil, harus menunggu orang untuk nebeng keluar. Astaga. Kenapa, sih, gue dan temen-temen gue ini?

Seharusnya yang ikut pergi waktu itu adalah Gue, Cici, Fanny, Vinka, Mifta Bunda, Eunike, dan Levi. Sisanya enggak bisa dan enggak ada kabar. Namun, tiba-tiba aja Eunike ada kerjaan, jadi sisa gue berenam.

Thanks untuk Vinka dan Bunda sebagai tim ikut aja. Meringankan beban karena enggak perlu jelasin banyak-banyak kita mau gimana, tidur di mana, dan naik apa pas di Bandung. Lalu, terjadi drama dengan Nada Noerhalimah saat gue mencoba tetap menghubungi dia untuk mengajaknya ikut.

Ya Allah, ya Tuhan, berikan hambaMu ini kekuatan dalam menghadapinya. Ini anak, pas gue ajak malah bikin drama. Dia berpikir, seolah-olah, temannya itu enggak suka sama kehadirannya dia. Padahal, ya, enggak gitu. Nad. Kalau lo baca, orang pertama yang bakal benci sama lo itu bukan anak-anak yang lain, tetapi gue. Iya. Gue. Astagfirullah. Setiap ingat isi chat sama dia, pengin buang handphone rasanya. Sumpah enggak bohong.

Ekspresi menghadapi Nada

Si Nada pun bilang enggak mau ngikut. Jadi gue menyerah untuk membujuk dia. Sumpah, yang lain menyerahkan ke gue dan gue menyerah ke keajaiban. Lalu, h-3 atau beberapa hari sebelum berangkat, ini anak tiba-tiba bertanya soal jadwal kereta pulang-pergi. 

Ternyata dia mau ikut, tetapi gengsi untuk bilang. Makan, tuh, gengsi. Akhirnya dia jadi ikut, tetapi enggak satu gerbong sama kita semua. Rasakan itu Nada Noerhalimah. Itu adalah sebab dari drama dan gengsi yang lo bikin sendiri. Astagfirullah. Eh, tetapi gue enggak bisa marah sama dia waktu itu. Gue menyesal kenapa enggak marah-marah sama dia. Sudahlah, mari lupakan drama dengan Nada Noerhalimah ini.

Kalau pas kecil pergi bareng keluarga, belum seberapa "sadar" sama keadaan Bandung. Ketika perginya barenh teman-teman di usia ini, ada perasaaan tersendiri. Perjalanan kemarin buat gue pribadi seru abis, sih. Mulai dari main ke tengah kota naik Uber yang bayarnya dua kali lipat karena dibawa muter-muter. Jauh-jauh ke Bandung malah makan Gokana di CiWalk, dan jauh-jauh ke Bandung malah ke Chingu Cafe perkara K-Pop.

Mulai dari bingung mau naik apa ke Lembang, pesan rental mahal, pakai Grab/Gojek ribet karena kita bertujuh, dan berujung pakai rental juga. Berakhir gue di kasih uang karena yang supirin itu partner Papa dulu hahaha.

Happy us!

Anyway, supir rental itu namanya Om Yanto. Awalnya kita sudah menyusun tempat yang ternyata muter-muter. Akhirnya dia yang membereskan rencana perjalan kita.

Perjalanan pertama ke Farmhouse Susu Lembang, lalu ke Grafika Cikole yang mendapat pertanyaan dari supir "Lah emang ada apa di sana?", ya gimana ya om, namanya juga anak Ibu Kota, jarang lihat pinus dan pepohonan. Tadinya, hampir enggak jadi ke The Lodge Maribaya, karena kata Om Yanto ada longsor, tetapi akhirnya dicari jalan lain untuk menuju ke sana. Meskipun kemarin enggak jadi ke Floating Market.

Besoknya, kita jalan-jalan di Braga dan jalan Asia-Afrika, kota tuanya Bandung. Sejujurnya, gue akan memilih Braga dan sekitarnya kalau ada kesempatan untuk tinggal di Bandung. Meskipun Lembang masih seasri dan sedingin itu, tetapi gue suka aja lihat keramaian dan orang lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Bandung, 13 - 15 Agustus 2017, sebuah perjalanan yang cukup singkat dengan banyak kesan, perjalanan dengan berbagai destinasi penuh kenangan, perjalanan yang selalu di akhiri dengan dongeng di setiap malam, perjalanan penuh ocehan di setiap kesempatan, perjalanan penuh pencarian akan Dilan, perjalanan yang penuh dengan drama kecil-kecilan, dan mungkin sebuah perjalanan yang gak akan terlupakan.

Mengingat semakin tua usia, semakin sempit lingkar pertemanan, semakin sedikit waktu untuk ketemuan, dan semakin susah berhubungan. Jadi kalo ada kesempatan, ya langsung dilakukan, contohnya jalan-jalan.

Ayok, kapan?

Rabu, 21 Maret 2018

Liburan Dua Minggu di Sumatera Barat



Dari Bandara Internasional Minangkabau menuju kampung halaman, gue melalui jalan yang berkelok-kelok yang gue pikir enggak ada akhir. Maklum, jalanan di bukit, sebelah tebing, sebelah lagi jurang, dan naik-turun enggak lempeng seperti jalan tol. 

Efek jalanan seperti ini ke badan itu bikin mual dan pusing. Apalagi kalau perut belum di isi sama Nasi Kapau. Duh! Sekarang gue tahu betapa enak dan nikmatnya Nasi Kapau. You have to try it. You have to eat Nasi Kapau! Apalagi langsung dari asalnya dan sekarang gue kangen Keripik Sanjai.

Setelah hampir 7 tahun lamanya gue enggak pulang kampung, pertengahan Juli 2017 lalu akhirnya gue datang ke tempat yang terkenal banget dengan Jam Gadang-nya. Siapa tahu perjalanan ini jadi one step to go to another city or country, right? Anyway, it was my first time for taking an air plane and Lion Air is on time, dude! So happy to hear that, huh?

Setelah beberapa kali pulang kampung, akhirnya tahu bagaimana, sih, bentuk dari Kelok Sembilan, Istana Pagaruyung, dan lain-lain. Anyway, terima kasih untuk om dan tante di sana atas tumpangan dan traktirannya yang bikin aku jadi tahu tempat-tempat yang selama ini cuma aku dengar tanpa tahu wujudnya seperti apa.

Kelok Sembilan, sebenarnya jalanan biasa dengan kelok yang terlihat jelas, yang menurut tante gue emang ada 9 jumlahnya. Akhirnya, sampai juga di kelok yang paling atas. Jalanan berkelok di antara bukit-bukit yang membuat banyak orang berhenti, lalu keluar dari kendaraannya untuk berfoto atau melepas penat. The view is really cool! Meskipun enggak sedikit juga kendaraan yang hanya berlalu-lalang melewatinya dengan tujuan masing-masing. Seperti hidup, mungkin kita di jalan atau tempat yang sama, tetapi tetap punya tujuan masing-masing.

Setelah foto-foto dan duduk-duduk di Kelok Sembilan, tujuan selanjutnya adalah Lembah Harau. Lembah Harau ini lebih deket dari rumah tante gue, but she took me to Kelok Sembilan first karena tante gue tahu kalau di Kelok Sembilan itu hanya sekedar liat-liat dan foto saja. Lembah Harau itu lebih ramai, seperti tempat wisata pada umumnya. Pengunjung bisa belok ke kiri untuk lihat air terjun dan ke kanan untuk lihat tebing yang mengelilingi dengan indah. We turn right first dan kata tante gue di sini tempat menginap anak-anak sekolah yang punya acara dari sekolah. Setelah itu kita ke air terjun dan banyak tukang foto langsung jadi di sana. I tried it in Kelok Sembilan tooBtw, i love the way my aunt manage the time, then i really get something from her: 

“Aturlah perjalananmu dengan baik, agar semua destinasi bisa kamu kunjungi dan kamu tetap menikmatinya.” –Felly, 2018.

Oke, gue lanjutin tulisan ini, setelah hampir enam bulan gue diemin. Tadinya, gue pengen nulis a la travel blogger, tapi yaudah, gini aja. Next, gue ke Danau Singkarak, yang kalo menurut gue, dilihat dari atas itu bagus, dari deketpun menarik perhatian. Banyak anak-anak yang berenang di sana, termasuk sepupu gue. Banyak juga orang yang naik perahu/kapal, entah dari mana ke mana. Gue? Menikmati sekitar. Lalu gue ke Istana Pagaruyung dan mendapat tour guide yang super baik, alias tukang foto yang secara suka rela menjadi tour guide gue di Istana Pagaruyung. It was a great place, dan gue merasa de javu saat itu, kayak pernah ke tempat kayak gini di Jakarta.

Tentang ke Jam Gadang, gue berkali-kali ke sana saat itu, siangnya ke Pasar Atas, malamnya ke Jam Gadang, warnanya berubah-ubah pas malam, it's cool. Then, i had an experience when i was at Panorama. Di mana saat itu, gue disamperin monyet, yang mengira kalo gue itu bawa makanan, yang padahal itu adalah handphone gue. Astaga, dag-dig-dug perasaan ini dikelilingin monyet. Lalu semakin gue banyak gerak, monyetnya semakin nyamperin. And how can i fight with monkeys?! 
Next, mungkin yang pernah ke Danau Maninjau dan Puncak Lawang, tau gimana bentuk jalanan untuk ke sana. And that’s the only way to get there. Masalahnya gini, gapapa kalau sekali jalan, Danau Maninjau dan Puncak Lawang terlewati. Tapi seringkali kenyataan gak sejalan dengan harapan. Ketika gue mau ke Danau Maninjau, dan udah sampe di kelok 11, which means i had through 33 kelokan, jalanannya lagi di perbaiki, dan harus menunggu dua jam. Om gue sangat tidak bersedia untuk menunggu selama itu, lalu guepun balik, mampir ke Ngarai Sianok sebentar, lalu pulang. Such a great day. Mungkin ini cara semesta menyuruh gue biar cepet balik lagi ke Bukittinggi, untuk menyelesaikan 11 kelokan itu.
Besoknya, gue di ajak ke Puncak Lawang, yang kata om gue yang lain, “belum afdol liburan, kalo belum ke Puncak Lawang, Fel”. Bahagialah diriku, karena akan afdol liburannya. Setelah mulai perjalanan, gue memulai percakapan dengan “om, ini lewat mana jalanannya?” “lewat yang kemarin pas mau ke Danau Maninjau”, detik itu juga rasanya ingin gue batalin aja, gapapa gak afdol liburan gue daripada harus ngelewatin jalanan itu. Tapi, setelah sampai, whoa, kebayar semua rasa mual di perut. It was a really great view! Mungkin salah satu tempat tertinggi, seperti namanya juga, gue bisa melihat apapun dari sana, termasuk Danau Maninjau di bawahnya, lalu tibalah waktu saat gue bertemu tanpa sengaja dengan temen kuliah gue di Malang. LIKE, DUDE? REALLY?

Honestly, 2017 such a great year, one of a great year for me. Pulang kampung setelah hampir 7 tahun, setelah itu langsung liburan ke Bandung bareng temen-temen (lain kali gue ceritain, ya, ini juga seru dan penuh drama). Dan yang berkesan dari semua itu di 2017 adalah, naik pesawat untuk pertama kalinya. Dan sejak itu, gue akan sangat memahami kalau ada orang yang takut untuk naik pesawat, karena gue juga.

Kamis, 03 November 2016

Jalan-Jalan ke Bromo Pakai Motor


Akhirnya, setelah hampir setahun tinggal di Malang, menginjakkan kaki juga di Bromo. Tepatnya di bulan April 2016. Setelah libur UTS, teman sebelah kamar kos, sebut saja Dina, dengan entengnya mengajak “Gue mau ke Bromo besok, naik motor tapi, mau ikut ga?”. Wow. Entah saya harus merespon apa.

Setelah mencari informasi mengenai motor ke Bromo, saya pikir “Kenapa enggak? Kapan lagi ke Bromo, bisa kok ke Bromo naik motor dan enggak semahal naik Jeep pula”. Dengan keberanian, mungkin kenekatan lebih tepatnya, saya dan teman kos saya yang lain, sebut saja Levi, meng-iya-kan ajakan tersebut. Keesokan harinya, waktu menunjukan pukul 7 malam, saya dan Levi menanyakan kepastian pergi ke Bromo. Kabar pun tak kunjung jelas, akhirnya saya bilang “jam 8 ada kabar, gue mandi, sampe jam 8 ga ada kabar, gue gajadi ikut”. Lalu ketika jam 8-9 malam, Dina bilang “jadi, nih, jalan jam 11an” dan kami pun bergegas.

Kami pergi bertiga belas dengan tujuh motor. Rencana awalnya saya dengan Levi akan bergantian menyetir karena Dina sudah mendapat tumpangan, tapi ternyata, saya dan Levi benar-benar harus menjadi supir pulang-pergi karena dua perempuan temannya Dina tidak bisa mengendarai motor. FYI, saya dan Levi mengendarai motor matic untuk menanjak Bromo.

Kami berangkat pukul 12 malam lewat Purbolinggo. Perjalanan menuju Bromo menghabiskan waktu sekitar 3-4 jam. Hawa dingin pun mulai terasa saat saya menyusuri jalan di kaki Gunung. Sampai-sampai, saat tangan di taruh di knalpot pun, hanya hangat yang terasa. Tantangan pun dimuli. Perjalanan melewati lautan pasir itu benar-benar butuh perjuangan. Silakan dibayangkan bagaimana ban motor matic membelai pasir? Yes! Engga akan pernah seimbang! Kunci untuk melewati pasir-pasir ini adalah melintasi jalan yang sudah dilintasi Jeep. Pasirnya jauh lebih rata dan memudahkan kita, para pengendara motor.

Sebenarnya yang paling saya takutkan mengendarai motor ke Bromo adalah motor yang tidak sanggup melewati pasir dan menanjak ke Pananjakan. Coba bayangkan, bagaimana rasanya terjebak di lautan pasir pukul 3 pagi? But, hey! Ternyata, motor matic ini sanggup melewati lautan pasir dan mulai menanjak untuk melihat sunrise.

Waktu menunjukan sekitar pukul setengah 4 pagi ketika kami mulai menanjak. Kami disuguhkan pemandangan yang indah, gradasi warna yang mengagumkan, ribuan bintang yang bertebaran, dan bulan yang bersinar terang. Oh, that was really really breathtaking, sampai saya kehilangan fokus menyetir dan akhirnya jatuh karena menikmati pemandangan itu. 

Jatuh dan sakitnya tidak seberapa dengan rasa senang yang saya dapatkan melihat pemandangan itu. Saya penikmat langit malam yang penuh bintang dan itu membuat saya bahagia. 

Really, langit malam yang cerah dan penuh bintang itu sangat membahagiakan

Kami pun melanjutkan perjalanan dan ternyata, kami terlalu siang untuk mengejar sunrise di Pananjakan, karena waktu sudah menjukan pukul setengah 5 pagi. Cakrawala pun mulai terang, garis jingga pun mulai terlihat, dan matahari pun  mulai menunjukan dirinya. Cukup kecewa karena tidak bisa ke Pananjakan. But hey, my friends found a spot to see a sunrise!

Setelah puas menikmati sunrise dan kabut yang melentang luas di sekeliling Gunung Bromo, kami pun turun dan menyadari bahwa jalanan yang kami tanjak subuh tadi cukup terjal. But, hey! We can do it. 

Setelah melewati lautan pasir lagi, istirahat untuk makan, dan berjalan kaki menuju kawah, kami pun mulai menaiki anak tangga satu persatu dan sungguh hal yang melelahkan. Really, I mean it, entah naik dan turunnya, sungguh melelahkan. But, wait, you’ll see a great view from up there! 

Setelah puas dan berpikir “eh, engga ada apa-apa, ya, di atas, kirain ada apa sampe rame banget” kami pun turun dan bergegas untuk melihat bukit teletubbies. Yeah, for me, it’s only a hill, i mean, i haven’t found something special.

Ketika kami bergegas pulang, awan mulai berganti warna menjadi abu, dan gerimis pun datang yang kemudian menjadi hujan. Kami melewati jalan Nongko Jajar/Tumpang, saya lupa. Di sinilah saya mendapatkan pengalaman yang cukup mengagetkan. Jalanan yang licin dan belokan yang curam, memang butuh kehati-hatian yang ekstra. Bibirpun berdarah karena gesekan antara behel, bibir dan aspal. Hal ini yang membuat saya mengatakan “Yaudah ayok ke Bromo, kalo pake motor, gue enggak mau nyetir lagi, kalo bisa pake motor trail aja.” kepada setiap orang yang mengajak saya ke Bromo.

Ah, it's really good trip. Saya tidak menyangka bahwa saya sanggup mengendarai motor selama itu dan mampu melewati jalanan yang bikin jantung berdebar cepat. Namun, kalau harus mengendari motor lagi ke Bromo, saya ingin mengucapkan terima kasih saja. Cukup. Saya sudah pernah dan tidak ingin lagi.

Minggu, 03 Januari 2016

Dari Sendang Biru hingga Sendiki

Hi! Apa kabar? Kali ini aku mau cerita soal perjalanan tak terdugaku dari Pantai Sendang Biru hingga ke Pantai Sendiki.

Jadi selama merantau di Malang, aku belum menjelajahi wisata yang ada di Malang. Padahal, gunung, pantai, coban, dan semacamnya ada semua di Malang.

Nah, tanggal 30 Desember 2015 kemarin, orang tua temanku datang ke kosan dan pas tanggal 1 Januari 2016, aku dan beberapa teman kosan lainnya diajak pergi sama temenku dan keluarganya ke pantai. Berhubung itu adalah hari Jumat, kami baru mulai jalan sekitar jam setengah satu siang, setelah ayah dan adik-adiknya temanku selesai solat Jumat.

Harapannya, sih, jam 3 sore kami sudah sampai karena aku sudah pernah ke Malang Selatan, ke daerah Bajul Mati itu hanya 2 jam-an. Ya, aku memang berangkat pas subuh, sih.

Jadi ekspektasinya adalah kalau misalkan pantai yang satu kurang bagus, kami bisa pindah ke pantai lainnya. Sebelum kami sudah punya beberapa daftar tujuan pantai yang akan kita kunjungi dan tujuan utamanya itu ke pantai Sendang Biru. Kalau kalian mau ke Pulau Sempu, kalian bisa menyebrang melalui pantai Sendang Biru.

Seperti pada umumnya, kalau ke pantai ekspektasinya ada pantai dengan ombak, main-main di pasir, menikmati sunset, dan langit jingga layaknya gambar-gambar yang sudah kami lihat di Google. Tapi kadang kenyataan memang tidak sesuai rencana. Jalanan macet dan kita sampai sudah sore, sekitar jam 5. 

Namanya juga ekspektasi, bisa terpenuhi, bisa tidak. Pantai Sendang Biru itu pantai yang penuh kapal-kapal buat nyebrang ke Pulau Sempu.

Hati mana yang tidak kecewa? Ketika diri sudah penuh dengan ekspektasi. Langit sudah mulai gelap, mau pindah ke pantai mana lagi?

Setelah solat Asar, orang tua temanku bertanya ke orang sekitar mengenai pantai terdekat dan di kasih tahu kalau Pantai Tamban itu bagus dan masih di sekitar sana. Akhirnya kami pindah tujuan walaupun matahari sudah mulai tenggelam.

Tidak memakan waktu yang lama, akhirnya kami sampai. Ternyata, pantai Tamban ini sudah kami lewati sebelumnya karena posisinya berada sebelum pantai Sendang Biru. 

Ada dua pantai di daerah sana, Pantai Sendiki dan Tamban, lalu kita memilih untuk ke pantai Sendiki karena lebih familiar. Pantai Sendiki sudah agak dekat, deburan ombaknya pun sudah terdengar, namun kami harus melalui jalan sempit yang agak susah kalau di lalui mobil. Jadi, kalau kalian ingin ke pantai Sendiki dengan mobil, harus ekstra hati-hati.

Setelah parkir, kami naik ke bukit terlebih dulu, jalan kaki tentunya, karena pantainya ada di balik bukit. Kami naik anak tangga dan tanah-tanah dibantu dengan senter dari powerbank dan flash handphone, karena minimnya lampu dan kami pun sampai sana sekitar jam setengah tujuh malam. Akhirnya suara ombak mulai terdengar jelas, namun kami tidak bisa melihat apa-apa lagi.

Patah hati untuk yang kedua kalinya. But you know what?

The sky is full of stars! Aku baru melihat lagi langit dengan bintang sebanyak itu karena keadaannya yang sangat minim cahaya. It was really beautiful. Really. Because i love to see millions of stars. It takes my breath away.

Di pantai Sendiki ini bisa untuk berkemah, bawa tenda sendiri tentunya. Pas aku datang, ada beberapa orang yang menginap di sana. Ini benar-benar yang dinamakan tidur di bawah ribuan bintang. It was really cool. Sayangnya, kami semua tidak ada yang bawa kamera. So we can't take a pict of it. 

Tidak lama setelah itu kami memutuskan kembali ke Malang. Ya, karena mau apalagi? Menginap tidak, melihat ombak pun sulit. But it can't called a fail trip at all, because it gave us a great experience. You have to see it!

Untuk harga, seingatku tiket masuk ke Sendang Biru itu 11.000/orang dan tiket masuk ke Sendiki itu 5000/orang. (parkir mobil bayar lagi).

Inilah alasan mengapa itinerary perjalanan sangat penting, ya? Hihi.

See you in next story!