Kamis, 03 November 2016

Jalan-Jalan ke Bromo Pakai Motor


Akhirnya, setelah hampir setahun tinggal di Malang, menginjakkan kaki juga di Bromo. Tepatnya di bulan April 2016. Setelah libur UTS, teman sebelah kamar kos, sebut saja Dina, dengan entengnya mengajak “Gue mau ke Bromo besok, naik motor tapi, mau ikut ga?”. Wow. Entah saya harus merespon apa.

Setelah mencari informasi mengenai motor ke Bromo, saya pikir “Kenapa enggak? Kapan lagi ke Bromo, bisa kok ke Bromo naik motor dan enggak semahal naik Jeep pula”. Dengan keberanian, mungkin kenekatan lebih tepatnya, saya dan teman kos saya yang lain, sebut saja Levi, meng-iya-kan ajakan tersebut. Keesokan harinya, waktu menunjukan pukul 7 malam, saya dan Levi menanyakan kepastian pergi ke Bromo. Kabar pun tak kunjung jelas, akhirnya saya bilang “jam 8 ada kabar, gue mandi, sampe jam 8 ga ada kabar, gue gajadi ikut”. Lalu ketika jam 8-9 malam, Dina bilang “jadi, nih, jalan jam 11an” dan kami pun bergegas.

Kami pergi bertiga belas dengan tujuh motor. Rencana awalnya saya dengan Levi akan bergantian menyetir karena Dina sudah mendapat tumpangan, tapi ternyata, saya dan Levi benar-benar harus menjadi supir pulang-pergi karena dua perempuan temannya Dina tidak bisa mengendarai motor. FYI, saya dan Levi mengendarai motor matic untuk menanjak Bromo.

Kami berangkat pukul 12 malam lewat Purbolinggo. Perjalanan menuju Bromo menghabiskan waktu sekitar 3-4 jam. Hawa dingin pun mulai terasa saat saya menyusuri jalan di kaki Gunung. Sampai-sampai, saat tangan di taruh di knalpot pun, hanya hangat yang terasa. Tantangan pun dimuli. Perjalanan melewati lautan pasir itu benar-benar butuh perjuangan. Silakan dibayangkan bagaimana ban motor matic membelai pasir? Yes! Engga akan pernah seimbang! Kunci untuk melewati pasir-pasir ini adalah melintasi jalan yang sudah dilintasi Jeep. Pasirnya jauh lebih rata dan memudahkan kita, para pengendara motor.

Sebenarnya yang paling saya takutkan mengendarai motor ke Bromo adalah motor yang tidak sanggup melewati pasir dan menanjak ke Pananjakan. Coba bayangkan, bagaimana rasanya terjebak di lautan pasir pukul 3 pagi? But, hey! Ternyata, motor matic ini sanggup melewati lautan pasir dan mulai menanjak untuk melihat sunrise.

Waktu menunjukan sekitar pukul setengah 4 pagi ketika kami mulai menanjak. Kami disuguhkan pemandangan yang indah, gradasi warna yang mengagumkan, ribuan bintang yang bertebaran, dan bulan yang bersinar terang. Oh, that was really really breathtaking, sampai saya kehilangan fokus menyetir dan akhirnya jatuh karena menikmati pemandangan itu. 

Jatuh dan sakitnya tidak seberapa dengan rasa senang yang saya dapatkan melihat pemandangan itu. Saya penikmat langit malam yang penuh bintang dan itu membuat saya bahagia. 

Really, langit malam yang cerah dan penuh bintang itu sangat membahagiakan

Kami pun melanjutkan perjalanan dan ternyata, kami terlalu siang untuk mengejar sunrise di Pananjakan, karena waktu sudah menjukan pukul setengah 5 pagi. Cakrawala pun mulai terang, garis jingga pun mulai terlihat, dan matahari pun  mulai menunjukan dirinya. Cukup kecewa karena tidak bisa ke Pananjakan. But hey, my friends found a spot to see a sunrise!

Setelah puas menikmati sunrise dan kabut yang melentang luas di sekeliling Gunung Bromo, kami pun turun dan menyadari bahwa jalanan yang kami tanjak subuh tadi cukup terjal. But, hey! We can do it. 

Setelah melewati lautan pasir lagi, istirahat untuk makan, dan berjalan kaki menuju kawah, kami pun mulai menaiki anak tangga satu persatu dan sungguh hal yang melelahkan. Really, I mean it, entah naik dan turunnya, sungguh melelahkan. But, wait, you’ll see a great view from up there! 

Setelah puas dan berpikir “eh, engga ada apa-apa, ya, di atas, kirain ada apa sampe rame banget” kami pun turun dan bergegas untuk melihat bukit teletubbies. Yeah, for me, it’s only a hill, i mean, i haven’t found something special.

Ketika kami bergegas pulang, awan mulai berganti warna menjadi abu, dan gerimis pun datang yang kemudian menjadi hujan. Kami melewati jalan Nongko Jajar/Tumpang, saya lupa. Di sinilah saya mendapatkan pengalaman yang cukup mengagetkan. Jalanan yang licin dan belokan yang curam, memang butuh kehati-hatian yang ekstra. Bibirpun berdarah karena gesekan antara behel, bibir dan aspal. Hal ini yang membuat saya mengatakan “Yaudah ayok ke Bromo, kalo pake motor, gue enggak mau nyetir lagi, kalo bisa pake motor trail aja.” kepada setiap orang yang mengajak saya ke Bromo.

Ah, it's really good trip. Saya tidak menyangka bahwa saya sanggup mengendarai motor selama itu dan mampu melewati jalanan yang bikin jantung berdebar cepat. Namun, kalau harus mengendari motor lagi ke Bromo, saya ingin mengucapkan terima kasih saja. Cukup. Saya sudah pernah dan tidak ingin lagi.