Selasa, 01 Januari 2019

Selamat tahun baru, teman-teman!

Ini akan jadi tulisan pertama saya di tahun 2019. Sebelumnya selamat tahun baru untuk kita semua, semoga apa yang kita harapkan dan rencanakan berjalan dengan baik di tahun ini. Tahun 2018 benar-benar berarti buat saya. Ya, meskipun setiap detik dalam hidup kita ini selalu berarti. Maksud saya, tahun 2018 benar-benar penuh kejutan buat saya. Mulai dari penyesalan, kebahagiaan, kehilangan, saya rasakan di tahun ini.

Coba saya ingat-ingat, awal tahun, saat saya semester enam, seharusnya saya mengajukan skripsi di tahun itu, tapi saya tidak lakukan., karena saat itu saya beranggapan saya ingin fokus untuk magang. Di semester enam itu mulai dari awal bulan Februari hingga akhir bulan Mei, saya menjalani perkuliahan saya sambil mengirimkan e-mail ke beberapa perusahaan untuk magang. Akhirnya pada bulan Juni – September, saya magang di majalah GADIS, bersama teman kuliah saya, Chalsy.

Magang di GADIS benar-benar memberikan saya pelajaran yang sangat berarti. Bagaimana menjadi penulis, wartawan, pengarah gaya, dan sebagainya. Di tiga bulan tersebut saya bertemu dengan orang-orang baru dan saya sangat senang pernah mengenal mereka. Selain bertemu senior, saya bertemu dengan teman-teman magang lainnya dan hingga saat ini kami masih bertukar pesan.

Saya dekat dengan beberapa teman magang lainnya yaitu Theyta, Juli, Kak Mel, dan Kak NIsa. Theyta, seorang teman yang rasanya saya sudah kenal lama. Dia mengajarkan saya untuk lebih peka terhadap sekililing. Bagaimana menjadi pribadi yang lebih perhatian dan sebagainya.

Ada satu hal yang tidak akan pernah saya lupakan dari magang di GADIS. Sebuah event yang benar-benar mengubah saya hahaha. Saat itu ada konser kpop, entah siapa, saya sungguh tidak peduli. Awalnya, tugas meliput itu diberikan untuk Theyta, tapi ia tidak bisa hingga akhirnya senior memberikan tugas itu kepada saya. Satu hal yang terlintas di kepala saya: “Hah? Ini siapa?”

Mau tidak mau tugas itu saya laksanakan, 30 Juni 2018, salah satu hari bersejarah dalam hidup saya hahaha. Saya datang untuk press conference terlebih dahulu, sebuah keadaan di mana beberapa orang iri dengan saya karena bisa bertemu dengan para member secara langsung dan sedekat itu. Mereka tidak tahu saja, bahwa saya mati-matian menghapal nama member GOT7 tersebut. Saya menghapalnya melalui warna rambut, namun saat mereka keluar, rambut mereka berwarna hitam semua, saya gila. Syukur ada Kak Diza, public relation dari NET, memberi tahu nama member GOT7. Setelah saya menonton konser, oh god, saya sangat menikmati konser itu. Setelah pulang dari konser, saya memastikan diri saya untuk menjadi Ahgase dan membeli album Lullaby. Padahal sebelumnya saya tidak pernah tertarik dengan apapun mengenai Korea.

Kembali ke dunia perkuliahan, semester tujuh ini saya mengerjakan skripsi dan magang. Namun saya mengutamakan mengerjakan dan ujian magang. Seharusnya saya bisa mengerjakan keduanya dengan baik asalkan saya mengatur waktu dengan baik juga. Ah, andai saja. Saya pun memiliki target untuk seminar proposal di bulan Desember, tapi kenyataan tidak berjalan sesuai harapan saya. Dosen saya libur bimbingan mulai akhir Desember hingga awal Februari dan saya kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya, nenek, yang mengharuskan saya pulang lebih awal ke Jakarta.

Oh, iya, tahun ini saya juga menjalankan apa pekerjaan sampingan, yaitu menulis untuk sebuah travel agent. Ah, senangnya.

Yeah, it’s okay, saya harus belajar menerima dan ikhlas. Saya bersyukur dengan apapun yang telah saya lalui di tahun 2018.

Target saya di tahun 2019 ini, terutama di semester delapan, studi saya selesai. Selamat tahun baru, teman-teman! Semoga kesehatan, kebahagiaan, kasih dan sayang selalu menyertai kita semua.

Rabu, 05 Desember 2018

1:50 AM

Hai, apa kabar?

Sebenarnya isi tulisan ini sudah ada di kepala saya dari pukul 20.00 WIB tadi. Namun, belum sempat saya membuka laptop dan menuangkannya. Adakah yang lebih suka aktif di malam hari? Dulu saya begitu, sekarang pun juga, hanya saja, belakangan ini saya tidak mengerjakan apa-apa. Melamun? Mungkin. Merenung? Semacam itu. Entahlah.

Saya masih mengerjakan tugas akhir. Tadi pagi saya bertemu dosen pembimbing saya untuk menanyakan kelanjutannya. Syukur, meski belum sepenuhnya lampu hijau, saya boleh melanjutkan ke bagian selanjutnya.

Isi kepala hari ini muncul karena melihat ocehan teman saya yang diminta dosennya untuk menyelesaikan tugas akhir sebelum natal. Kta ini muncul di kepala saya: Wow.

Kalau teman saya baca tulisan saya ini, saya ingin bilang: Goodluck! Lo pasti bisa. Entah seminar proposal atau langsung selesai, lo bisa. Begadang yang lo lakuin selama beberapa minggu terakhir akan terbayar!

Sebenarnya, bukan soal itu poin dari tulisan ini, melainkan soal waktu bagi setiap orang.

Untuk mengajukan dosen pembimbing ini ada dua waktu, sebelum uts dan saat uas. Saya termasuk orang yang mengerjakan sebelum uts. Beberapa teman saya baru memikirkan ide penelitian seminggu sebelum uts dan beberapa lainnya belum mencari dosen pembimbing.

Banyak rencana yang saya sudah susun. Banyak target yang sudah saya buat. Namun kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Sampai saat ini saya masih berusaha membuat bagian satu, sedangkan teman saya yang baru memikirkan ide penelitian seminggu sebelum uts sudah mengerjakan bagian tiga. Bahkan teman lain pun sudah ada yang seminar proposal. Target untuk menyelesaikan bagian tiga di bulan ini pun sepertinya harus kandas, karena dalam dua minggu ke depan konsultasi diliburkan selama kurang lebih sepuluh hari karena dosen pembimbing saya ada kegiatan lain.

Setelah saya pikir-pikir, it’s okay. Saya tidak seharusnya tertekan karena orang lain melangkah atau selesai lebih dulu. Memang setiap orang punya waktunya masing-masing. Selama masih dikerjakan dan terus dikerjakan, seharusnya tidak perlu khawatir, kan?

Dari salah satu video di YouTube
“New York is 3 hours ahead of California, but it does not make California slow. Someone graduated at the age of 22, but waited 5 years before securing a good job! Someone became a CEO at 25 and died at 50. While another became a CEO at 50 and live to 90 years. Someone is still single while someone else got married. Obama retires at 55 but Trump starts at 70”
Saya setuju juga dengan kalimat di atas. Mungkin beberapa orang terlihat selangkah lebih maju dan beberapa lainnya terlihat tertinggal. Padahal tidak begitu. Semua orang punya waktunya masing-masing. Meskipun kalimat di atas tidak bisa ditelan mentah-mentah. Karena jika kita terus membandingkan diri kita dengan orang lain, kita akan pusing sendiri. Saya rasa, selama selalu diusahakan, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Terkadang semesta juga bekerja dengan caranya yang tidak terduga.

Selamat malam. Selamat beristirahat.




Rabu, 28 November 2018

1:48 AM

Malam ini seorang teman mengunggah tulisannya. Saya berdecak kagum karena ia berani memberi tahukan itu kepada teman-temannya di media sosial. Tapi, dari hal itulah saya belajar dan bertekad untuk berani menulis dan mengungkapkan apa yang sedang saya resahkan.

Awalnya, blog ini saya niatkan untuk berbagi ilmu soal kecantikan dan jalan-jalan, tapi biarlah label About Something ini menjadi lahan untuk hal lain yang ada di kepala saya. Jujur, kadang saya bingung sama diri saya sendiri. Suatu waktu, saya suka menuliskan diri saya dengan “Gue”, terkadang saya ingin terlihat lebih lembut dengan “Aku”, tapi tidak jarang juga saya ingin menggunakan “Saya” dengan bahasa Indonesia yang lebih teratur seperti saat ini. Jadi, jika di lain waktu saya menggunakan “Gue” dan “Aku”, percayalah, itu tetap diri saya.

Belakangan ini saya sedang merasa kosong, entah kenapa. Di semester tujuh ini saya dan teman-teman lainnya sedang mengerjakan skripsi. Hanya saja, kenyataan kadang tidak selalu sesuai harapan. Jalan yang ditempuh tidak selalu mulus. Hampir seminggu saya hanya berdiam di kamar kosan, makan, tiduran, dan begitu terus hingga akhirnya nanti pagi saya akan bertemu dengan dosen pembimbing saya.

Kadang saya ingin sekali mengeluh ke orang-orang terdekat, namun setelah saya pikir-pikir, mereka sudah cukup pusing dengan urusan masing-masing, saya tidak perlu menambahkannya. Hal yang bisa saya lakukan untuk sedikit mengurangi beban di kepala, ya, ini, menulis lagi di blog.

Kalian suka merasa semangat mengerjakan sesuatu, tidak? Sampai saat ini, salah satu pekerjaan yang saya impikan adalah menjadi penulis. Syukur, belakangan ini impian itu saya lakukan. Saya magang menjadi penulis dan reporter, setelah itu menjadi penulis bayaran di salah satu travel planner di Jakarta.

Ketertarikan saya terhadap menulis juga saya tuangkan bersama khayalan saya, kalian pasti paham, ya. Saya mencoba menulis fiksi dengan beberapa latar belakang berbeda. Sayangnya, saya suka terlalu semangat, seringkali juga bingung harus membuat skenario apalagi. Tapi sudahlah, tulisan di folder itu akan selalu saya usahakan dan kerjakan. Hal yang lebih penting lainnya ialah, skripsi saya yang harus cepat kelar agar saya cepat mendapat gelar.

Sekian, selamat malam. Selamat beristirahat, teman.


Sabtu, 08 September 2018

Untuk Kamu, Yang Sudah Berani Menyapa.

Hai, cinta
Begitu cepat kau menyapa
Datang di waktu yang tak terduga

Hai, cinta
Bikin hal-hal kecil mempunyai makna
Membuat detak jantung semakin terasa

Hai, cinta.
Terima kasih sudah singgah
Kamu berhasil ciptakan senyum saat memikirkannya
Padahal, baru saja bertegur sapa

Hai, cinta
Kamu berhasil bikin saya merasa jadi orang yang paling bahagia
Kamu berhasil mengangkat beban di kepala
Walau tak tahu akan bertahan seberapa lama

Hai, cinta
Saya berharap, untuk terus selamanya
Meskipun saya tahu, badai bisa menerjang kapan saja

Untukmu, belahan jiwa
Terima kasih sudah berani menyapa
Membuat saya percaya lagi akan bahagia
Mengisi hari penuh canda dan tawa

Hai kamu
Teruslah begini untuk selamanya


Selasa, 01 Mei 2018

Bandung di Bulan Agustus 2017

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi." - Pidi Baiq


"Salah satu cara untuk mengetahui sifat atau karakter seseorang adalah mengajaknya traveling bareng.", kata-kata ini sering kali gue lihat, di Twitter, di Blog orang, atau di postingan Instagram. Siapapun penulisnya, menurut gue, kata-kata itu ada benarnya.

Mungkin Bandung emang enggak sedingin tahun 2009. Enggak lagi bikin gue pakai jaket saat keluar rumah dan memasukkan tangan gue ke kantong seperti waktu itu. Mungkin buat sebagian orang juga, Bandung enggak berarti apa-apa, tapi buat sebagian lainnya, Bandung itu kota penuh cerita. Buat gue, Bandung itu kota penuh cerita, yang menjadi salah tujuan untuk melepas penat.

Gue sudah beberapa kali mengunjungi Bandung, karena Papa dulu buka usaha rental di sana. Mulai dari ikut tour sekolah hingga liburan bareng keluarga. Gue suka Bandung dengan segala hiruk piruknya, dengan dinginnya, dengan pisang salenya, dengan CiWalknya, dengan Gedung Satenya, dan dengan kemacetannya. Ya, dulu Papa malas banget untuk keluar saat weekend, karena sama kaya Jakarta, macet.

Di tahun 2017 kemarin, hype banget, deh, pokoknya sama yang namanya Dilan. Iya. Astaga. Namun, gue bersyukur juga. Mungkin kehiruk-pirukan soal Dilan ini juga yang membawa gue dan teman-teman gue ke Bandung. Sebenarnya, beberapa temen gue, termasuk gue, penginnya ke Jogja, mengingat lebih murah juga biayanya.

Beberapa temen gue, tim ikut aja. Mau ke mana juga enggak masalah, tetapi satu orang tiba-tiba menjadi keras kepala padahal enggak pernah terjadi sebelumnya. Reyfanny Jullianty. Pokoknya dia mau ke Bandung. Katanya mau cari Dilan, kalau ke Jogja, dia enggak ikut. Dasar gila. Oke. Mari kita ke Bandung, Reyfanny Jullianty.


Oh, iya, bersyukur banget waktu itu keuangan dan waktu antara gue dan teman-teman gue akhirnya sama-sama cocok. Jadilah kita pergi bareng keluar dari ibu kota untuk pertama kalinya. Demi perjalanan yang efektif dan efisien, kita semua bikin rencana dari a-z. Gue dan Cici mencari promo tiket kereta dan penginapan, lalu gue dan Levi juga menjadwalkan semua tempat yang direquest dan yang lainnya menyesuaikan hasil pencarian.

Bahkan gue, Fanny, dan Eunike bela-belain ke KAI Travel Fair yang jauh itu untuk mencari tiket murah yang ternyata bisa dipesan lewat Traveloka. Pas pulang, gue sama Fanny pessn Gojek dengan keadaan baterai sama-sama sisa 1 persen. Kemudian enggak bisa keluar dari halte busway karena cuma Eunike yang punya kartu dan turunnya beda. Alhasil, harus menunggu orang untuk nebeng keluar. Astaga. Kenapa, sih, gue dan temen-temen gue ini?

Seharusnya yang ikut pergi waktu itu adalah Gue, Cici, Fanny, Vinka, Mifta Bunda, Eunike, dan Levi. Sisanya enggak bisa dan enggak ada kabar. Namun, tiba-tiba aja Eunike ada kerjaan, jadi sisa gue berenam.

Thanks untuk Vinka dan Bunda sebagai tim ikut aja. Meringankan beban karena enggak perlu jelasin banyak-banyak kita mau gimana, tidur di mana, dan naik apa pas di Bandung. Lalu, terjadi drama dengan Nada Noerhalimah saat gue mencoba tetap menghubungi dia untuk mengajaknya ikut.

Ya Allah, ya Tuhan, berikan hambaMu ini kekuatan dalam menghadapinya. Ini anak, pas gue ajak malah bikin drama. Dia berpikir, seolah-olah, temannya itu enggak suka sama kehadirannya dia. Padahal, ya, enggak gitu. Nad. Kalau lo baca, orang pertama yang bakal benci sama lo itu bukan anak-anak yang lain, tetapi gue. Iya. Gue. Astagfirullah. Setiap ingat isi chat sama dia, pengin buang handphone rasanya. Sumpah enggak bohong.

Ekspresi menghadapi Nada

Si Nada pun bilang enggak mau ngikut. Jadi gue menyerah untuk membujuk dia. Sumpah, yang lain menyerahkan ke gue dan gue menyerah ke keajaiban. Lalu, h-3 atau beberapa hari sebelum berangkat, ini anak tiba-tiba bertanya soal jadwal kereta pulang-pergi. 

Ternyata dia mau ikut, tetapi gengsi untuk bilang. Makan, tuh, gengsi. Akhirnya dia jadi ikut, tetapi enggak satu gerbong sama kita semua. Rasakan itu Nada Noerhalimah. Itu adalah sebab dari drama dan gengsi yang lo bikin sendiri. Astagfirullah. Eh, tetapi gue enggak bisa marah sama dia waktu itu. Gue menyesal kenapa enggak marah-marah sama dia. Sudahlah, mari lupakan drama dengan Nada Noerhalimah ini.

Kalau pas kecil pergi bareng keluarga, belum seberapa "sadar" sama keadaan Bandung. Ketika perginya barenh teman-teman di usia ini, ada perasaaan tersendiri. Perjalanan kemarin buat gue pribadi seru abis, sih. Mulai dari main ke tengah kota naik Uber yang bayarnya dua kali lipat karena dibawa muter-muter. Jauh-jauh ke Bandung malah makan Gokana di CiWalk, dan jauh-jauh ke Bandung malah ke Chingu Cafe perkara K-Pop.

Mulai dari bingung mau naik apa ke Lembang, pesan rental mahal, pakai Grab/Gojek ribet karena kita bertujuh, dan berujung pakai rental juga. Berakhir gue di kasih uang karena yang supirin itu partner Papa dulu hahaha.

Happy us!

Anyway, supir rental itu namanya Om Yanto. Awalnya kita sudah menyusun tempat yang ternyata muter-muter. Akhirnya dia yang membereskan rencana perjalan kita.

Perjalanan pertama ke Farmhouse Susu Lembang, lalu ke Grafika Cikole yang mendapat pertanyaan dari supir "Lah emang ada apa di sana?", ya gimana ya om, namanya juga anak Ibu Kota, jarang lihat pinus dan pepohonan. Tadinya, hampir enggak jadi ke The Lodge Maribaya, karena kata Om Yanto ada longsor, tetapi akhirnya dicari jalan lain untuk menuju ke sana. Meskipun kemarin enggak jadi ke Floating Market.

Besoknya, kita jalan-jalan di Braga dan jalan Asia-Afrika, kota tuanya Bandung. Sejujurnya, gue akan memilih Braga dan sekitarnya kalau ada kesempatan untuk tinggal di Bandung. Meskipun Lembang masih seasri dan sedingin itu, tetapi gue suka aja lihat keramaian dan orang lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Bandung, 13 - 15 Agustus 2017, sebuah perjalanan yang cukup singkat dengan banyak kesan, perjalanan dengan berbagai destinasi penuh kenangan, perjalanan yang selalu di akhiri dengan dongeng di setiap malam, perjalanan penuh ocehan di setiap kesempatan, perjalanan penuh pencarian akan Dilan, perjalanan yang penuh dengan drama kecil-kecilan, dan mungkin sebuah perjalanan yang gak akan terlupakan.

Mengingat semakin tua usia, semakin sempit lingkar pertemanan, semakin sedikit waktu untuk ketemuan, dan semakin susah berhubungan. Jadi kalo ada kesempatan, ya langsung dilakukan, contohnya jalan-jalan.

Ayok, kapan?