Minggu, 30 Agustus 2020

Rasa Tidak Enakan yang Membawa Huru-Hara

Kalian pernah, enggak, memikirkan sesuatu ketika lagi beres-beres rumah atau apapun itu, deh? Ketika gue lagi cuci piring, gue memikirkan hal kecil yang ternyata sering banget gue temui di kehidupan sehari-hari yang bisa berdampak besar kalau dibiarkan begitu aja.

Beberapa waktu lalu, gue lagi beli es di tempat langganan. Ada dua orang lelaki yang sudah lebih dulu datang di sana. Ketika mereka ingin membayar, keduanya sama-sama mengeluarkan uang dan terjadi percakapan ini:

"Udah, ini gue aja. Gapapa,"
"Eh, mbak, ini uang saya aja,"
"Enggak, udah simpen. Gue aja,"

Si mbak ini juga jadi bingung harus mengambil uang yang mana karena keduanya mengatakan hal yang sama. Akhirnya, si mbak mengambil yang nominalnya paling besar.

Gue tersenyum ketika melihat kejadian ini. Menurut gue lucu aja dan hal seperti ini sering banget terjadi dalam hidup. Bagaimana orang merasa tidak enak antara satu sama lain dan terkadang membuat riuh suasana.

Kenapa gue bilang kejadian tidak enakan ini bisa berdampak besar kalau dibiarkan begitu aja? Teman gue berantem sama tantenya perkara enggak ditawari makanan. Mungkin kalian akan setuju dengan si tante, tetapi gue satu kepala dengan teman gue.

"Sumpah, dia ngomong ke sebelah rumah. Katanya gue pelit, enggak pernah nawarin makan,"
"Emang awalnya gimana?"
"Ya, gue pulang bawa donat. Gue masukkin ke kulkas, dong. Ya, gue, sih, mikirnya kalau mau makan, ya, makan aja. Enggak perlu gue tawarin lagi. Toh, dia juga tau pas gue bawa ke rumah. Tante gue maunya ditawarin dulu,"

Ah, oke. Perbedaan prinsip hidup yang membawa huru-hara dalam kehidupan tante dan keponakan. Anyway, kalian tim yang mana?

Surprisingly, gue menemukan hal ini di rumah. I really want to laugh that hard! Jadi, kakek gue itu suka banget sama makanan. Apa aja dimakan. Ya, mungkin ini cikal bakal gen suka makan di dalam diri gue.

Waktu itu gue lagi makan pempek yang sudah gue goreng banyak. Dalam hati gue berpikir, "Kok enggak minta, sih? Cuma nengok-nengok aja?", padahal kakek gue sudah bertanya sebelumnya gue masak apa. Akhirnya gue inisiatif untuk mengatakan "Nih, mau pempek, gak?" dan kakek gue langsung beranjak dari kursi dan menghampiri gue untuk minta.

Wow, gue langsung berpikir, bagaimana kalau kakek gue juga berpikiran gue pelit karena enggak mau bagi-bagi makanan? Ketika di kepala gue adalah gue enggak masalah kalau orang lain minta makanan gue bahkan ketika gue tidak menawarkannya.

Halo komunikasi, sepertinya kita punya masalah di sini.

Mungkin, kalian juga familiar dengan kejadian ini:

"Eh, udah, enggak usah diganti. Ini gue aja yang bayar. Gapapa,"
"Eh, seriusan? Jangan, deh. Nih, duit gue,"
"Seriusan, gapapa. Udah,"
"Eh, dalam rangka apa, nih? Beneran gapapa?"
"Iya, udah. Beneran, gapapa. Gak usah diganti,"

Kalau itu terjadi di gue, percakapannya hanya sampai pada baris ke dua dan gue akan mengganti kalimatnya dengan "Eh, seriusan? Makasih banyak, nih. Kapan-kapan gantian, ya."

Menurut gue pribadi, orang itu akan melakukan sesuatu dengan sadar. Jadi, kalau seseorang ingin melakukan hal tersebut, ya, sudah. Karena di kepala gue, gue bisa menggantinya dengan melakukan hal yang sama di lain waktu. Jadi, enggak perlu ada perdebatan panjang.

Tentu, ini hanya akan terjadi dengan manusia-manusia sedikit basa-basi seperti gue. Kalau tidak enakan x tidak enakan, percakapannya akan terjadi seperti yang gue tulis di atas.

It will hurt you but I also want to say this, "Bahkan lo enggak wajib untuk melakukan hal yang sama.". Namun, ini akan kembali lagi ke hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Kalau enggak ada timbal balik atau saling menguntungkan dalam hidup, ya, buat apa dipertahankan?

Oke, kembali lagi. Menurut gue, manusia memang kompleks aja, sih. Apa yang menurut gue biasa aja, belum tentu buat orang lain. Begitu pun sebaliknya. Rasa tidak enakan ini juga enggak hanya terjadi pada perkara kecil seperti kejadian di atas. Banyak hal-hal serius yang terjadi dalam hidup bermula dari perasaan ini. Memang perlu komunikasi dan pengertian yang lebih jelas antara satu sama lain. Sisanya, ya, terus berusaha biar bisa saling mengerti dengan baik.

Ya, tetapi di sanalah tantangan dan masalahnya hadir. Manusia punya ego dan prinsip masing-masing. Mencapai suatu mufakat di antara dua orang atau lebih itu yang sulit. Ya, sudah. Selamat terus berusaha dan mencoba, wahai manusia.

Jumat, 07 Agustus 2020

Dilema Menjadi Orang Baik


Gue menyadari dan mengakui, saat menonton film atau serial televisi, seringkali gue menyukai dan mengagumi karakter antagonis. Ya, meskipun tidak selalu.

Hanya saja, menurut gue, karakter antagonis ini seringkali lebih realistis dalam menjalankan sesuatu dan mengambil keputusan. Tidak seperti karakter protagonis yang membuat hati penonton tersentuh akan tindakannya, namun juga membuat gerah karena seringkali dimanfaatkan.

Setidaknya itu yang gue pikirkan.

Salah satu karakter antagonis favorit gue sampai saat ini adalah Damon Salvatore dari serial televisi The Vampire Diaries yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya L. J. Smith. Ada salah satu ucapan di sana yang masih gue ingat sampai saat ini.

"When people see good, they expect good. I don't want to have to live up to anyone's expectations." - Damon Salvatore, The Vampire Diaries.

Sejak gue melihat kalimat ini, gue semakin setuju bahwa ketika seseorang mendapat label sebagai orang baik, itu menjadi hal yang tricky dan riskan. Iya, menjadi tricky dan riskan kalau orang tersebut sedang lelah menjadi baik atau ketika ia ingin menjadi egois di waktu-waktu tertentu.

Di kepala gue, ya, orang baik adalah orang-orang yang selalu membantu, selalu ada, dan seringkali selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Tentu, tidak ada yang salah menjadi orang baik. Sayangnya, banyak manusia di luar sana yang juga licik dan jahat. Tahu bagaimana memanfaatkan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri.

Menurut gue juga, orang baik itu seringkali jadi yes person. Tahu, kan, maksudnya? Susah untuk menolak dan mengatakan tidak. Padahal tahu kalau itu bisa menyakitkan atau menyusahkan dirinya sendiri.

Berbeda sama orang yang mendapatkan label bahwa dia tidak sebaik itu atau bahkan egois. Ketika orang tersebut memang tidak sedang ingin membantu dan ssmacamnya, entah kenapa orang lain cepat memaklumi. "Ya, dia memang begitu orangnya."

Kalau orang baik yang melakukan itu, pasti lebih banyak yang terkejut dan mencibir. "Ih, kok, lo begini sekarang?", "Dia berubah, ya, sekarang."

No, babe, they're not changing. They just know what's good for them and what's not.

Gue selalu percaya bahwa manusia pasti memiliki hati nurani. Hanya saja, gue ingin bilang kalau saat ingin membantu orang lain, lakukan saja secukupnya dan semampunya. Tetapi, jangan menjadi jahat juga. Lakukan saja kebaikan semampu yang bisa diusahakan. Jangan sampai menyusahkan atau bahkan kehilangan diri sendiri. Beberapa hal memang bukan tanggung jawab kita, kok. Cheers!

Sabtu, 01 Agustus 2020

Huru=Hara Para Pencari Kerja


Hai! Sekarang jam 03:35 saat gue memulai tulisan ini. Entah dari mana gue harus memulai cerita ini. Semoga gue bisa mengurutkan dengan baik dan benar, ya. Sebelumnya gue ingin menempeleng diri sendiri karena projek yang gue janjikan dengan diri sendiri terbengkalai. Akibat tidak konsisten dan disiplin dengan diri sendiri.

Sebagai lulusan baru, tentu hal pertama terlintas di kepala adalah mencari kerja. Alhamdulillah, gue akan melakukan magang di salah satu media online di Indonesia. Tetapi, gue akan cerita bagaimana proses mencari kerja ini berlangsung. Sebenarnya, sejak lulus dari bulan Desember 2019, gue sudah melakukan magang di salah satu E-commerce ternama di Indonesia. Salah satu pengalaman terbaik dan cukup berpengaruh untuk gue.

Singkat cerita, di bulan April kemarin, masa magang gue habis. Gue cukup sedih karena tidak bisa perpanjang magang gue di sana karena satu dan lain hal, termasuk pandemi Covid-19 yang sedang melanda hampir di seluruh dunia.

Berbulan-bulan gue galau karena ada sedikit perasaan tertekan. Kalimat 'Gue harus segera dapat kerja karena hampir semua teman gue sudah bekerja' itu menemani gue hampir setiap malam. Membuat gue cukup gegabah untuk melamar yang sekiranya cocok tanpa benar-benar memastikan diri sendiri apakah gue terima konsekuensi dari berbagai sisi dari pekerjaan tersebut.

Dari sekian ratus lamaran, gue melakukan beberapa proses wawancara. Mulai wawancara bagian hrd sampai user. Perlahan gue juga belajar bagaimana menjawab pertanyaan dengan baik dan urut, serta tidak nervous. Gue juga belajar menerima penolakan. Berbagai keadaan sudah gue temui sampai akhirnya membuat gue takut dengan weekdays karena menanti kabar dari perusahaan.

Jujur, mencari kerja ini cukup bikin gue pusing, galau, dan bingung. Akhirnya, memberanikan diri untuk sharing dengan teman dan senior yang sudah bekerja. Ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada mereka semua yang merespon dan memberikan masukan ke gue. Memberikan pencerahan dari berbagai sisi sampai akhirnya gue bisa mengatakan 'Ah, iya. Betul juga. Gue sekarang tahu langkah apa yang harus gue pilih'. Salah satu rezeki dalam hidup yang harus disyukuri adalah teman yang suportif.

Tentu banyak banget yang melalui hal ini. Gue pun melalui ini bersama beberapa teman yang membuat isi chat dan telepon hanya seputar 'Gimana? Lanjut enggak wawancaranya?', 'Gimana? Lo follow up enggak?', dan berbagai macam jenis obrolan seputar mencari kerja lainnya.

Di beberapa minggu terakhir bahkan membuat gue selalu bangun jam 7 pagi di saat gue baru tidur jam 4 pagi. Bingung dan galau karena lamaran tidak kunjung dibaca atau dilihat. Interview tidak lanjut dan berbagai hal lainnya.

I know how it feels. It sucks. But, please don't give up. The storms will pass. It will. Keep fighting!

Kamis, 23 Juli 2020

Berapa Banyak Malam?


Berapa banyak malam yang kamu habiskan untuk memikirkan apa yang seharusnya kamu lakukan?

Berapa banyak malam yang membuat kamu terjaga dari bisingnya kehampaan?

Berapa banyak malam yang membuat kamu sulit terlelap memikirkan apa yang akan kamu lakukan?

Berapa banyak malam yang kamu habiskan?

Rabu, 15 Juli 2020

#1 Kedai Kopi dan Memori


Sebuah pesan yang muncul berhasil menarik perhatiannya dari kegiatan membaca setiap twit di Twitter. Ia segera mengecek pesan di sebuah grup dalam aplikasi berwarna hijau dengan logo telepon tersebut.

"Eh, ayok! Kapan, nih, kita kumpul lagi? Bisanya hari apa?" Sebuah nama perempuan dengan perawakan mungil yang telah menemaninya lima tahun belakangan ini muncul di layar ponselnya.

Ah, 'Bisanya hari apa?' adalah sebuah kalimat yang ia terima beberapa bulan ini. Tidak ada lagi spontanitas karena kesibukan masing-masing.

"Sebentar, ya. Gue tanya pacar gue dulu. Soalnya udah lama enggak ketemu, nih!" Balasnya.

Tak lama, perempuan itu mengirim pesan kembali ke grup bernama "Girl's Thing" itu. Ia pun bergegas untuk merapikan dirinya sebelum pergi ke tempat yang dijanjikan. Celana jeans dan kaus putih ia kenakan. Tak lupa dengan sandal jepit berwarna biru dongker. "Ah, dekat, kok!" Batinnya.

"Oke, gue jalan kalau kalian jalan, ya. Rumah gue sejengkal doang." Balas teman perempuan lainnya. Perempuan dengan model rambut sebahu berwarna coklat.

Perempuan berkaus putih itu memakirkan kendaraannya dan bergegas masuk ke kedai kopi yang cukup besar dengan exterior berwarna hitam. Petugas menghentikannya sesaat untuk mengecek suhu tubuhnya. Ia buka pintu ruangan non-smoking dan matanya pun menyapu setiap sudut ruangan.

Matanya melihat sosok yang tengah duduk di meja sudut kiri. Perempuan berambut sebahu itu mengangat wajahnya dan melambaikan tangannya. Ia segera menghampiri dan ditariknya kursi di sebrang perempuan itu.

"Mau pesan apa? Gue pengin makan berat, nih!" Ucap perempuan berambut sebahu itu.
"Gue enggak mau makan mi lagi pokoknya. Enggak." Balasnya. 

Kedua perempuan itu kini tengah sibuk membolak-balikan menu untuk mencari makanan dan minuman yang akan menemani mereka beberapa jam ke depan.

Tak lama, perempuan bertubuh mungil pun datang menghampiri. Menarik kursi di sebelah perempuan berambut sebahu yang sedang berkutat dengan buku menu.

"Lo dari rumah atau kantor?" Tanya si perempuan berbaju putih. 
"Dari rumah, kok!" Jawab perempuan mungil singkat sambil mengambil buku menu di depannya.

Setelah menuliskan semua pesanan, perempuan bertubuh mungil itu pun beranjak ke kasir untuk memesan makanan dan minuman untuk dirinya dan teman-temannya.

"Eh, lo gimana, nih? Katanya mau pindah?" Tanya perempuan berbaju putih itu ke perempuan di sebrangnya. 
"Iya, nih, alhamdulillah. Gue ditawarin di sana." Jawabnya dengan wajah yang berseri. 
"Syukur, deh! All is better, right?" Timpal perempuan mungil di sampingnya yang dibalas dengan semringah oleh perempuan berambut sebahu itu.

Mereka pun tenggelam ke dalam obrolan sambil menunggu pesanan. Banyak sekali cerita yang tertunda untuk diucapkan. Tidak ada lagi spontanitas bercerita seperti beberapa tahun lalu. Sekarang mereka harus menunggu waktu berkumpul terlebih dahulu.

Bukan, bukan tak ada cerita di grup yang mereka buat. Hanya saja, terkadang cerita jauh lebih berwarna karena diselingi dengan ekspresi-ekspresi menakjubkan. Cerita akan penuh makna tanpa adanya hambatan; video patah-patah karena jaringan yang tak bersahabat.

"Eh, liat posting-an si ini, enggak?" Ujar perempuan berambut sebahu itu sambil menunjukkan ponsel kepada kedua temannya.
"Gila, dia udah beli beginian while gue masih begini-begini aja." Timpal perempuan berkaus putih sambil berdecak.
"Kenapa orang pada banyak banget, ya, uangnya? Heran gue. Pada kerja apa, ya?" Sahut perempuan bertubuh mungil itu sambil tertawa dan menggelengkan kepalanya.

Obrolan di kedai kopi malam itu berisi seputar serba-serbi kehidupan yang sering kali memorak-pandakan harapan. Mengurai kejadian akan kenytaan yang membuyarkan angan mereka selama ini. 

Tak lama, pelayan pun mengantarkan pesanan tiga perempuan yang sedang berbincang mengenai posting-an seorang teman yang berhasil membuat mereka tersenyum pahit.

"Kadang gue takut, deh! Tercapai enggak, ya, setiap harapan-harapan yang pernah gue bayangkan? Setiap keinginan yang pernah gue ucapkan. Misalnya, seperempat dari mimpi-mimpi itu, deh? Kadang gue jadi takut. Ternyata banyak banget hal yang enggak sesuai harapan dan hidup ternyata enggak semulus itu. Atau bahkan, ya, surprising."
"Iya, ya? Dulu gue mikirnya kalau ada penghasilan, gua mau ke sini, mau ke sana, belanja ini, belanja itu. Eh, ternyata pusing juga! Hahahahaha." Timpal perempuan bertubuh mungil itu.
"Orang tua atau adik gue suka ada permintaannya. Heran." Balas perempuan berambut sebahu sambil menggelengkan kepalanya.
"Duh! Gue ketemu kalian, tuh, biar happy bukannya tambah overthinking!" Timpal perempuan berkaus putih yang diiringi tawa kedua temannya.

Kini tiga perempuan tengah tenggelam ke dalam pikirannya masing-masing sambil menyantap makanan dan minuman yang belum mereka habiskan. Kembali memikirkan banyak hal yang belum dilakukan atau waktu yang terbuang sia-sia. 

Merasa tertinggal dan ingin terburu-buru. Memaksakan diri untuk berlari kencang karena yang lain kian menjauh dari pandangan. Padahal berjalan pun masih tertatih. Seringkali merasa harus menang padahal tidak sedang berlomba dengan siapapun.