Akhirnya,
setelah hampir setahun tinggal di Malang, menginjakkan kaki juga di Bromo.
Tepatnya di bulan April 2016. Setelah libur UTS, teman sebelah kamar kos, sebut
saja Dina, dengan entengnya mengajak “Gue mau ke Bromo besok, naik motor tapi,
mau ikut ga?”. Wow. Entah saya harus merespon apa.
Setelah mencari informasi mengenai motor ke Bromo, saya pikir “Kenapa
enggak? Kapan lagi ke Bromo, bisa kok ke Bromo naik motor dan enggak semahal
naik Jeep pula”. Dengan keberanian, mungkin kenekatan lebih tepatnya, saya dan
teman kos saya yang lain, sebut saja Levi, meng-iya-kan ajakan tersebut.
Keesokan harinya, waktu menunjukan pukul 7 malam, saya dan Levi menanyakan kepastian pergi ke Bromo. Kabar pun tak kunjung jelas, akhirnya saya bilang
“jam 8 ada kabar, gue mandi, sampe jam 8 ga ada kabar, gue gajadi ikut”. Lalu
ketika jam 8-9 malam, Dina bilang “jadi, nih, jalan jam 11an” dan kami pun bergegas.
Kami pergi
bertiga belas dengan tujuh motor. Rencana awalnya saya dengan Levi akan bergantian
menyetir karena Dina sudah mendapat tumpangan, tapi ternyata, saya dan Levi
benar-benar harus menjadi supir pulang-pergi karena dua perempuan temannya Dina
tidak bisa mengendarai motor. FYI, saya dan Levi mengendarai motor matic untuk
menanjak Bromo.
Kami berangkat pukul 12 malam lewat Purbolinggo. Perjalanan menuju Bromo menghabiskan waktu sekitar 3-4 jam. Hawa dingin pun mulai terasa saat saya menyusuri jalan di kaki Gunung. Sampai-sampai, saat
tangan di taruh di knalpot pun, hanya hangat yang terasa. Tantangan pun dimuli. Perjalanan melewati lautan pasir itu benar-benar butuh perjuangan. Silakan dibayangkan bagaimana ban motor matic membelai pasir? Yes! Engga akan pernah seimbang!
Kunci untuk melewati pasir-pasir ini adalah melintasi jalan yang sudah
dilintasi Jeep. Pasirnya jauh lebih rata dan memudahkan kita, para pengendara motor.
Sebenarnya yang
paling saya takutkan mengendarai motor ke Bromo adalah motor yang tidak
sanggup melewati pasir dan menanjak ke Pananjakan. Coba bayangkan, bagaimana
rasanya terjebak di lautan pasir pukul 3 pagi? But, hey! Ternyata, motor matic
ini sanggup melewati lautan pasir dan mulai menanjak untuk melihat sunrise.
Waktu menunjukan sekitar pukul setengah 4 pagi ketika kami mulai menanjak. Kami disuguhkan pemandangan yang indah, gradasi warna yang mengagumkan, ribuan
bintang yang bertebaran, dan bulan yang bersinar terang. Oh, that was really really breathtaking, sampai saya kehilangan
fokus menyetir dan akhirnya jatuh karena menikmati pemandangan itu.
Jatuh dan
sakitnya tidak seberapa dengan rasa senang yang saya dapatkan melihat
pemandangan itu. Saya penikmat langit malam yang penuh bintang dan itu membuat
saya bahagia.
Really, langit malam yang cerah dan penuh bintang itu sangat
membahagiakan
Kami pun melanjutkan perjalanan dan ternyata, kami terlalu siang untuk mengejar sunrise
di Pananjakan, karena waktu sudah menjukan pukul setengah 5 pagi. Cakrawala pun mulai terang, garis jingga pun mulai terlihat, dan matahari pun mulai menunjukan dirinya. Cukup kecewa
karena tidak bisa ke Pananjakan. But hey, my friends found a spot to see a sunrise!
Setelah puas
menikmati sunrise dan kabut yang melentang luas di sekeliling Gunung Bromo,
kami pun turun dan menyadari bahwa jalanan yang kami tanjak subuh tadi cukup
terjal. But, hey! We can do it.
Setelah
melewati lautan pasir lagi, istirahat untuk makan, dan berjalan kaki menuju
kawah, kami pun mulai menaiki anak tangga satu persatu dan sungguh hal yang melelahkan.
Really, I mean it, entah naik dan
turunnya, sungguh melelahkan. But, wait,
you’ll see a great view from up there!
Setelah puas dan berpikir “eh,
engga ada apa-apa, ya, di atas, kirain ada apa sampe rame banget” kami pun turun
dan bergegas untuk melihat bukit teletubbies. Yeah, for me, it’s only a hill, i mean, i haven’t found something
special.
Ketika kami bergegas
pulang, awan mulai berganti warna menjadi abu, dan gerimis pun datang yang kemudian menjadi hujan. Kami melewati jalan Nongko Jajar/Tumpang, saya lupa. Di sinilah saya mendapatkan pengalaman yang cukup mengagetkan. Jalanan yang licin dan belokan yang curam, memang butuh
kehati-hatian yang ekstra. Bibirpun berdarah karena gesekan antara behel, bibir
dan aspal. Hal ini yang membuat saya mengatakan “Yaudah ayok ke Bromo, kalo
pake motor, gue enggak mau nyetir lagi, kalo bisa pake motor trail aja.” kepada setiap orang yang mengajak saya ke Bromo.
Ah, it's really good trip. Saya tidak menyangka bahwa saya sanggup mengendarai motor selama itu dan mampu melewati jalanan yang bikin jantung berdebar cepat. Namun, kalau harus mengendari motor lagi ke Bromo, saya ingin mengucapkan terima kasih saja. Cukup. Saya sudah pernah dan tidak ingin lagi.