Selasa, 01 Mei 2018

Bandung di Bulan Agustus 2017

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi." - Pidi Baiq


"Salah satu cara untuk mengetahui sifat atau karakter seseorang adalah mengajaknya traveling bareng.", kata-kata ini sering kali gue lihat, di Twitter, di Blog orang, atau di postingan Instagram. Siapapun penulisnya, menurut gue, kata-kata itu ada benarnya.

Mungkin Bandung emang enggak sedingin tahun 2009. Enggak lagi bikin gue pakai jaket saat keluar rumah dan memasukkan tangan gue ke kantong seperti waktu itu. Mungkin buat sebagian orang juga, Bandung enggak berarti apa-apa, tapi buat sebagian lainnya, Bandung itu kota penuh cerita. Buat gue, Bandung itu kota penuh cerita, yang menjadi salah tujuan untuk melepas penat.

Gue sudah beberapa kali mengunjungi Bandung, karena Papa dulu buka usaha rental di sana. Mulai dari ikut tour sekolah hingga liburan bareng keluarga. Gue suka Bandung dengan segala hiruk piruknya, dengan dinginnya, dengan pisang salenya, dengan CiWalknya, dengan Gedung Satenya, dan dengan kemacetannya. Ya, dulu Papa malas banget untuk keluar saat weekend, karena sama kaya Jakarta, macet.

Di tahun 2017 kemarin, hype banget, deh, pokoknya sama yang namanya Dilan. Iya. Astaga. Namun, gue bersyukur juga. Mungkin kehiruk-pirukan soal Dilan ini juga yang membawa gue dan teman-teman gue ke Bandung. Sebenarnya, beberapa temen gue, termasuk gue, penginnya ke Jogja, mengingat lebih murah juga biayanya.

Beberapa temen gue, tim ikut aja. Mau ke mana juga enggak masalah, tetapi satu orang tiba-tiba menjadi keras kepala padahal enggak pernah terjadi sebelumnya. Reyfanny Jullianty. Pokoknya dia mau ke Bandung. Katanya mau cari Dilan, kalau ke Jogja, dia enggak ikut. Dasar gila. Oke. Mari kita ke Bandung, Reyfanny Jullianty.


Oh, iya, bersyukur banget waktu itu keuangan dan waktu antara gue dan teman-teman gue akhirnya sama-sama cocok. Jadilah kita pergi bareng keluar dari ibu kota untuk pertama kalinya. Demi perjalanan yang efektif dan efisien, kita semua bikin rencana dari a-z. Gue dan Cici mencari promo tiket kereta dan penginapan, lalu gue dan Levi juga menjadwalkan semua tempat yang direquest dan yang lainnya menyesuaikan hasil pencarian.

Bahkan gue, Fanny, dan Eunike bela-belain ke KAI Travel Fair yang jauh itu untuk mencari tiket murah yang ternyata bisa dipesan lewat Traveloka. Pas pulang, gue sama Fanny pessn Gojek dengan keadaan baterai sama-sama sisa 1 persen. Kemudian enggak bisa keluar dari halte busway karena cuma Eunike yang punya kartu dan turunnya beda. Alhasil, harus menunggu orang untuk nebeng keluar. Astaga. Kenapa, sih, gue dan temen-temen gue ini?

Seharusnya yang ikut pergi waktu itu adalah Gue, Cici, Fanny, Vinka, Mifta Bunda, Eunike, dan Levi. Sisanya enggak bisa dan enggak ada kabar. Namun, tiba-tiba aja Eunike ada kerjaan, jadi sisa gue berenam.

Thanks untuk Vinka dan Bunda sebagai tim ikut aja. Meringankan beban karena enggak perlu jelasin banyak-banyak kita mau gimana, tidur di mana, dan naik apa pas di Bandung. Lalu, terjadi drama dengan Nada Noerhalimah saat gue mencoba tetap menghubungi dia untuk mengajaknya ikut.

Ya Allah, ya Tuhan, berikan hambaMu ini kekuatan dalam menghadapinya. Ini anak, pas gue ajak malah bikin drama. Dia berpikir, seolah-olah, temannya itu enggak suka sama kehadirannya dia. Padahal, ya, enggak gitu. Nad. Kalau lo baca, orang pertama yang bakal benci sama lo itu bukan anak-anak yang lain, tetapi gue. Iya. Gue. Astagfirullah. Setiap ingat isi chat sama dia, pengin buang handphone rasanya. Sumpah enggak bohong.

Ekspresi menghadapi Nada

Si Nada pun bilang enggak mau ngikut. Jadi gue menyerah untuk membujuk dia. Sumpah, yang lain menyerahkan ke gue dan gue menyerah ke keajaiban. Lalu, h-3 atau beberapa hari sebelum berangkat, ini anak tiba-tiba bertanya soal jadwal kereta pulang-pergi. 

Ternyata dia mau ikut, tetapi gengsi untuk bilang. Makan, tuh, gengsi. Akhirnya dia jadi ikut, tetapi enggak satu gerbong sama kita semua. Rasakan itu Nada Noerhalimah. Itu adalah sebab dari drama dan gengsi yang lo bikin sendiri. Astagfirullah. Eh, tetapi gue enggak bisa marah sama dia waktu itu. Gue menyesal kenapa enggak marah-marah sama dia. Sudahlah, mari lupakan drama dengan Nada Noerhalimah ini.

Kalau pas kecil pergi bareng keluarga, belum seberapa "sadar" sama keadaan Bandung. Ketika perginya barenh teman-teman di usia ini, ada perasaaan tersendiri. Perjalanan kemarin buat gue pribadi seru abis, sih. Mulai dari main ke tengah kota naik Uber yang bayarnya dua kali lipat karena dibawa muter-muter. Jauh-jauh ke Bandung malah makan Gokana di CiWalk, dan jauh-jauh ke Bandung malah ke Chingu Cafe perkara K-Pop.

Mulai dari bingung mau naik apa ke Lembang, pesan rental mahal, pakai Grab/Gojek ribet karena kita bertujuh, dan berujung pakai rental juga. Berakhir gue di kasih uang karena yang supirin itu partner Papa dulu hahaha.

Happy us!

Anyway, supir rental itu namanya Om Yanto. Awalnya kita sudah menyusun tempat yang ternyata muter-muter. Akhirnya dia yang membereskan rencana perjalan kita.

Perjalanan pertama ke Farmhouse Susu Lembang, lalu ke Grafika Cikole yang mendapat pertanyaan dari supir "Lah emang ada apa di sana?", ya gimana ya om, namanya juga anak Ibu Kota, jarang lihat pinus dan pepohonan. Tadinya, hampir enggak jadi ke The Lodge Maribaya, karena kata Om Yanto ada longsor, tetapi akhirnya dicari jalan lain untuk menuju ke sana. Meskipun kemarin enggak jadi ke Floating Market.

Besoknya, kita jalan-jalan di Braga dan jalan Asia-Afrika, kota tuanya Bandung. Sejujurnya, gue akan memilih Braga dan sekitarnya kalau ada kesempatan untuk tinggal di Bandung. Meskipun Lembang masih seasri dan sedingin itu, tetapi gue suka aja lihat keramaian dan orang lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Bandung, 13 - 15 Agustus 2017, sebuah perjalanan yang cukup singkat dengan banyak kesan, perjalanan dengan berbagai destinasi penuh kenangan, perjalanan yang selalu di akhiri dengan dongeng di setiap malam, perjalanan penuh ocehan di setiap kesempatan, perjalanan penuh pencarian akan Dilan, perjalanan yang penuh dengan drama kecil-kecilan, dan mungkin sebuah perjalanan yang gak akan terlupakan.

Mengingat semakin tua usia, semakin sempit lingkar pertemanan, semakin sedikit waktu untuk ketemuan, dan semakin susah berhubungan. Jadi kalo ada kesempatan, ya langsung dilakukan, contohnya jalan-jalan.

Ayok, kapan?

Rabu, 21 Maret 2018

Liburan Dua Minggu di Sumatera Barat



Dari Bandara Internasional Minangkabau menuju kampung halaman, gue melalui jalan yang berkelok-kelok yang gue pikir enggak ada akhir. Maklum, jalanan di bukit, sebelah tebing, sebelah lagi jurang, dan naik-turun enggak lempeng seperti jalan tol. 

Efek jalanan seperti ini ke badan itu bikin mual dan pusing. Apalagi kalau perut belum di isi sama Nasi Kapau. Duh! Sekarang gue tahu betapa enak dan nikmatnya Nasi Kapau. You have to try it. You have to eat Nasi Kapau! Apalagi langsung dari asalnya dan sekarang gue kangen Keripik Sanjai.

Setelah hampir 7 tahun lamanya gue enggak pulang kampung, pertengahan Juli 2017 lalu akhirnya gue datang ke tempat yang terkenal banget dengan Jam Gadang-nya. Siapa tahu perjalanan ini jadi one step to go to another city or country, right? Anyway, it was my first time for taking an air plane and Lion Air is on time, dude! So happy to hear that, huh?

Setelah beberapa kali pulang kampung, akhirnya tahu bagaimana, sih, bentuk dari Kelok Sembilan, Istana Pagaruyung, dan lain-lain. Anyway, terima kasih untuk om dan tante di sana atas tumpangan dan traktirannya yang bikin aku jadi tahu tempat-tempat yang selama ini cuma aku dengar tanpa tahu wujudnya seperti apa.

Kelok Sembilan, sebenarnya jalanan biasa dengan kelok yang terlihat jelas, yang menurut tante gue emang ada 9 jumlahnya. Akhirnya, sampai juga di kelok yang paling atas. Jalanan berkelok di antara bukit-bukit yang membuat banyak orang berhenti, lalu keluar dari kendaraannya untuk berfoto atau melepas penat. The view is really cool! Meskipun enggak sedikit juga kendaraan yang hanya berlalu-lalang melewatinya dengan tujuan masing-masing. Seperti hidup, mungkin kita di jalan atau tempat yang sama, tetapi tetap punya tujuan masing-masing.

Setelah foto-foto dan duduk-duduk di Kelok Sembilan, tujuan selanjutnya adalah Lembah Harau. Lembah Harau ini lebih deket dari rumah tante gue, but she took me to Kelok Sembilan first karena tante gue tahu kalau di Kelok Sembilan itu hanya sekedar liat-liat dan foto saja. Lembah Harau itu lebih ramai, seperti tempat wisata pada umumnya. Pengunjung bisa belok ke kiri untuk lihat air terjun dan ke kanan untuk lihat tebing yang mengelilingi dengan indah. We turn right first dan kata tante gue di sini tempat menginap anak-anak sekolah yang punya acara dari sekolah. Setelah itu kita ke air terjun dan banyak tukang foto langsung jadi di sana. I tried it in Kelok Sembilan tooBtw, i love the way my aunt manage the time, then i really get something from her: 

“Aturlah perjalananmu dengan baik, agar semua destinasi bisa kamu kunjungi dan kamu tetap menikmatinya.” –Felly, 2018.

Oke, gue lanjutin tulisan ini, setelah hampir enam bulan gue diemin. Tadinya, gue pengen nulis a la travel blogger, tapi yaudah, gini aja. Next, gue ke Danau Singkarak, yang kalo menurut gue, dilihat dari atas itu bagus, dari deketpun menarik perhatian. Banyak anak-anak yang berenang di sana, termasuk sepupu gue. Banyak juga orang yang naik perahu/kapal, entah dari mana ke mana. Gue? Menikmati sekitar. Lalu gue ke Istana Pagaruyung dan mendapat tour guide yang super baik, alias tukang foto yang secara suka rela menjadi tour guide gue di Istana Pagaruyung. It was a great place, dan gue merasa de javu saat itu, kayak pernah ke tempat kayak gini di Jakarta.

Tentang ke Jam Gadang, gue berkali-kali ke sana saat itu, siangnya ke Pasar Atas, malamnya ke Jam Gadang, warnanya berubah-ubah pas malam, it's cool. Then, i had an experience when i was at Panorama. Di mana saat itu, gue disamperin monyet, yang mengira kalo gue itu bawa makanan, yang padahal itu adalah handphone gue. Astaga, dag-dig-dug perasaan ini dikelilingin monyet. Lalu semakin gue banyak gerak, monyetnya semakin nyamperin. And how can i fight with monkeys?! 
Next, mungkin yang pernah ke Danau Maninjau dan Puncak Lawang, tau gimana bentuk jalanan untuk ke sana. And that’s the only way to get there. Masalahnya gini, gapapa kalau sekali jalan, Danau Maninjau dan Puncak Lawang terlewati. Tapi seringkali kenyataan gak sejalan dengan harapan. Ketika gue mau ke Danau Maninjau, dan udah sampe di kelok 11, which means i had through 33 kelokan, jalanannya lagi di perbaiki, dan harus menunggu dua jam. Om gue sangat tidak bersedia untuk menunggu selama itu, lalu guepun balik, mampir ke Ngarai Sianok sebentar, lalu pulang. Such a great day. Mungkin ini cara semesta menyuruh gue biar cepet balik lagi ke Bukittinggi, untuk menyelesaikan 11 kelokan itu.
Besoknya, gue di ajak ke Puncak Lawang, yang kata om gue yang lain, “belum afdol liburan, kalo belum ke Puncak Lawang, Fel”. Bahagialah diriku, karena akan afdol liburannya. Setelah mulai perjalanan, gue memulai percakapan dengan “om, ini lewat mana jalanannya?” “lewat yang kemarin pas mau ke Danau Maninjau”, detik itu juga rasanya ingin gue batalin aja, gapapa gak afdol liburan gue daripada harus ngelewatin jalanan itu. Tapi, setelah sampai, whoa, kebayar semua rasa mual di perut. It was a really great view! Mungkin salah satu tempat tertinggi, seperti namanya juga, gue bisa melihat apapun dari sana, termasuk Danau Maninjau di bawahnya, lalu tibalah waktu saat gue bertemu tanpa sengaja dengan temen kuliah gue di Malang. LIKE, DUDE? REALLY?

Honestly, 2017 such a great year, one of a great year for me. Pulang kampung setelah hampir 7 tahun, setelah itu langsung liburan ke Bandung bareng temen-temen (lain kali gue ceritain, ya, ini juga seru dan penuh drama). Dan yang berkesan dari semua itu di 2017 adalah, naik pesawat untuk pertama kalinya. Dan sejak itu, gue akan sangat memahami kalau ada orang yang takut untuk naik pesawat, karena gue juga.

Selasa, 13 Maret 2018

Luka.

Silahkan menangis kencang
Hingga tak lagi terdengar

Menangislah
Agar engkau semakin kuat

Menangislah engkau sampai puas
Hanya satu yang kupinta

Berjanjilah..
Kau akan tersenyum setelahnya

Berjanjilah..
Tak ada lagi air mata untuknya

Tutup rapat segala rasa
Agar tak ada lagi luka

Karena jika cinta
Harusnya engkau bahagia


- f

Jumat, 23 Februari 2018

Scrub with Turmeric Powder for Brighter Face

Hello!

Setelah sekian lama engga menulis di blog, tiba-tiba kepikiran untuk share pengalamanku pakai bubuk kunyit ke wajah. Btw, pas nulis ini, aku lagi cari tempat magang, dan tiba-tiba pengen nulis blog. Kalian mudah teralihkan gini gak, sih? Apa aku aja, ya? Dan sembari nulis ini pun, kepikiran, enaknya tulisan santai kaya gini, atau dengan kalimat lebih formal, ya? 
Ok, back to the turmeric powder.

Jadi, sebenernya yang suka DIY gini tuh adik aku, karena dia punya masalah dengan kulit wajahnya, so yeah, she did everything to her face. Lalu pas liburan di rumah kemarin, aku coba pakai bubuk kunyitnya ke wajahku. Dengan berbekal informasi dari internet, ternyata khasiat kunyit salah  satunya adalah mencerahkan. 

Honestly, aku pakai pakai aja, bahkan lupa soal khasiat mencerahkannya, karena menurutku yang penting mukaku bersih karena aku nge-scrubThen i get a compliment from my friend "eh mukalu cerahan, deh" and i just wondering if it's true? Because i don't remember i use a night cream again until i realized all i did is scrubbing my face with turmeric powder three times a week. 

Temenku ikutan coba dan dia scrub ke bibir juga, kata temenku itu juga mencerahkan bibir. Lalu pas balik ke Malang, semua teman kosan mulai ikutan juga. I think turmeric powder is working on us.

Bubuk kunyitnya kaya gimana, Fel?

Aku cobain dua produk ini:



Aku lebih suka si Koepoe Koepoe, meskipun teksturnya lebih kasar daripada yang Desaku (but it doesn't hurt, anyway). Udah gitu, menurutku si Koepoe Koepoe ini enggak sekuning Desaku. Btw, ini bakal cocok-cocokan, sih. Some of my friends ngerasa agak panas pakai yang Koepoe Koepoe. 

How i used it?
  • Campur bubuk kunyit + air (satu sendok teh cukup semuka, atau dikira-kira aja).
  • Ratain ke wajah, diemin 10 menitan, jangan langsung di bilas.
  • Basahin tangan, terus pijat wajah kaya lagi scrub.
  • Cuci, deh, pakai sabun. 
  • Pakai toner di kapas, usapin ke wajah, deh. Selesai
But all we have to remember is muka jadi kuning setelah pakai ini. Saranku, pakainya pas mau tidur aja. Besok pagi pas cuci muka pakai sabun lagi juga hilang, kok! Don't worry!

So yeah, see you on next post! xx 



Jumat, 15 Desember 2017

Jerawat Punggung dan Dada

Sebenernya draft tulisan ini udah aja sejak berbulan-bulan yang lalu. Gatau kenapa males banget ngelanjutin tulisan yang ini. Dan tiba-tiba aja detik ini, yang seharusnya ngerjain laporan untuk uas, malah pengen nulis di blog. Jadi, yaudah, mending tuntasin dulu yang ada di draft. Sesuai judulnya, iya, jerawat juga bisa ada di punggung dan dada, bukan cuma di wajah aja.

Mungkin sebagian besar pernah mengalami ini, dan kesiksa karena gatal dan perih, serta bikin gak pede karena bekasnya. Anyway, bekas jerawat yang di wajah aja kadang hilangnya lama banget, padahal rutin di kasih krim malam dan teman-temannya. Gimana di punggung, bagian yang susah di jangkau?

Jerawat di punggung saya alamin saat SMA, ini masa-masa terparah, kadang di dada juga, meskipun gak separah di punggung. Dari yang kecil-kecil, sampai yang "matang" bikin perih. Saya berasumsi karena kegiatan sekolah dari pagi hingga sore, bikin punggung jadi "pengap" juga ditambah keringat. And you know how hot Jakarta's weather is.

Akhirnya, saya ke Sumber Waras untuk periksa ke dokter dan dikasih salep. It works untuk mengempeskan dan mengeringkan jerawat-jerawatnya, tapi keganggu aja gitu pake salep di punggung dan nempel di baju. Sesekali saya juga pakai bedak gatal untuk meredakan gatalnya.


Akhirnya, setelah baca sana-sini, saya coba Betadine sabun antiseptik. Honestly, sabun ini bikin kulit kering banget (di saya), dokter di Sumber Waras pun bilang gitu waktu saya tanya soal sabun ini, bahkan dia tidak menyarankan. Tapi, setelah coba sabun ini, jerawat kempes dan mengering, so i use it anyway. Saya menyarankan pakai sabun ini di bagian yang ada jerawatnya aja, bagian lain pakai sabun biasa.

Setelah jerawat mulai kempes dan kering, saya rutin scrub punggung untuk menghilangkan bekas-bekasnya. Scrubnya pakai apa aja yang cocok di kalian, ya. Kalau saya pakai scrub dari Shinzui. Did it works? Yes, of course, sangat memudarkan bekas jerawat. Mungkin seharusnya di kasih whitening cream juga biar hilang total bekasnya...uhm, no, i'm just kidding.


Ketika merantau, scrub punggung jadi enggak pernah dilakuin. Muncul lagi jerawat di punggung. Akhirnya saat ke Guardian, saya langsung nanya sama mbaknya obat buat jerawat punggung. Kata mbaknya, jerawat punggung bisa terjadi juga karena kelebihan kelenjar minyak di area tersebut. Ya, sama kaya jerawat di wajah kali, ya? Kalo kulit berminyak banget lebih mudah jerawatan. CMIIW. Akhirnya, saya beli dan rutin minum suplemen di atas untuk mengatur kelenjar minyak. It works too! Bikin kulit tubuh jadi lebih kering, tapi enggak parah, kok. Untuk jerawat di punggung, kayaknya ngebantu biar gak timbul jerawat lainnya, tapi, enggak bikin jerawat menghilang. 

Dan pada akhirnya saya enggak pakai keduanya. Cuma scrub aja, itupun kalau lagi pulang ke Jakarta. Terus jerawat punggungnya gimana?  I don't really know at all, mungkin kulit udah beradaptasi dengan cuaca di Malang, jadi jerawat kecil-kecil maupun yang perih lama-lama kempes dan hilang dengan sendirinya, tinggal bekasnya aja. Dan belakangan mandi pake shower puff, jadi berasa "menggosok" lebih bersih, karena sebelumnya gak pake shower puff. So yeah, that's all, what i have done for that. 

Semoga tulisan ini membantu.