Rabu, 05 Desember 2018

1:50 AM

Hai, apa kabar?

Sebenarnya isi tulisan ini sudah ada di kepala saya dari pukul 20.00 WIB tadi. Namun, belum sempat saya membuka laptop dan menuangkannya. Adakah yang lebih suka aktif di malam hari? Dulu saya begitu, sekarang pun juga, hanya saja, belakangan ini saya tidak mengerjakan apa-apa. Melamun? Mungkin. Merenung? Semacam itu. Entahlah.

Saya masih mengerjakan tugas akhir. Tadi pagi saya bertemu dosen pembimbing saya untuk menanyakan kelanjutannya. Syukur, meski belum sepenuhnya lampu hijau, saya boleh melanjutkan ke bagian selanjutnya.

Isi kepala hari ini muncul karena melihat ocehan teman saya yang diminta dosennya untuk menyelesaikan tugas akhir sebelum natal. Kta ini muncul di kepala saya: Wow.

Kalau teman saya baca tulisan saya ini, saya ingin bilang: Goodluck! Lo pasti bisa. Entah seminar proposal atau langsung selesai, lo bisa. Begadang yang lo lakuin selama beberapa minggu terakhir akan terbayar!

Sebenarnya, bukan soal itu poin dari tulisan ini, melainkan soal waktu bagi setiap orang.

Untuk mengajukan dosen pembimbing ini ada dua waktu, sebelum uts dan saat uas. Saya termasuk orang yang mengerjakan sebelum uts. Beberapa teman saya baru memikirkan ide penelitian seminggu sebelum uts dan beberapa lainnya belum mencari dosen pembimbing.

Banyak rencana yang saya sudah susun. Banyak target yang sudah saya buat. Namun kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Sampai saat ini saya masih berusaha membuat bagian satu, sedangkan teman saya yang baru memikirkan ide penelitian seminggu sebelum uts sudah mengerjakan bagian tiga. Bahkan teman lain pun sudah ada yang seminar proposal. Target untuk menyelesaikan bagian tiga di bulan ini pun sepertinya harus kandas, karena dalam dua minggu ke depan konsultasi diliburkan selama kurang lebih sepuluh hari karena dosen pembimbing saya ada kegiatan lain.

Setelah saya pikir-pikir, it’s okay. Saya tidak seharusnya tertekan karena orang lain melangkah atau selesai lebih dulu. Memang setiap orang punya waktunya masing-masing. Selama masih dikerjakan dan terus dikerjakan, seharusnya tidak perlu khawatir, kan?

Dari salah satu video di YouTube
“New York is 3 hours ahead of California, but it does not make California slow. Someone graduated at the age of 22, but waited 5 years before securing a good job! Someone became a CEO at 25 and died at 50. While another became a CEO at 50 and live to 90 years. Someone is still single while someone else got married. Obama retires at 55 but Trump starts at 70”
Saya setuju juga dengan kalimat di atas. Mungkin beberapa orang terlihat selangkah lebih maju dan beberapa lainnya terlihat tertinggal. Padahal tidak begitu. Semua orang punya waktunya masing-masing. Meskipun kalimat di atas tidak bisa ditelan mentah-mentah. Karena jika kita terus membandingkan diri kita dengan orang lain, kita akan pusing sendiri. Saya rasa, selama selalu diusahakan, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Terkadang semesta juga bekerja dengan caranya yang tidak terduga.

Selamat malam. Selamat beristirahat.




Rabu, 28 November 2018

1:48 AM

Malam ini seorang teman mengunggah tulisannya. Saya berdecak kagum karena ia berani memberi tahukan itu kepada teman-temannya di media sosial. Tapi, dari hal itulah saya belajar dan bertekad untuk berani menulis dan mengungkapkan apa yang sedang saya resahkan.

Awalnya, blog ini saya niatkan untuk berbagi ilmu soal kecantikan dan jalan-jalan, tapi biarlah label About Something ini menjadi lahan untuk hal lain yang ada di kepala saya. Jujur, kadang saya bingung sama diri saya sendiri. Suatu waktu, saya suka menuliskan diri saya dengan “Gue”, terkadang saya ingin terlihat lebih lembut dengan “Aku”, tapi tidak jarang juga saya ingin menggunakan “Saya” dengan bahasa Indonesia yang lebih teratur seperti saat ini. Jadi, jika di lain waktu saya menggunakan “Gue” dan “Aku”, percayalah, itu tetap diri saya.

Belakangan ini saya sedang merasa kosong, entah kenapa. Di semester tujuh ini saya dan teman-teman lainnya sedang mengerjakan skripsi. Hanya saja, kenyataan kadang tidak selalu sesuai harapan. Jalan yang ditempuh tidak selalu mulus. Hampir seminggu saya hanya berdiam di kamar kosan, makan, tiduran, dan begitu terus hingga akhirnya nanti pagi saya akan bertemu dengan dosen pembimbing saya.

Kadang saya ingin sekali mengeluh ke orang-orang terdekat, namun setelah saya pikir-pikir, mereka sudah cukup pusing dengan urusan masing-masing, saya tidak perlu menambahkannya. Hal yang bisa saya lakukan untuk sedikit mengurangi beban di kepala, ya, ini, menulis lagi di blog.

Kalian suka merasa semangat mengerjakan sesuatu, tidak? Sampai saat ini, salah satu pekerjaan yang saya impikan adalah menjadi penulis. Syukur, belakangan ini impian itu saya lakukan. Saya magang menjadi penulis dan reporter, setelah itu menjadi penulis bayaran di salah satu travel planner di Jakarta.

Ketertarikan saya terhadap menulis juga saya tuangkan bersama khayalan saya, kalian pasti paham, ya. Saya mencoba menulis fiksi dengan beberapa latar belakang berbeda. Sayangnya, saya suka terlalu semangat, seringkali juga bingung harus membuat skenario apalagi. Tapi sudahlah, tulisan di folder itu akan selalu saya usahakan dan kerjakan. Hal yang lebih penting lainnya ialah, skripsi saya yang harus cepat kelar agar saya cepat mendapat gelar.

Sekian, selamat malam. Selamat beristirahat, teman.


Sabtu, 08 September 2018

Untuk Kamu, Yang Sudah Berani Menyapa.

Hai, cinta
Begitu cepat kau menyapa
Datang di waktu yang tak terduga

Hai, cinta
Bikin hal-hal kecil mempunyai makna
Membuat detak jantung semakin terasa

Hai, cinta.
Terima kasih sudah singgah
Kamu berhasil ciptakan senyum saat memikirkannya
Padahal, baru saja bertegur sapa

Hai, cinta
Kamu berhasil bikin saya merasa jadi orang yang paling bahagia
Kamu berhasil mengangkat beban di kepala
Walau tak tahu akan bertahan seberapa lama

Hai, cinta
Saya berharap, untuk terus selamanya
Meskipun saya tahu, badai bisa menerjang kapan saja

Untukmu, belahan jiwa
Terima kasih sudah berani menyapa
Membuat saya percaya lagi akan bahagia
Mengisi hari penuh canda dan tawa

Hai kamu
Teruslah begini untuk selamanya


Selasa, 01 Mei 2018

Bandung di Bulan Agustus 2017

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi." - Pidi Baiq


"Salah satu cara untuk mengetahui sifat atau karakter seseorang adalah mengajaknya traveling bareng.", kata-kata ini sering kali gue lihat, di Twitter, di Blog orang, atau di postingan Instagram. Siapapun penulisnya, menurut gue, kata-kata itu ada benarnya.

Mungkin Bandung emang enggak sedingin tahun 2009. Enggak lagi bikin gue pakai jaket saat keluar rumah dan memasukkan tangan gue ke kantong seperti waktu itu. Mungkin buat sebagian orang juga, Bandung enggak berarti apa-apa, tapi buat sebagian lainnya, Bandung itu kota penuh cerita. Buat gue, Bandung itu kota penuh cerita, yang menjadi salah tujuan untuk melepas penat.

Gue sudah beberapa kali mengunjungi Bandung, karena Papa dulu buka usaha rental di sana. Mulai dari ikut tour sekolah hingga liburan bareng keluarga. Gue suka Bandung dengan segala hiruk piruknya, dengan dinginnya, dengan pisang salenya, dengan CiWalknya, dengan Gedung Satenya, dan dengan kemacetannya. Ya, dulu Papa malas banget untuk keluar saat weekend, karena sama kaya Jakarta, macet.

Di tahun 2017 kemarin, hype banget, deh, pokoknya sama yang namanya Dilan. Iya. Astaga. Namun, gue bersyukur juga. Mungkin kehiruk-pirukan soal Dilan ini juga yang membawa gue dan teman-teman gue ke Bandung. Sebenarnya, beberapa temen gue, termasuk gue, penginnya ke Jogja, mengingat lebih murah juga biayanya.

Beberapa temen gue, tim ikut aja. Mau ke mana juga enggak masalah, tetapi satu orang tiba-tiba menjadi keras kepala padahal enggak pernah terjadi sebelumnya. Reyfanny Jullianty. Pokoknya dia mau ke Bandung. Katanya mau cari Dilan, kalau ke Jogja, dia enggak ikut. Dasar gila. Oke. Mari kita ke Bandung, Reyfanny Jullianty.


Oh, iya, bersyukur banget waktu itu keuangan dan waktu antara gue dan teman-teman gue akhirnya sama-sama cocok. Jadilah kita pergi bareng keluar dari ibu kota untuk pertama kalinya. Demi perjalanan yang efektif dan efisien, kita semua bikin rencana dari a-z. Gue dan Cici mencari promo tiket kereta dan penginapan, lalu gue dan Levi juga menjadwalkan semua tempat yang direquest dan yang lainnya menyesuaikan hasil pencarian.

Bahkan gue, Fanny, dan Eunike bela-belain ke KAI Travel Fair yang jauh itu untuk mencari tiket murah yang ternyata bisa dipesan lewat Traveloka. Pas pulang, gue sama Fanny pessn Gojek dengan keadaan baterai sama-sama sisa 1 persen. Kemudian enggak bisa keluar dari halte busway karena cuma Eunike yang punya kartu dan turunnya beda. Alhasil, harus menunggu orang untuk nebeng keluar. Astaga. Kenapa, sih, gue dan temen-temen gue ini?

Seharusnya yang ikut pergi waktu itu adalah Gue, Cici, Fanny, Vinka, Mifta Bunda, Eunike, dan Levi. Sisanya enggak bisa dan enggak ada kabar. Namun, tiba-tiba aja Eunike ada kerjaan, jadi sisa gue berenam.

Thanks untuk Vinka dan Bunda sebagai tim ikut aja. Meringankan beban karena enggak perlu jelasin banyak-banyak kita mau gimana, tidur di mana, dan naik apa pas di Bandung. Lalu, terjadi drama dengan Nada Noerhalimah saat gue mencoba tetap menghubungi dia untuk mengajaknya ikut.

Ya Allah, ya Tuhan, berikan hambaMu ini kekuatan dalam menghadapinya. Ini anak, pas gue ajak malah bikin drama. Dia berpikir, seolah-olah, temannya itu enggak suka sama kehadirannya dia. Padahal, ya, enggak gitu. Nad. Kalau lo baca, orang pertama yang bakal benci sama lo itu bukan anak-anak yang lain, tetapi gue. Iya. Gue. Astagfirullah. Setiap ingat isi chat sama dia, pengin buang handphone rasanya. Sumpah enggak bohong.

Ekspresi menghadapi Nada

Si Nada pun bilang enggak mau ngikut. Jadi gue menyerah untuk membujuk dia. Sumpah, yang lain menyerahkan ke gue dan gue menyerah ke keajaiban. Lalu, h-3 atau beberapa hari sebelum berangkat, ini anak tiba-tiba bertanya soal jadwal kereta pulang-pergi. 

Ternyata dia mau ikut, tetapi gengsi untuk bilang. Makan, tuh, gengsi. Akhirnya dia jadi ikut, tetapi enggak satu gerbong sama kita semua. Rasakan itu Nada Noerhalimah. Itu adalah sebab dari drama dan gengsi yang lo bikin sendiri. Astagfirullah. Eh, tetapi gue enggak bisa marah sama dia waktu itu. Gue menyesal kenapa enggak marah-marah sama dia. Sudahlah, mari lupakan drama dengan Nada Noerhalimah ini.

Kalau pas kecil pergi bareng keluarga, belum seberapa "sadar" sama keadaan Bandung. Ketika perginya barenh teman-teman di usia ini, ada perasaaan tersendiri. Perjalanan kemarin buat gue pribadi seru abis, sih. Mulai dari main ke tengah kota naik Uber yang bayarnya dua kali lipat karena dibawa muter-muter. Jauh-jauh ke Bandung malah makan Gokana di CiWalk, dan jauh-jauh ke Bandung malah ke Chingu Cafe perkara K-Pop.

Mulai dari bingung mau naik apa ke Lembang, pesan rental mahal, pakai Grab/Gojek ribet karena kita bertujuh, dan berujung pakai rental juga. Berakhir gue di kasih uang karena yang supirin itu partner Papa dulu hahaha.

Happy us!

Anyway, supir rental itu namanya Om Yanto. Awalnya kita sudah menyusun tempat yang ternyata muter-muter. Akhirnya dia yang membereskan rencana perjalan kita.

Perjalanan pertama ke Farmhouse Susu Lembang, lalu ke Grafika Cikole yang mendapat pertanyaan dari supir "Lah emang ada apa di sana?", ya gimana ya om, namanya juga anak Ibu Kota, jarang lihat pinus dan pepohonan. Tadinya, hampir enggak jadi ke The Lodge Maribaya, karena kata Om Yanto ada longsor, tetapi akhirnya dicari jalan lain untuk menuju ke sana. Meskipun kemarin enggak jadi ke Floating Market.

Besoknya, kita jalan-jalan di Braga dan jalan Asia-Afrika, kota tuanya Bandung. Sejujurnya, gue akan memilih Braga dan sekitarnya kalau ada kesempatan untuk tinggal di Bandung. Meskipun Lembang masih seasri dan sedingin itu, tetapi gue suka aja lihat keramaian dan orang lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Bandung, 13 - 15 Agustus 2017, sebuah perjalanan yang cukup singkat dengan banyak kesan, perjalanan dengan berbagai destinasi penuh kenangan, perjalanan yang selalu di akhiri dengan dongeng di setiap malam, perjalanan penuh ocehan di setiap kesempatan, perjalanan penuh pencarian akan Dilan, perjalanan yang penuh dengan drama kecil-kecilan, dan mungkin sebuah perjalanan yang gak akan terlupakan.

Mengingat semakin tua usia, semakin sempit lingkar pertemanan, semakin sedikit waktu untuk ketemuan, dan semakin susah berhubungan. Jadi kalo ada kesempatan, ya langsung dilakukan, contohnya jalan-jalan.

Ayok, kapan?

Rabu, 21 Maret 2018

Liburan Dua Minggu di Sumatera Barat



Dari Bandara Internasional Minangkabau menuju kampung halaman, gue melalui jalan yang berkelok-kelok yang gue pikir enggak ada akhir. Maklum, jalanan di bukit, sebelah tebing, sebelah lagi jurang, dan naik-turun enggak lempeng seperti jalan tol. 

Efek jalanan seperti ini ke badan itu bikin mual dan pusing. Apalagi kalau perut belum di isi sama Nasi Kapau. Duh! Sekarang gue tahu betapa enak dan nikmatnya Nasi Kapau. You have to try it. You have to eat Nasi Kapau! Apalagi langsung dari asalnya dan sekarang gue kangen Keripik Sanjai.

Setelah hampir 7 tahun lamanya gue enggak pulang kampung, pertengahan Juli 2017 lalu akhirnya gue datang ke tempat yang terkenal banget dengan Jam Gadang-nya. Siapa tahu perjalanan ini jadi one step to go to another city or country, right? Anyway, it was my first time for taking an air plane and Lion Air is on time, dude! So happy to hear that, huh?

Setelah beberapa kali pulang kampung, akhirnya tahu bagaimana, sih, bentuk dari Kelok Sembilan, Istana Pagaruyung, dan lain-lain. Anyway, terima kasih untuk om dan tante di sana atas tumpangan dan traktirannya yang bikin aku jadi tahu tempat-tempat yang selama ini cuma aku dengar tanpa tahu wujudnya seperti apa.

Kelok Sembilan, sebenarnya jalanan biasa dengan kelok yang terlihat jelas, yang menurut tante gue emang ada 9 jumlahnya. Akhirnya, sampai juga di kelok yang paling atas. Jalanan berkelok di antara bukit-bukit yang membuat banyak orang berhenti, lalu keluar dari kendaraannya untuk berfoto atau melepas penat. The view is really cool! Meskipun enggak sedikit juga kendaraan yang hanya berlalu-lalang melewatinya dengan tujuan masing-masing. Seperti hidup, mungkin kita di jalan atau tempat yang sama, tetapi tetap punya tujuan masing-masing.

Setelah foto-foto dan duduk-duduk di Kelok Sembilan, tujuan selanjutnya adalah Lembah Harau. Lembah Harau ini lebih deket dari rumah tante gue, but she took me to Kelok Sembilan first karena tante gue tahu kalau di Kelok Sembilan itu hanya sekedar liat-liat dan foto saja. Lembah Harau itu lebih ramai, seperti tempat wisata pada umumnya. Pengunjung bisa belok ke kiri untuk lihat air terjun dan ke kanan untuk lihat tebing yang mengelilingi dengan indah. We turn right first dan kata tante gue di sini tempat menginap anak-anak sekolah yang punya acara dari sekolah. Setelah itu kita ke air terjun dan banyak tukang foto langsung jadi di sana. I tried it in Kelok Sembilan tooBtw, i love the way my aunt manage the time, then i really get something from her: 

“Aturlah perjalananmu dengan baik, agar semua destinasi bisa kamu kunjungi dan kamu tetap menikmatinya.” –Felly, 2018.

Oke, gue lanjutin tulisan ini, setelah hampir enam bulan gue diemin. Tadinya, gue pengen nulis a la travel blogger, tapi yaudah, gini aja. Next, gue ke Danau Singkarak, yang kalo menurut gue, dilihat dari atas itu bagus, dari deketpun menarik perhatian. Banyak anak-anak yang berenang di sana, termasuk sepupu gue. Banyak juga orang yang naik perahu/kapal, entah dari mana ke mana. Gue? Menikmati sekitar. Lalu gue ke Istana Pagaruyung dan mendapat tour guide yang super baik, alias tukang foto yang secara suka rela menjadi tour guide gue di Istana Pagaruyung. It was a great place, dan gue merasa de javu saat itu, kayak pernah ke tempat kayak gini di Jakarta.

Tentang ke Jam Gadang, gue berkali-kali ke sana saat itu, siangnya ke Pasar Atas, malamnya ke Jam Gadang, warnanya berubah-ubah pas malam, it's cool. Then, i had an experience when i was at Panorama. Di mana saat itu, gue disamperin monyet, yang mengira kalo gue itu bawa makanan, yang padahal itu adalah handphone gue. Astaga, dag-dig-dug perasaan ini dikelilingin monyet. Lalu semakin gue banyak gerak, monyetnya semakin nyamperin. And how can i fight with monkeys?! 
Next, mungkin yang pernah ke Danau Maninjau dan Puncak Lawang, tau gimana bentuk jalanan untuk ke sana. And that’s the only way to get there. Masalahnya gini, gapapa kalau sekali jalan, Danau Maninjau dan Puncak Lawang terlewati. Tapi seringkali kenyataan gak sejalan dengan harapan. Ketika gue mau ke Danau Maninjau, dan udah sampe di kelok 11, which means i had through 33 kelokan, jalanannya lagi di perbaiki, dan harus menunggu dua jam. Om gue sangat tidak bersedia untuk menunggu selama itu, lalu guepun balik, mampir ke Ngarai Sianok sebentar, lalu pulang. Such a great day. Mungkin ini cara semesta menyuruh gue biar cepet balik lagi ke Bukittinggi, untuk menyelesaikan 11 kelokan itu.
Besoknya, gue di ajak ke Puncak Lawang, yang kata om gue yang lain, “belum afdol liburan, kalo belum ke Puncak Lawang, Fel”. Bahagialah diriku, karena akan afdol liburannya. Setelah mulai perjalanan, gue memulai percakapan dengan “om, ini lewat mana jalanannya?” “lewat yang kemarin pas mau ke Danau Maninjau”, detik itu juga rasanya ingin gue batalin aja, gapapa gak afdol liburan gue daripada harus ngelewatin jalanan itu. Tapi, setelah sampai, whoa, kebayar semua rasa mual di perut. It was a really great view! Mungkin salah satu tempat tertinggi, seperti namanya juga, gue bisa melihat apapun dari sana, termasuk Danau Maninjau di bawahnya, lalu tibalah waktu saat gue bertemu tanpa sengaja dengan temen kuliah gue di Malang. LIKE, DUDE? REALLY?

Honestly, 2017 such a great year, one of a great year for me. Pulang kampung setelah hampir 7 tahun, setelah itu langsung liburan ke Bandung bareng temen-temen (lain kali gue ceritain, ya, ini juga seru dan penuh drama). Dan yang berkesan dari semua itu di 2017 adalah, naik pesawat untuk pertama kalinya. Dan sejak itu, gue akan sangat memahami kalau ada orang yang takut untuk naik pesawat, karena gue juga.