Gue memberikan judul ini karena teringat masa-masa mengerjakan skripsi. Setelah gue pikir-pikir, hidup gue agak lambat. Gue lulus 4,5 tahun. Molor dari rencana gue yang ingin lulus tepat waktu.
Meskipun terdengar seperti butterfly effect, gue mensyukuri banyak hal atas terlambatnya kelulusan gue. Setelah resmi sendirian di kos, gue jadi lebih banyak main sama teman-teman gue yang lain.
Gue merasakan juga keseruan menginap di kontrakan teman, menghabiskan waktu di kedai kopi hampir setiap malam, hingga rencana dadakan main ke luar Malang. Kenapa gue mensyukuri hal ini? Karena sebagian besar teman gue perempuan dan all of us berada di zona nyaman yang sama.
Ya, itu sebagai contoh kalau tidak semua hal yang berjalan tidak sesuai rencana itu buruk. Kita bisa mengubah cara pandang terhadap sesuatu. Karena, kalau saja gue terus merasa putus asa (meskipun sempat), gue mungkin akan melewatkan hal-hal menyenangkan itu.
Setelah lulus dan kembali ke Jakarta sebagai fresh graduate, gue bisa magang di salah satu E-Commerce besar di Infonyaa. Senang? Oh, tentu. Meskipun demikian, setelah masa magang habis, gue mulai panik.
Gue harus cepat dapat kerja full time. Ini yang seharusnya dilakukan seorang fresh graduate. Dapat kerja.
Gue sempat tertekan yang membuat gue tidur jam 3 pagi dan bangun pukul 7 pagi. Apa yang langsung gue lakuin ketika bangun tidur? Melamar kerja.
Gue sempat wawancara, kok, dengan beberapa perusahaan. Ada yang ditolak, ada yang tidak sesuai dengan nilai yang gue yakini sehingga gue tolak, dan lainnya.
Ya, gue pernah menolak juga beberapa pekerjaan karena tidak cocok dengan nilai yang diyakini. (Gue terdengar visioner, tetapi masih pakai perasaan juga). *sigh*
Akhirnya, gue magang di salah satu media online di Indonesia. Ya, setidaknya gue punya pemasukan. Masalahnya, gue tahu kalau kemungkinan diangkat menjadi karyawan itu kecil. Soalnya banyak anak magang yang sudah lebih dari 6 bulan di sana.
But here's the thing. Gue ingat dan catat dalam hati. Jenis pekerjaan apa yang gue mau, rencana pekerjaan kalau sekiranya yang gue pengin tidak tercapai, apa saja toleransi gue terhadap keadaan, berapa lama gue harus menjadi idealis, dan lainnya.
Hal-hal ini juga yang membuat gue menolak beberapa pekerjaan. Tidak sesuai dengan perhitungan yang sudah gue punya. Btw, gue pengin bilang kalau gue punya sedikit privilege; tidak dituntut orang tua untuk segera mendapat kerja dan membiayai keperluan rumah.
Dua minggu menganggur sejak magang di media online, salah satu kompetitor E-Commerce tempat gue magang di awal tahun menghubungi gue. Kalian tahu? Di sini gue lagu proses melamar pekerjaan di tempat teman gue.
Apa rasanya ada full time di depan mata, tetapi tawaran intern di perusahaan besar dengan reputasi oke menghampiri? Gue pernah kehilangan dua kesempatan sekaligus. Gue tidak akan mengulanginya lagi.
Akhirnya gue bilang ke orang tua gue kalau gue lagi proses wawancara di perusahan tempat teman gue bekerja, tetapi gue juga mendapat tawaran intern di perusahaan besar. Gue akan pilih yang memberi kabar paling pertama.
Ternyata gue dinyatakan diterima sebagai intern. Besok, perusahaan teman gue memberi kabar bahwa gue lolos ke tahap terakhir. But I already make a promise and decision.
Gue pun berjanji ini menjadi magang terakhir. Sudah saatnya gue mencari pekerjaan full time. Teman gue pun sudah memberi label pada diri gue sebagai spesialis internship. Sungguh. (But, all those internships membawa banyak pengaruh baik ke setiap wawancara yang gue lakukan, loh!)
Dua minggu terakhir magang, gue memberanikan diri untuk bertanya tentang kesempatan untuk gue berkarir di sana. Kesempatan itu pun datang setelah penantian panjang.
Gue bersyukur banget. Perjalanan gue yang tidak sebentar ini akhirnya membuahkan hasil. Ya, meskipun perjalanan ini akan sangat panjang. Ini baru permulaan.
Gue sadar, kalau saja kemarin gue buru-buru, kalau saja gue tidak pakai perhitungan, kalau saja gue asal menerima, gue tidak bisa membayangkan, sih.
Akhirnya gue paham pentingnya berlaju dengan persiapan, berlaju dengan matang, berlaju dengan banyak rencana. Pun gue sedang tidak berlomba-lomba dengan siapapun.
Gue hanya berlomba dengan ketakutan akan ketinggalan, berlomba dengan pencapaian seseorang yang sebenarnya gue juga tidak tahu kerasnya jalan yang dia lewatkan, atau berlomba untuk mendapat pengakuan. Entah.
Dear self, selamat menempuh perjalanan baru. Fighting!