Rabu, 03 Februari 2021

Mengenal Kata Cukup dengan Gaya Hidup Minimalis


Belajar hidup miminalis

Belakangan ini gue lagi tertarik dengan gaya hidup minimalis. Entah kenapa, gaya hidup ini (sebagian besar) cocok dan masuk akal untuk gue. Salah satu poin dari gaya hidup minimalis yang gue pahami adalah merasa cukup atas sesuatu yang telah dimiliki.

Gue membaca buku Goodbye, Thing: Hidup Minimalis ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki dan menonton film dokumenter Minimalism: A Documenter About the Important Things di Netflix. Sederhananya, dua hal ini memberikan gambaran tentang hidup dengan sedikit barang.

Dari buku yang gue baca, gue mendapatkan pencerahan bagaimana barang dan ruang yang kita punya itu dapat memberi sumbangan stres dan kebahagiaan yang cukup signifikan.

Fumio menjabarkan bagimana dahulu saat dirinya mengoleksi banyak barang yang pada akhirnya hanya menumpuk tanpa arti. Dirinya pun sudah terlalu lelah untuk sekedar merapikannya. Fumio juga memberi contoh bagaimana semakin sedikit barang bisa membuat perasaan menjadi lebih senang.

Ya, seperti hendak berpergian lalu tiba di hotel. Kamar hotel adalah salah satu contoh keadaan kamar yang terisi dengan barang secukupnya. Paham, kan, rasa lega melihat tempat dengan sedikit barang seperti kamar hotel? Lalu, perasaan stres dengan banyak barang ia umpakan saat pulang dari berpergian. 

Bagaimana kita harus menyusun barang ke dalam koper yang ditambah dengan barang-barang yang baru saja dibeli saat liburan. Bagaimana kita harus putar otak untuk membuat barang-barang tersebut masuk ke dalam koper.

Gue pun setuju dengan contoh yang Fumio berikan. Terkadang gue juga merasa gerah dengan barang-barang di kamar dan rumah gue yang berantakan. Apalagi kalau barang tersebut sudah lama tidak digunakan. Namun, atas nama takut nanti diperlukan, disimpanlah barang itu.

Lanjut ke film dokumenter, ada dua pemeran di sana, Joshua dan Ryan. Mereka sudah berteman sejak kecil dan banyak kejadian yang akhirnya membuat mereka memutuskan untuk hidup minimalis dan membangun web theminimalists.com untuk menceritakan perjalanan mereka.

Sejujurnya gue banyak menerima insights dari sisi Joshua. Bagaimana ia menceritakan perjalanan karier, rumah tangga, hingga ibunya yang jatuh sakit. Singkatnya, pada satu titik terendah dalam hidupnya, Joshua mencari arti dari semua barang-barang yang telah ia miliki. Rupanya nihil. Perasaannya hampa.

Mulai dari sana Joshua belajar untuk memilah dan menyortir barang yang dimilikinya. Di suatu waktu, Ryan menyadari perubahan yang terjadi pada hidup sahabatnya. Akhirnya Ryan pun memutuskan untuk ikut mencoba gaya hidup minimalis dan mulai menyortir barang-barangnya.

Long story short, ketika ibunya Joshua meninggal, ia datang ke rumah ibunya dan menemukan banyak barang. Ada sebuah kotak yang ternyata isinya foto-foto Joshua saat masih kecil.

Ada keterkaitan poin ini dengan buku Fumio. Poinnya adalah seringkali kita memberikan nilai sentimentil terhadap benda. Jadi, barang-barang banyak menumpuk atas nama kenangan. Padahal, kenangan itu adanya di pikiran kita.

Gue tidak sepenuhnya setuju karena terkadang dengan melihat album lama itulah kenangan lama muncul dengan jelas di kepala. Lalu, Fumio memberikan jalan alternatif untuk foto-foto yang sudah dicetak; di-scan dan simpan di file komputer dan semacamnya. Yes, it makes sense to me.

Dari film dan buku ini juga memberikan pencerahan tentang keberadaan benda dalam hidup. Apakah kita benar membutuhkan barang-barang tersebut atau sekadar bentuk nilai atas diri kita? Maksudnya begini, rak yang dipenuhi buku, meja rias yang dipenuhi dengan make-up, lemari dengan berbagai model pakaian, dan koleksi lainnya, apakah benar kita membutuhkannya?

Apa buku di rak sudah dibaca semua? Apakah paham dengan semua isi buku yang dibeli? Atau jangan-jangan, kita hanya ingin terlihat cerdas karena mengoleksi banyak buku? Begitu pula dengan koleksi barang lainnya.

Kalau menurut gue, tidak ada yang benar atau salah untuk gaya hidup yang orang pilih. Hanya saja, ya, gaya hidup minimalis ini bisa menjadi pengingat untuk tidak bertindak impulsive terutama saat berbelanja.

Oh, iya. Gaya hidup minimalis ini bukan juga soal pilihan warna barang yang harus netral. Bukan juga harus membeli barang yang murah dan tidak boleh beli barang yang mahal. Bukan. Selain itu, seseorang yang tidak memiliki televisi belum tentu menerapkan gaya hidup minimalis dan seseorang yang memiliki televisi bisa saja menerapkan gaya hidup minimalis.

Gaya hidup minimalis ini mengajarkan gue untuk tahu apa saja barang yang sebenarnya dibutuhkan, untuk tahu apa saja barang yang dimiliki, dan untuk tahu apa saja barang yang sering dan tidak digunakan.

Gue memahami gaya hidup ini sebagai pengingat untuk merasa cukup. Mengenali dengan baik apa itu kebutuhan dan keinginan. Bagaimana gue harus menggunakan dan memanfaatkan barang sebijaksana mungkin agar tidak menjadi tumpukan barang yang tidak berguna di rumah.

Bagaimana cara memulai hidup minimalis? Berani membuang barang itu salah satu jawabannya. Banyak orang yang terjebak dengan kalimat yang gue sebutkan di atas; takut nanti dibutuhkan. Padahal tahu kalau barang itu tidak akan tersentuh dalam satu tahun ke depan.

Ya, memang harus pelan-pelan. Bisa dilihat dari barang-barang terdekat, mungkin. Make-up misalnya? Coba diingat-ingat, lipstick apa yang sudah lama tidak digunakan? Segera buang ke tempat sampah. Selamat mencoba! 

p.s
I know I will never fully adopt this lifestyle even though I-can-decluttering-my-clothes-and-make-up because I still collect albums from my beloved boy bands GOT7 and Seventeen. *clown*