Aku mengagumi sosok itu. Si pekerja keras tak kenal gengsi yang pandai bersosialisasi. Lelaki dengan banyak mimpi yang selalu paham bagaimana mengatasi banyak situasi.
Mengingat hari saat aku dan dirinya sibuk bertukar pesan untuk berbagi kisah. Mengeluh hal-hal tak penting hingga ide konyolnya yang mengundang tawa. Tak jarang kantuk kutahan agar tetap mendengar suaranya.
Mengingat hari saat aku tak kuasa menganggukkan kepala saat dirinya bertanya apakah aku bersedia untuk menjadi kekasihnya saat di bangku kuliah.
***
"Kita ke pergi ke sini, yuk!"
"Tiba-tiba?"
"Besok jam 7 pagi gue jemput, ya!"
"Dasar gila!"
Begitulah kira-kira percakapan di Sabtu malam sebelum memejamkan mata. Kukatakan dirinya gila sedang kubereskan beberapa perlengkapan di pagi buta untuk perjalanan yang tiba-tiba. Diklaksokan mobil tanda ia sudah tiba. Kuturuni anak tangga dengan langkah besar dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Ia pasang senyuman sambil menyalipkan rambutku ke belakang telinga.
"Berapa lama perjalanannya?"
"Dua sampai tiga jam, mungkin?"
"Oke. Refreshing setelah ujian."
"Let's go?"
"Let's go!"
Perjalanan tiba-tiba ini menjadi ajang karaoke dadakan. Puluhan lagu dilantunkan dan dengarkan. Sambil sesekali ia daratkan kecupan di punggung tanganku saat dalam genggaman. Kuhabiskan waktu bersamanya di antah berantah. Sebuah tempat yang masih belum terjamah. Berendam dan berenang sesuka hati dalam kolam seakan-akan di rumah.
***
Mengingat hari menyenangkan saat tawa tiada habisnya. Mengeluhkan betapa aneh tingkah laku hewan peliharaannya. Kumerindukan sosok yang telah menemaniku tiga tahun lamanya. Kini hanya satu atau dua kalimat yang tertukar. Beberapa ucapan menyambut pagi atau menutup malam. Sesekali membahas siang dengan sukar.
***
Kulangkahkan kaki menuju teman-temanku yang lebih dulu sampai. Melepas rindu yang tertahan karena semua sibuk dengan tugas yang tak kunjung usai. Membahas apapun hingga berandai-andai. Semua membahagiakan sampai pertanyaan itu tiba. Bagai dilempar batu tepat di dada.
"Iya, kedai kopi itu enak, sih. Cuma masih ramai. Ya, kan? Kemarin malam dia ke sana, tuh, sama pacarnya."
Tertegun saat sadar bahwa akulah yang menjadi topik pembicaraan saat tangan temanku menyolek lengan yang kusandarkan di meja. Kulemparkan senyum sebagai jawaban, persetujuan, juga kebingungan.
Tersadar akan kenyataan tentang sebuah dusta lelaki kemarin malam yang membawa kabar bahwa dirinya masih di luar kota.