Minggu, 21 Maret 2021

#2 Kedai Kopi dan Memori


Aku mengagumi sosok itu. Si pekerja keras tak kenal gengsi yang pandai bersosialisasi. Lelaki dengan banyak mimpi yang selalu paham bagaimana mengatasi banyak situasi.

Mengingat hari saat aku dan dirinya sibuk bertukar pesan untuk berbagi kisah. Mengeluh hal-hal tak penting hingga ide konyolnya yang mengundang tawa. Tak jarang kantuk kutahan agar tetap mendengar suaranya.

Mengingat hari saat aku tak kuasa menganggukkan kepala saat dirinya bertanya apakah aku bersedia untuk menjadi kekasihnya saat di bangku kuliah.

***

"Kita ke pergi ke sini, yuk!"
"Tiba-tiba?"
"Besok jam 7 pagi gue jemput, ya!"
"Dasar gila!"

Begitulah kira-kira percakapan di Sabtu malam sebelum memejamkan mata. Kukatakan dirinya gila sedang kubereskan beberapa perlengkapan di pagi buta untuk perjalanan yang tiba-tiba. Diklaksokan mobil tanda ia sudah tiba. Kuturuni anak tangga dengan langkah besar dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Ia pasang senyuman sambil menyalipkan rambutku ke belakang telinga.

"Berapa lama perjalanannya?"
"Dua sampai tiga jam, mungkin?"
"Oke. Refreshing setelah ujian."
"Let's go?"
"Let's go!"

Perjalanan tiba-tiba ini menjadi ajang karaoke dadakan. Puluhan lagu dilantunkan dan dengarkan. Sambil sesekali ia daratkan kecupan di punggung tanganku saat dalam genggaman. Kuhabiskan waktu bersamanya di antah berantah. Sebuah tempat yang masih belum terjamah. Berendam dan berenang sesuka hati dalam kolam seakan-akan di rumah.

***

Mengingat hari menyenangkan saat tawa tiada habisnya. Mengeluhkan betapa aneh tingkah laku hewan peliharaannya. Kumerindukan sosok yang telah menemaniku tiga tahun lamanya. Kini hanya satu atau dua kalimat yang tertukar. Beberapa ucapan menyambut pagi atau menutup malam. Sesekali membahas siang dengan sukar.

***

Kulangkahkan kaki menuju teman-temanku yang lebih dulu sampai. Melepas rindu yang tertahan karena semua sibuk dengan tugas yang tak kunjung usai. Membahas apapun hingga berandai-andai. Semua membahagiakan sampai pertanyaan itu tiba. Bagai dilempar batu tepat di dada.

"Iya, kedai kopi itu enak, sih. Cuma masih ramai. Ya, kan? Kemarin malam dia ke sana, tuh, sama pacarnya."

Tertegun saat sadar bahwa akulah yang menjadi topik pembicaraan saat tangan temanku menyolek lengan yang kusandarkan di meja. Kulemparkan senyum sebagai jawaban, persetujuan, juga kebingungan.

Tersadar akan kenyataan tentang sebuah dusta lelaki kemarin malam yang membawa kabar bahwa dirinya masih di luar kota.

Rabu, 17 Maret 2021

Angin dan Harapan

Begini, rasanya itu seperti harus keluar rumah dan berjalan di jalan yang penuh sampah dan duri. Belum juga melangkahkan kaki, rasanya sudah lelah.

Padahal, saya juga tidak sendiri. Banyak manusia yang harus menempuh perjalanan yang lebih buruk dari ini. Meskipun begitu, saya tetap boleh mengeluh, 'kan?

Saya harus berjalan sekaligus membersihkan pun berhati-hati. Salah-salah, saya bisa tersungkur dan kesakitan. Saya tidak mau merasakan sakit dua kali.

Kau tahu? Perjalanan ini akan lebih ringan kalau saja ada yang membantu saya membersihkan sampah dan menyingkirkan duri. Ah, andai saja.

Terkadang saya iri. Saya melihat orang lain berjalan dengan mudah karena banyak orang yang membantu menyingkirkan sampah dan duri tersebut. 

Namun, kenapa jalan yang saya lalui harus begitu suram? Meskipun saya optimis bahwa terang di ujung jalan sana adalah hadiah yang akan saya dapatkan.

"Hey, bolehkah saya berada di posisimu sebentar? Saya ingin tahu rasanya tersenyum menatap jalanan yang akan saya lalui. Bukan lesu dan tarikan napas yang panjang setiap kali ingin melangkah."

Terkadang saya ingin menyerah. Biarlah angin membawa saya ke mana pun. Saya pasrah. Namun, saya teringat sesuatu. Beberapa hal di ujung jalan seolah mengatakan untuk tidak menyerah. Sedikit lagi.

Kau tahu? Setelah berjalan terseok-seok sampai ke ujung jalan, saya teringat kembali tentang jalan pulang. Rasanya sesak lagi. Tahu kalau sampah dan duri itu masih tetap kembali.

Jika tidak ada manusia yang dapat membantu menyingkirkannya, saya berharap angin segera membawa sampah dan duri tersebut pergi. Agar perjalanan saya jauh lebih ringan.

Biarlah batu dengan jalan sedikit berlubang yang menemani perjalanan saya. Itu cukup. Ya, angin? Kau dengar, 'kan?

Kamis, 04 Maret 2021

Mencari Jawaban

Menurutku,
Karena manusia itu dinamis
Bergerak, berubah
Pun perasaannya

Namun,
Aku mulai tahu
Aku mulai paham
Perbedaannya bisa dirasakan

Apa perasaan itu menjadi maju
Apa perasaan itu menjadi mundur
Tak berhenti di sana
Kecepatannya pun bisa dihitung

Ya,
Pun bisa aku keliru
Perhitungan tak tepat
Yang dirasa menjadi ragu

Kalau kau ingin lebih yakin
Coba kau peluklah
Tatap matanya
Barangkali ada jawaban lain di sana