Begini, rasanya itu seperti harus keluar rumah dan berjalan di jalan yang penuh sampah dan duri. Belum juga melangkahkan kaki, rasanya sudah lelah.
Padahal, saya juga tidak sendiri. Banyak manusia yang harus menempuh perjalanan yang lebih buruk dari ini. Meskipun begitu, saya tetap boleh mengeluh, 'kan?
Saya harus berjalan sekaligus membersihkan pun berhati-hati. Salah-salah, saya bisa tersungkur dan kesakitan. Saya tidak mau merasakan sakit dua kali.
Kau tahu? Perjalanan ini akan lebih ringan kalau saja ada yang membantu saya membersihkan sampah dan menyingkirkan duri. Ah, andai saja.
Terkadang saya iri. Saya melihat orang lain berjalan dengan mudah karena banyak orang yang membantu menyingkirkan sampah dan duri tersebut.
Namun, kenapa jalan yang saya lalui harus begitu suram? Meskipun saya optimis bahwa terang di ujung jalan sana adalah hadiah yang akan saya dapatkan.
"Hey, bolehkah saya berada di posisimu sebentar? Saya ingin tahu rasanya tersenyum menatap jalanan yang akan saya lalui. Bukan lesu dan tarikan napas yang panjang setiap kali ingin melangkah."
Terkadang saya ingin menyerah. Biarlah angin membawa saya ke mana pun. Saya pasrah. Namun, saya teringat sesuatu. Beberapa hal di ujung jalan seolah mengatakan untuk tidak menyerah. Sedikit lagi.
Kau tahu? Setelah berjalan terseok-seok sampai ke ujung jalan, saya teringat kembali tentang jalan pulang. Rasanya sesak lagi. Tahu kalau sampah dan duri itu masih tetap kembali.
Jika tidak ada manusia yang dapat membantu menyingkirkannya, saya berharap angin segera membawa sampah dan duri tersebut pergi. Agar perjalanan saya jauh lebih ringan.
Biarlah batu dengan jalan sedikit berlubang yang menemani perjalanan saya. Itu cukup. Ya, angin? Kau dengar, 'kan?