Rabu, 24 Juni 2020

Ketakutan Dalam Diri.


Hai, apa kabar? Sudah lama saya tidak bercerita di sini. Oh, iya, saya punya website baru. Tetapi, tangan saya tetap memilih blog ini untuk bercerita.

Baru saja saya membahas tentang ketakutan yang saya alami sekitar 10 tahun lalu. Tentang bayang-bayang masa depan yang menghantui.

Sekitar 10 tahun lalu, saya pulang ke Bukittinggi. Di sana saya melihat foto tante saya yang menggunakan toga. Dalam hati saya berpikir "Apa saya mampu untuk kuliah? Apa saya sanggup untuk kuliah? Apa saya bisa menjadi sarjana?"

Ada sedikit ketakutan di sana. Saya juga sudah mengenal sedikit-sedikit tentang skripsi yang katanya bikin tidak bisa tidur dan sulit. Saya takut jika saya tidak mampu menjadi seperti tante saya; menjadi seorang sarjana.

Sepuluh tahun itu telah berlalu. Lika-liku kehidupan menjadi anak sekolah saya lalui. Dengan segala keluh kesah dan kenangannya.

Di tahun 2015 saya merantau jauh dari Jakarta, untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Ah, ternyata saya mampu dan sanggup untuk kuliah.

Di semester ke-4 saya mulai dibayangi tugas akhir yang harus dilakukan seorang diri. Penelitian yang harus saya lakukan sendiri.

Ah, apa yang harus saya teliti? Bagaimana kalau saya tidak sanggup? Bagaimana kalau saya menyerah nanti? Bukankah semua menjadi sia-sia?

Ketakutan itu semakin menghantui seiring berjalannya perkuliahan. Mulailah saya harus mencari magang di semester tujuh dan memikirkan judul penelitian yang ingin saya lakukan.

Menjalani perkuliahan di semester akhir benar-benar menguras pikiran. Iya, pikiran. Saya sudah tidak punya kelas untuk didatangi, tetapi saya selalu merasa lelah. Sempat putus asa dan ingin menyerah. Tetapi saya ingat perjuangan saya meyakinkan orang di rumah untuk merantau ke Jawa Timur. Saya harus selesaikan apa yang saya mulai.

Bulan Desember 2019, saya dinyatakan lulus oleh dosen penguji. Ah, akhirnya, hampir setahun penuh saya mengerjakan tugas akhir ini dengan segala kepanikan yang saya punya.

Setelah itu saya tersadar akan ketakutan saya 10 tahun yang lalu. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul tentang masa depan.

Ternyata saya mampu dan bisa menjadi seorang sarjana. Woah. Apa, ya, yang terjadi kalau waktu itu saya tidak melihat foto tante saya? Entahlah.

Ketakutan-ketakutan itu seringkali datang bergantian. Memunculkan rasa ragu yang besar dalam diri. Entah untuk menakuti atau menyemangati. Mungkin kita hanya perlu terus percaya diri. Dengan semua kerja keras dan cerdas, hasil tak pernah mengkhianati.

Berdamai dengan Keadaan Selama Covid-19



Hai! Apa kabar?

Gimana? Sudah bosan di rumah? Sudah mati gaya? Sama, saya juga. Apalagi, saya ini seorang extrovert. Saya sampai melewati titik bahwa tidur saya tidak lagi nyenyak. Saya butuh bertemu dan bercengkrama dengan teman-teman saya.

Bahkan, seorang teman yang introvert pun sudah tidak tahan terus berdiam diri di rumah. Ah, Corona. Bisakah kamu pergi dan jangan pernah kembali lagi? Kamu merusak banyak rencana!

Tetapi, saya ingin sedikit bersyukur, iya, sedikit. Karena saya tahu banyak ruginya di tengah pandemi ini. Saya sedikit bersyukur karena mama saya libur dan hanya bekerja pada hari Sabtu. Saya sedikit bersyukur karena papa saya pulang lebih awal semenjak pandemi ini. Kalau kata papa saya, "Kalau enggak ada Corona, kita enggak ngumpul, ya. Papa pulang tengah malam terus."

Tetapi saya sangat berharap pandemi ini segera berakhir. Semua kembali normal dan rencana-rencana yang telah disusun dapat segera dilaksanakan.

Bicara soal kumpul keluarga, sayangnya, tidak semua orang bahagia akan hal ini. Banyak yang memang sengaja pergi ke luar rumah untuk mencari bahagianya. Pandemi ini mungkin menyesakkan bagi mereka yang bahagianya di luar rumah. Saya doakan yang terbaik untuk kita semua.

Jumat, 20 Maret 2020

The Broken Heart


Sejujurnya saya selalu takut untuk dekat dengan orang lain.

Apapun bentuk hubungannya. 

Karena saya tahu rasanya ditinggalkan. 

Sampai akhirnya saya tahu

Saya hanya perlu memberinya kesempatan.

Sampai akhirnya saya tahu

Luka itu hanya perlu diikhlaskan

Saya hanya perlu berdamai dengan masa lalu.


Senin, 10 Februari 2020

Kala Hati Hilang Rasa


Saya pernah, di kala itu
Nomor satu yang selalu di sampingmu

Saya pernah, di kala itu
Paling tahu segala keluh kesahmu

Saya pernah, di kala itu
Menjadikanmu penting di hidupku

Saya pernah, di kala itu
Paling pertama untuk membelamu

Tapi waktu terus berlalu
Kau dan aku beranjak pilu

Tak ada lagi cerita satu
Rasa tak lagi utuh

Biarlah takdir memberi jawaban
Mungkin lebih baik berjauhan

Tak ada lagi perasaan
Semua telah hilang di kepiluan

Minggu, 19 Januari 2020

Rumah Impian


Punya kenalan yang ceplas-ceplos banget. Enggak disaring lagi omongannya. Suatu waktu gue bilang ke dia, "Ini kalo orangnya baperan, dia bakal sakit hati, sih, sama lo."

Jawaban dia enggak salah, sih. "Gue liat-liat dulu, bisa dibecandain apa enggak. Kalo enggak, gue gak bakal ngomong sembarangan."

Namun, bukan tentang omongan dia yang sembarangan itu yang ingin gue ceritakan hari ini. Ini soal apa yang dia ucapin dan gue setuju sama ucapannya.

"Ini nanti gue bisa punya rumah enggak, ya? Kayak, rumah, tuh, semahal itu. Gue harus punya suami yang kaya raya pokoknya, dah. Bukan, bukan enggak bisa biayain diri sendiri, bisa, tapi rumah ini kebeli enggak nanti?"

Gue enggak mau ambil pusing soal harus punya suami kaya raya. Gue mau penggal aja kalimat dia sampai soal bisa punya rumah atau enggak.

Setelah gue pikir-pikir, iya juga, ya? Kebeli enggak, ya, rumah impian gue nanti? Bisakah gue membangun rumah impian gue? Setelah hitung-hitungan gaji rata-rata lulusan baru.

Pusing, ya, kalau dipikirin. Tapi gue tetap memikirkannya.

Gue harus kerja for the rest of my life. Gue harus apa, dong, biar enggak kerja terus tapi uangnya banyak? HAHA.

Ah, dasar pikiran malam hari. Ada-ada saja.

Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu hari ini? Apa yang membuatmu senang?