Kamis, 23 Juli 2020

Berapa Banyak Malam?


Berapa banyak malam yang kamu habiskan untuk memikirkan apa yang seharusnya kamu lakukan?

Berapa banyak malam yang membuat kamu terjaga dari bisingnya kehampaan?

Berapa banyak malam yang membuat kamu sulit terlelap memikirkan apa yang akan kamu lakukan?

Berapa banyak malam yang kamu habiskan?

Rabu, 15 Juli 2020

#1 Kedai Kopi dan Memori


Sebuah pesan yang muncul berhasil menarik perhatiannya dari kegiatan membaca setiap twit di Twitter. Ia segera mengecek pesan di sebuah grup dalam aplikasi berwarna hijau dengan logo telepon tersebut.

"Eh, ayok! Kapan, nih, kita kumpul lagi? Bisanya hari apa?" Sebuah nama perempuan dengan perawakan mungil yang telah menemaninya lima tahun belakangan ini muncul di layar ponselnya.

Ah, 'Bisanya hari apa?' adalah sebuah kalimat yang ia terima beberapa bulan ini. Tidak ada lagi spontanitas karena kesibukan masing-masing.

"Sebentar, ya. Gue tanya pacar gue dulu. Soalnya udah lama enggak ketemu, nih!" Balasnya.

Tak lama, perempuan itu mengirim pesan kembali ke grup bernama "Girl's Thing" itu. Ia pun bergegas untuk merapikan dirinya sebelum pergi ke tempat yang dijanjikan. Celana jeans dan kaus putih ia kenakan. Tak lupa dengan sandal jepit berwarna biru dongker. "Ah, dekat, kok!" Batinnya.

"Oke, gue jalan kalau kalian jalan, ya. Rumah gue sejengkal doang." Balas teman perempuan lainnya. Perempuan dengan model rambut sebahu berwarna coklat.

Perempuan berkaus putih itu memakirkan kendaraannya dan bergegas masuk ke kedai kopi yang cukup besar dengan exterior berwarna hitam. Petugas menghentikannya sesaat untuk mengecek suhu tubuhnya. Ia buka pintu ruangan non-smoking dan matanya pun menyapu setiap sudut ruangan.

Matanya melihat sosok yang tengah duduk di meja sudut kiri. Perempuan berambut sebahu itu mengangat wajahnya dan melambaikan tangannya. Ia segera menghampiri dan ditariknya kursi di sebrang perempuan itu.

"Mau pesan apa? Gue pengin makan berat, nih!" Ucap perempuan berambut sebahu itu.
"Gue enggak mau makan mi lagi pokoknya. Enggak." Balasnya. 

Kedua perempuan itu kini tengah sibuk membolak-balikan menu untuk mencari makanan dan minuman yang akan menemani mereka beberapa jam ke depan.

Tak lama, perempuan bertubuh mungil pun datang menghampiri. Menarik kursi di sebelah perempuan berambut sebahu yang sedang berkutat dengan buku menu.

"Lo dari rumah atau kantor?" Tanya si perempuan berbaju putih. 
"Dari rumah, kok!" Jawab perempuan mungil singkat sambil mengambil buku menu di depannya.

Setelah menuliskan semua pesanan, perempuan bertubuh mungil itu pun beranjak ke kasir untuk memesan makanan dan minuman untuk dirinya dan teman-temannya.

"Eh, lo gimana, nih? Katanya mau pindah?" Tanya perempuan berbaju putih itu ke perempuan di sebrangnya. 
"Iya, nih, alhamdulillah. Gue ditawarin di sana." Jawabnya dengan wajah yang berseri. 
"Syukur, deh! All is better, right?" Timpal perempuan mungil di sampingnya yang dibalas dengan semringah oleh perempuan berambut sebahu itu.

Mereka pun tenggelam ke dalam obrolan sambil menunggu pesanan. Banyak sekali cerita yang tertunda untuk diucapkan. Tidak ada lagi spontanitas bercerita seperti beberapa tahun lalu. Sekarang mereka harus menunggu waktu berkumpul terlebih dahulu.

Bukan, bukan tak ada cerita di grup yang mereka buat. Hanya saja, terkadang cerita jauh lebih berwarna karena diselingi dengan ekspresi-ekspresi menakjubkan. Cerita akan penuh makna tanpa adanya hambatan; video patah-patah karena jaringan yang tak bersahabat.

"Eh, liat posting-an si ini, enggak?" Ujar perempuan berambut sebahu itu sambil menunjukkan ponsel kepada kedua temannya.
"Gila, dia udah beli beginian while gue masih begini-begini aja." Timpal perempuan berkaus putih sambil berdecak.
"Kenapa orang pada banyak banget, ya, uangnya? Heran gue. Pada kerja apa, ya?" Sahut perempuan bertubuh mungil itu sambil tertawa dan menggelengkan kepalanya.

Obrolan di kedai kopi malam itu berisi seputar serba-serbi kehidupan yang sering kali memorak-pandakan harapan. Mengurai kejadian akan kenytaan yang membuyarkan angan mereka selama ini. 

Tak lama, pelayan pun mengantarkan pesanan tiga perempuan yang sedang berbincang mengenai posting-an seorang teman yang berhasil membuat mereka tersenyum pahit.

"Kadang gue takut, deh! Tercapai enggak, ya, setiap harapan-harapan yang pernah gue bayangkan? Setiap keinginan yang pernah gue ucapkan. Misalnya, seperempat dari mimpi-mimpi itu, deh? Kadang gue jadi takut. Ternyata banyak banget hal yang enggak sesuai harapan dan hidup ternyata enggak semulus itu. Atau bahkan, ya, surprising."
"Iya, ya? Dulu gue mikirnya kalau ada penghasilan, gua mau ke sini, mau ke sana, belanja ini, belanja itu. Eh, ternyata pusing juga! Hahahahaha." Timpal perempuan bertubuh mungil itu.
"Orang tua atau adik gue suka ada permintaannya. Heran." Balas perempuan berambut sebahu sambil menggelengkan kepalanya.
"Duh! Gue ketemu kalian, tuh, biar happy bukannya tambah overthinking!" Timpal perempuan berkaus putih yang diiringi tawa kedua temannya.

Kini tiga perempuan tengah tenggelam ke dalam pikirannya masing-masing sambil menyantap makanan dan minuman yang belum mereka habiskan. Kembali memikirkan banyak hal yang belum dilakukan atau waktu yang terbuang sia-sia. 

Merasa tertinggal dan ingin terburu-buru. Memaksakan diri untuk berlari kencang karena yang lain kian menjauh dari pandangan. Padahal berjalan pun masih tertatih. Seringkali merasa harus menang padahal tidak sedang berlomba dengan siapapun.

Rabu, 24 Juni 2020

Saya Rindu.


Saya rindu percapakan di jam tiga pagi waktu itu.

Kala mata terasa berat namun berbicara denganmu menjadi hal yang lebih menyenangkan daripada terlelap.

Saya rindu pesan di setiap sore darimu yang sedang menungguku. "Sudah sampai rumah belum?" tulismu.

Saya rindu suasana itu. Kala duduk berdua tanpa kata terasa sangat mendebarkan dan menyenangkan.

Ketakutan Dalam Diri.


Hai, apa kabar? Sudah lama saya tidak bercerita di sini. Oh, iya, saya punya website baru. Tetapi, tangan saya tetap memilih blog ini untuk bercerita.

Baru saja saya membahas tentang ketakutan yang saya alami sekitar 10 tahun lalu. Tentang bayang-bayang masa depan yang menghantui.

Sekitar 10 tahun lalu, saya pulang ke Bukittinggi. Di sana saya melihat foto tante saya yang menggunakan toga. Dalam hati saya berpikir "Apa saya mampu untuk kuliah? Apa saya sanggup untuk kuliah? Apa saya bisa menjadi sarjana?"

Ada sedikit ketakutan di sana. Saya juga sudah mengenal sedikit-sedikit tentang skripsi yang katanya bikin tidak bisa tidur dan sulit. Saya takut jika saya tidak mampu menjadi seperti tante saya; menjadi seorang sarjana.

Sepuluh tahun itu telah berlalu. Lika-liku kehidupan menjadi anak sekolah saya lalui. Dengan segala keluh kesah dan kenangannya.

Di tahun 2015 saya merantau jauh dari Jakarta, untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Ah, ternyata saya mampu dan sanggup untuk kuliah.

Di semester ke-4 saya mulai dibayangi tugas akhir yang harus dilakukan seorang diri. Penelitian yang harus saya lakukan sendiri.

Ah, apa yang harus saya teliti? Bagaimana kalau saya tidak sanggup? Bagaimana kalau saya menyerah nanti? Bukankah semua menjadi sia-sia?

Ketakutan itu semakin menghantui seiring berjalannya perkuliahan. Mulailah saya harus mencari magang di semester tujuh dan memikirkan judul penelitian yang ingin saya lakukan.

Menjalani perkuliahan di semester akhir benar-benar menguras pikiran. Iya, pikiran. Saya sudah tidak punya kelas untuk didatangi, tetapi saya selalu merasa lelah. Sempat putus asa dan ingin menyerah. Tetapi saya ingat perjuangan saya meyakinkan orang di rumah untuk merantau ke Jawa Timur. Saya harus selesaikan apa yang saya mulai.

Bulan Desember 2019, saya dinyatakan lulus oleh dosen penguji. Ah, akhirnya, hampir setahun penuh saya mengerjakan tugas akhir ini dengan segala kepanikan yang saya punya.

Setelah itu saya tersadar akan ketakutan saya 10 tahun yang lalu. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul tentang masa depan.

Ternyata saya mampu dan bisa menjadi seorang sarjana. Woah. Apa, ya, yang terjadi kalau waktu itu saya tidak melihat foto tante saya? Entahlah.

Ketakutan-ketakutan itu seringkali datang bergantian. Memunculkan rasa ragu yang besar dalam diri. Entah untuk menakuti atau menyemangati. Mungkin kita hanya perlu terus percaya diri. Dengan semua kerja keras dan cerdas, hasil tak pernah mengkhianati.

Berdamai dengan Keadaan Selama Covid-19



Hai! Apa kabar?

Gimana? Sudah bosan di rumah? Sudah mati gaya? Sama, saya juga. Apalagi, saya ini seorang extrovert. Saya sampai melewati titik bahwa tidur saya tidak lagi nyenyak. Saya butuh bertemu dan bercengkrama dengan teman-teman saya.

Bahkan, seorang teman yang introvert pun sudah tidak tahan terus berdiam diri di rumah. Ah, Corona. Bisakah kamu pergi dan jangan pernah kembali lagi? Kamu merusak banyak rencana!

Tetapi, saya ingin sedikit bersyukur, iya, sedikit. Karena saya tahu banyak ruginya di tengah pandemi ini. Saya sedikit bersyukur karena mama saya libur dan hanya bekerja pada hari Sabtu. Saya sedikit bersyukur karena papa saya pulang lebih awal semenjak pandemi ini. Kalau kata papa saya, "Kalau enggak ada Corona, kita enggak ngumpul, ya. Papa pulang tengah malam terus."

Tetapi saya sangat berharap pandemi ini segera berakhir. Semua kembali normal dan rencana-rencana yang telah disusun dapat segera dilaksanakan.

Bicara soal kumpul keluarga, sayangnya, tidak semua orang bahagia akan hal ini. Banyak yang memang sengaja pergi ke luar rumah untuk mencari bahagianya. Pandemi ini mungkin menyesakkan bagi mereka yang bahagianya di luar rumah. Saya doakan yang terbaik untuk kita semua.