Kamis, 21 Juli 2022
Wishful Thinking
Senin, 02 Mei 2022
Badai yang Mereda
Minggu, 27 Februari 2022
Review Novel Tuesdays with Morrie - Mitch Albom
Novel ini mengajarkan gue untuk memvalidasi perasaan yang gue sedang rasakan. Dengan begitu, gue akan lebih mudah untuk mengambil langkah selanjutnya. Tuesdays with Morrie berisi soal percakapan Mitch Albom dan Morrie Schwartz, gurunya semasa kuliah, Gue belajar soal mencintai hingga melepaskan dari percakapan mereka. So, here is my review with spoilers in it.
Review Novel Tuesdays with Morrie
Kalian pasti pernah punya sosok guru yang menginspirasi semasa sekolah. Itulah yang terjadi dengan Mitch dan Morrie. Morrie adalah profesor sosiologi yang suka mempelajari tentang manusia dan Mitch menjadi salah satu muridnya. Saat lulus di 1979, Mitch memberikan hadiah kepada Morrie dan berjanji untuk selalu keep in touch. Namun, Man Proposes, God Disposes.
Di sisi lain, Mitch bekerja sebagai jurnalis dan hidupnya disibukkan dengan bekerja. Hingga suatu hari ia mendengar bahwa guru favoritnya menderita, ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit saraf yang memburuk seiring berjalannya waktu. Penderitanya akan kehilangan kemampuan motorik. Mitch pun mencoba untuk menghubungi dan bertemu dengan Morrie.
The most important thing in life is to learn how to give out love, and to let it come in. - Halaman 22
Ada 14 Selasa dalam cerita ini dan kalimat di atas adalah salah satu percakapan Morrie dan Mitch di Selasa pertama saat mereka membahas tentang dunia. Sebuah kalimat yang membuat isi kepala gue sunyi dan tenang seketika. Back then, I thought that I couldn't fall in love again because I had lost one. And of course I can still feel it, only if I let it in. I just should give it a try.
Gue pernah membahas tentang give out love ini di sini. Gue berjanji untuk belajar menunjukkan perhatian gue dengan baik ke orang-orang yang gue pedulikan. Because I know, sometimes we question someone's affection, sometimes we doubt someone's concern, and sometimes we think we don't deserve to be loved. And I don't want people that I care think and feel that way.
If you hold back on the emotions-if you don't allow yourself to go all the way through them-you can never get to being detached, you are too busy being afraid. - Halaman 104
Di Selasa ke-6 saat Morie dan Mitch membahas tentang emosi. Percakapan mereka di bagian ini membuat gue sadar bahwa ketika gue mengizinkan diri gue merasakan emosi-emosi yang ada, maka akan lebih mudah juga buat gue untuk melepaskannya. I bet, we often feel ashamed to look weak because of sadness. And that's why most of the time we say that it's fine, when it's not.
Those words helped me. I let myself feel all those emotions. And finally, one time, I cried in front of my family and friends. Things I've never done in my life. I rarely cry in front of people. With that sadness, I understand why it hurts, I understand what causes it, and it's easier for me to let go. It's heart break. Then I can let go of that emotion for a moment. The peace I've been waiting for has come.
Kata-kata Morrie di atas juga mengajarkan gue untuk enggak takut merayakan kebahagiaan. I bet, we all also question what will happen next when happiness comes to us. Padahal enggak selalu akan ada apa-apa. Laugh to your heart's content. Salah satu idol K-Pop gue juga pernah bilang kalau lagi bahagia, nikmati momennya. Pada akhirnya hidup itu memang roller coaster, kan?
Money is not a subtitute for tenderness, and power is not subtitute for tenderness. - Halaman 125
Buat gue, percakapan mereka di Selasa ke-8 soal uang ini klise, tetapi gue setuju. Ya, pada akhirnya manusia memang enggak pernah puas. Selalu mau lebih dan lebih. Mobil yang lebih mewah, rumah yang lebih besar, dan masih banyak lainnya. Sayangnya, seringkali manusia melakukan itu bukan karena butuh, tetapi untuk memberi impresi dan mencari pengakuan dari orang lain.
Kalau menurut Morrie, untuk mendapatkan kepuasan dan arti hidup, tuh, bukan dengan memiliki barang-barang terbaru dan termahal yang sebenarnya enggak dibutuhkan. Gue pun setuju ketika Morrie bilang bahwa untuk mendapatkan perasaan puas, cobalah untuk menawarkan apa yang dipunya untuk diberikan ke orang lain. Bukan uang, tetapi waktu dan perhatian, misalnya.
Dari contohnya Morrie, ada banyak orang kesepian di rumah sakit yang butuh ditemani. Untuk sekadar mengobrol atau bermain kartu. And now I understand what Morrie meant by giving what we have. Ketika melakukan sesuatu dari hati, pasti ada rasa puas tersendiri. Gue juga percaya, hal-hal baik itu akan kembali lagi. Meskipun dengan cara yang enggak terduga. Vice versa.
In business, people negotiate to win. They negotiate to get what they want. Maybe you’re too used to that. Love is different. Love is when you are as concerned about someone else’s situation as you are about your own. - Halaman 178
Percakapan mereka di Selasa ke-13 ini menyadarkan gue banget bahwa hubungan berbeda dengan bisnis. Gue enggak akan selalu bisa mendapatkan apa yang gue mau hanya karena gue melakukan sesuatu untuk orang lain. Dalam berhubungan dengan orang lain itu enggak ada formula yang pasti. Terkadang gue masih ingin berhubungan, tetapi orang lain enggak. Vice versa.
Seperti yang dialami oleh Mitch ketika adiknya hanya berhubungan seperlunya saja. I know it really hurts. Satu sisi, gue juga harus menghargai keputusan orang lain yang enggak lagi mau berhubungan. Bagian ini bikin gue jadi lebih paham bahwa salah satu bagian manjadi manusia itu berhenti dan mulai lagi. Kata berhenti dan mulai lagi ini juga bisa diaplikasikan dalam banyak hal.
So, ini review Tuesdays with Morrie dari gue. Buku yang mengajarkan gue banyak hal tentang hidup. Mulai dari mencintai, memaafkan, keuangan, hingga membangun keluarga. Kesederhanaan dari Morrie itu menyadarkan gue akan banyak hal biar hidup gue lebih enjoy dan bermanfaat untuk orang lain. One of the best books I've ever read and I highly recommend you read this at least once!
- Judul Buku: Tuesdays with Morrie
- Penulis: Mitch Albom
- ISBN: 978-0-385-49649
- Penerbit: Anchor Books
- Halaman:192
Image: goodreads
Sabtu, 12 Februari 2022
Point of View
Sepanjang aku hidup kurang lebih 24 tahun, aku tahu bahwa aku menyukai kota ini bagaimana pun keadaannya. Kota yang selalu bising dengan klakson kendaraan saat lampu lalu lintas berubah kuning. Kota yang selalu tergenang air ketika musim hujan datang. Kota yang punya banyak gedung tinggi dan lampunya menghiasi gelap malam.
Karena kota ini punya sesuatu yang aku suka. Ada kamu yang membuat menunggu lampu merah ke hijau menjadi lebih menyenangkan. Ada kamu yang menemaniku ketika panik kala petir dan hujan turun dengan deras di musim hujan. Ada kamu yang menemaniku menikmati lampu di gedung tinggi saat malam hari. Setiap sudut di kota ini berarti.
Seperti lampu lalu lintas yang berubah, musim yang berganti, dan lampu di gedung tinggi yang mati karena memang sudah waktunya, aku pun memiliki waktuku sendiri. Waktu saat aku harus menghadapi kota ini sendirian. Tidak ada yang menemani saat menunggu lampu lalu lintas berubah, datangnya musim hujan, dan menikmati lampu di gedung tinggi.
Kota yang aku sukai tidak pernah semenakutkan ini. Menunggu lampu lalu lintas tidak pernah semenjengkelkan ini. Musim hujan kini aku rutuki dengan sumpah serapah agar tidak pernah kembali. Lampu di gedung tinggi tidak pernah terasa indah lagi. Aku, ingin cepat pergi dari kota ini. Kota yang setiap sudutnya pernah begitu berarti.
Kucoba berpikir lagi sebelum membuat keputusan besar dan menyerah dengan kota ini. Apa aku ingin pergi karena rasa takut atau hanya belum terbiasa untuk melihat kota ini dengan sudut pandang yang baru? Rasa terbiasa terkadang memang menyulitkan dan adaptasi adalah kegiatan yang cukup menakutkan. Namun, bukan berarti aku tidak bisa, kan?
Kupelankan kendaraanku saat lampu lalu lintas berwarna kuning. Ketika warnanya merah, aku edarkan pandanganku ke sekeliling. Rupanya, dua orang dengan kostum badut yang sedang berjoget di pinggir kiriku menarik bibirku ke atas. Aku tersadar, bahwa ada banyak cara untuk menanti lampu hijau dan menunggu tidak selalu menjengkelkan.
Beberapa waktu lalu saat aku sedang duduk di rumah, dari jendela yang tidak tertutup gorden itu aku melihat anak-anak yang sedang berlarian di lapangan, menikmati setiap rintik hujan yang turun. Ternyata, hujan tidak selalu menakutkan dan bisa dinikmati dengan banyak cara. Di tengah udara yang dingin dan menusuk tulang, hatiku menghangat.
Kupilih kendaraan umum untuk membawaku pulang dari kantor petang itu. Gedung tinggi menjadi pemandangan utamaku selama di perjalanan. Perlahan, lampu-lampunya menyala. Kupikir tidak ada lagi yang spesial karena kini aku duduk sendirian, tetapi aku tetap takjub dengan kilaunya. Aku, tetap menikmati lampu di gedung tinggi itu.
Mungkin rasanya tidak pernah akan sama lagi karena melihat dan menikmati kota yang aku sukai ini dengan sudut pandang yang baru. Namun, kini aku tahu bahwa aku mampu membuat setiap sudut kota ini terus berarti. Aku hanya perlu mengizinkan diriku untuk lebih berani, mengedarkan pandangan lebih jauh saat berjalan dan merasakan lebih dalam.
Image: Unsplash
Sabtu, 01 Januari 2022
Selamat Tahun Baru 2022
Kalau berjalan sesuai rencana, tulisan ini akan kuunggah tepat di malam tahun baru. Aku pun sudah mulai menyicil rangkuman yang akan kutuangkan di halaman ini. Sudah di penghujung tahun, ini adalah waktu yang tepat untuk menapak tilas apa saja yang sudah aku lalui di 2021. Mencoba untuk merefleksikan diri dan berharap ada banyak hal yang bisa dipelajari.
Kalau boleh aku simpulkan, 2021 adalah puncak komedi sepanjang 23 tahun aku hidup. Tahun ini aku diberi kesempatan untuk merasakan hal-hal besar yang enggak terduga. Ada banyak harapan dan doa yang terjadi. Namun, enggak sedikit kejadian yang memilukan dan menggores luka datang menghampiri tanpa permisi. Salah satunya adalah soal kepergian.
Perihal pergi, tahun ini aku banyak merasakannya. Mulai dari kepergian seseorang yang memang waktu hidupnya sudah habis hingga kepergian beberapa orang karena saat di sebuah persimpangan jalan, tujuanku dengan orang-orang tersebut berbeda. Harusnya ini hal yang mudah dipahami, tetapi rasanya sulit untuk diterima dan aku harus beradaptasi lagi.
Aku percaya bahwa manusia memang memiliki perannya masing-masing. Bisa jadi, setiap manusia memang harus bertemu untuk melengkapi cerita satu sama lain. Sialnya, aku sampai lupa kalau setiap cerita itu pasti memiliki rentang waktu dan akhir. Aku jadi kelimpungan sendiri ketika harus berperan di cerita lainnya meski beberapa bagian favoritku sudah berakhir.
Pun enggak selalu manis, beberapa cerita punya akhir terbuka, menggantung, hingga tragis. Andai saja aku dikasih kisi-kisi kehidupan setiap tahunnya, akan kusiapkan hati yang lapang untuk masalah yang bisa membuat lubang besar di hati. Kupelajari cara menjalani hidup saat enggak sesuai prediksi. Kalau saja dikasih, aku yakin akan ada banyak hati yang cepat pulih.
When we do the best we can, we never know what miracle is wrought in our life or the life of another. - Helen Keller