Senin, 15 November 2021

Fragmen Memori


Beberapa waktu lalu, aku bertukar pesan dengan teman dekat melalui DM Instagram. Aku membalas story-nya saat dia liburan ke luar kota. Sebenarnya ini hal yang biasa kami lakukan; saling membalas story atau cuitan di media sosial. Bahkan isi pesannya pun enggak penting alias hanya kebodohan semata. Dumb and dumber.

Namun, perasaan aneh ini tiba-tiba muncul ketika aku mengirim pesan untuknya. It feels like "Damn, we used to spend time together.", lunch, dinner, hangout after class, dan masih banyak lainnya. Time flies so fast. Karena kami sudah lulus kuliah dan kembali ke Jakarta-yang-memang-luas, kami pun jadi jarang bertemu dan bertukar cerita secara langsung.

Setelah perasaan aneh itu muncul tanpa diundang, aku pun memutuskan untuk membuka WhatsApp. Mengirim pesan ke grup yang cukup usang berisi sembilan orang perempuan. Iya, usang. Setelah kami lulus kuliah, obrolan di grup jadi jarang terjadi. Memang ketika kami kembali ke kota masing-masing, semua punya kesibukan yang berbeda.

Pasti kalian paham, kan, ketika enggak ada lagi kepentingan yang sama, maka intensitas interaksi pun bisa berkurang. Ya, ini bukan masalah dan umum terjadi dalam hidup. Long story short, aku minta foto-foto semasa kuliah karena aku enggak punya banyak di ponsel ini. I want to recall some memories. I want to feel what I felt at that moment.

Beberapa temanku di grup pun mengirimkan banyak foto waktu kami kuliah. Mulai dari foto setiap semester setelah ujian, setiap ada yang ulang tahun, hingga wisuda. And something goes wrong. I just realized about it. Bicara soal I want to feel what I felt at the moment, sialnya aku enggak bisa mengingat kejadian di foto tersebut dengan baik.

Shit, when was this photo taken? What are we really doing besides coming to our friend's graduation? Why do I do this pose? I can't remember it well. Rasanya seperti disuruh menceritakan kembali mimpi yang baru gue alami. Kesusahan. No matter how beautiful the dream is, I still can't tell it completely. Aku hanya bisa mengingat bagian sebelum benar-benar kebangun.

Pasti kalian pernah kesusahan mengingat kembali mimpi yang baru terjadi, kan? Rasanya rungsing sendiri. Bedanya sama foto yang aku lihat adalah kejadian-kejadian ini nyata dan aku alami, tetapi kenapa susah banget mengingat detailnya? Lalu, aku pun mencoba mengingat waktu kami kuliah. Kebanyakan hanya datang sebagai fragmen memori.

Aku jadi teringat sesuatu. Pertanyaan dari dan untuk diriku sendiri. Aku punya teman dekat yang aku enggak pernah ingat alasan kami bisa sedekat itu. What have we done? Do we have the same story? What stories or answers do we exchange? What do we have in common? Aku enggak ingat apapun. Bahkan kepribadian kami pun sangat bertolak belakang.

Based on what I found on the internet, ada banyak faktor yang menyebabkan manusia lupa terhadap detail sebuah kejadian. And I have my (unscientific) theories too. Mungkin karena aku tidak menaruh perhatian saat menghabiskan waktu bersama mereka. Mungkin karena ragaku bersama mereka, tetapi pikiranku entah ke mana. That's why semua hanya jadi fragmen memori.

So yeah, maybe it's time for me, for us, to pay more attention when spending time with someone who is important in our life. To look them in the eye while we are talking. To give them a warm embrace, so we can even remember their perfume and their smells. A gesture to keep memories in our minds. So we can remember all the details, not just the fragments.

Image: Unsplash

Sabtu, 30 Oktober 2021

Review Novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya - Keigo Higashino

Teman gue membaca novel ini karena bias-nya membaca ini juga. Kalau gue, membaca Keajaiban Toko Kelontong Namiya karena novel ini ramai dibicarakan akun Twitter Literary Base. Para pecinta buku mungkin follow akun ini. Sejujurnya gue tidak menaruh harap dengan novel ini. Gue hanya ingin tahu kenapa orang-orang bilang novel ini bagus. Ssst, ada spoiler sedikit.

Shit. Yes, this novel is hella good. Sebelum beranjak lebih jauh, gue cuma punya dua kata untuk menyimpulkan novel ini: unfinished love. Cinta memang sederhana, tetapi keadaan seringkali rumit. Emang, ya, true love enggak akan ke mana. Kalau memang jodohnya pasti akan bertemu lagi. Akan ada banyak cara dan keanehannya untuk membuat mereka bersatu kembali. #pret

Review Novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya

Di awal-awal bab gue menyimpulkan kalau setiap bab di novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya ini tidak berkesinambungan. Memang, ya, poin tentang membaca dan mendengarkan secara keseluruhan itu benar adanya. Setelah lewat dari bab ke-4, gue sadar kalau semuanya memiliki kaitan. Gue baca novel ini versi Bahasa Indonesia dan menurut gue terjemahannya sangat apik.

Untuk cerita, sejujurnya ada sedikit dalam hati gue yang berkata "Ini dipaksa disambung-sambung enggak, sih?", tetapi karena diterjemahkan dengan baik dan tentu alurnya yang rapi, gue melupakan bagain jelek di hati gue tersebut. Lalu lanjut menikmati cerita. Fyi, teman gue yang membaca novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya ini juga punya opini yang sama dengan gue.

Gue sampai lupa kalau novel ini merupakan novel fantasi. To be honest, I'm not into this genre but this book makes me forget about its genre. Keajaiban Toko Kelontong Namiya dibuka dengan tiga pemuda yang sedang melarikan diri karena aksi pencurian yang dilakukan. Mulai dari drama mobil yang dicuri itu mogok hingga akhirnya mereka sampai di toko tua yang tidak berpenghuni.

Gue suka penggambarkan karakter Atsuya, Shota, dan Kohei dari cara mereka melakukan sesuatu. Kalian bisa merasakan karakter yang keras kepala, pembawaann tenang, hingga terkesan lugu. Di lain sisi, ada beberapa hal yang sangat relate dengan kehidupan nyata. Seperti beberapa orang yang enggak mau ikut campur sampai orang-orang yang feeding their curiosity about something.
Aku paham maksudmu, Atsuya, tapi aku tidak bisa diam saja. Aku ingin membantu karena sepertinya si Nona Kelinci benar-benar bingung. - Halaman 26

Rasanya pengin gue tulis ulang semua yang ada di novel ini, tetapi nanti namanya bukan review. Long story short, Toko Kelontong Namiya ini milik seorang kakek bernama Yuji yang seringkali memberikan jawaban atas pertanyaan anak-anak dan tidak sedikit yang konyol. Namun, Yuji tetap memberikan jawaban sebaik mungkin hingga akhirnya mulai datang banyak pertanyaan serius.

Sesi konsultasi ini terjadi di tahun 70-an oleh Yuji dan masa sekarang oleh Atsuya, Shota, dan Kohei. Semacam ada dunia paralel yang terjadi dalam suatu malam. Sudah gue sebutkan di awal bahwa semua kejadian di novel ini berkaitan, jujur, terkadang gue bingung dengan alur waktunya. Jadi, di beberapa bab gue harus baca pelan-pelan dan mengingat kembali apa yang ditulis sebelumnya. 

Di sesi konsultasi ini, pembaca akan disuguhkan dengan berbagai macam permasalah mulai dari gadis yang ingin menggugurkan kandungannya, pemusik yang bingung harus lanjut mengejar passion atau mewarisi toko ayahnya, seorang anak yang memutuskan kabur karena ayahnya yang terlilit hutang, hingga perempuan yang bekerja menjadi hostes untuk menyambung hidupnya.

Ternyata, memberikan saran itu enggak mudah, ya. Menghadapi orang yang sedang kebingungan itu rumit. Ada debat antara hati dan pikiran, dua hal yang memang susah bersatu. Salah dan kurang bijak menjawab, bisa bikin mereka yang kebingungan semakin hilang arah. Buat gue, setiap hal yang tertulis di novel ini punya banyak pesan tersirat yang mendalam.

Maksudku ajukan pertanyaan yang lebih detail. Dari pembicaraan kalian, menurutku kalian berdua sama-sama ada benarnya. Bagaimana kalau  kita pastikan dulu keseriusan gadis ini, baru memikirkan langkah selanjutnya? - Halaman 302

Di sisi lain, ada tempat sama ajaibnya di novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya, yaitu rumah perlindungan anak Taman Marumitsu. Jadi, semua karakter di novel ini punya hubungan dengan tempat tersebut. Taman Marumitsu ini didirakn oleh seorang perempuan bernama Akiko yang sangat peduli dengan pendidikan dan anak-anak yatim piatu.

Ada bagian yang bikin perasaan gue hangat dari cerita Akiko. Dirinya memutuskan untuk tidak menikah hingga akhir hayat karena cintanya hanya untuk seseorang. Membuat gue berpikir, ada enggak orang seperti itu di dunia nyata? Karena tidak bisa bersatu dengan orang yang dia cintai, maka memilih untuk hidup sendiri dan melakukan hal yang disukainya saja?

Buat gue, novel ini sungguh ajaib sesuai namanya. Pesannya juga banyak banget. Mulai dari mengikuti kata hati, enggak menyerah sama keadaan, dan cinta itu kekuatannya sungguh luar biasa. Meskipun sedikit membingungkan alur waktunya, tetapi semua akan jelas pada akhirnya. Semacam "Ah, that is why all of this happened." akan keluar dari mulut pembaca.

  • Judul Buku: Keajaiban Toko Kelontong Namiya
  • Penulis: Keigo Higoshino
  • ISBN: 978-602-06-4828-6
  • Penerbit: Gramedia
  • Halaman: 400

Image: goodreads

Kamis, 21 Oktober 2021

Aku Harus Bergegas


Di kamar berukuran 4x4 ini, semua yang pernah terjadi dalam 23 tahun hidupku datang tiba-tiba. Seakan memohon untuk diingat, pun muncul sebagai godaan agar aku menetap. Rasanya mereka berniat untuk mengaburkan keteguhan hatiku akan keputusan yang kupikir sudah bulat dan mantap. Namun, rasanya aku salah. Ternyata ada ruang di hatiku yang terasa aneh penuh gelisah. 

Buku setebal 7 senti yang menjadi saksi bisuku selama kuliah. Tas tote bag yang warnanya sudah kucal. Keranjang baju kotor di pojok ruangan. Rasanya, mereka semua sedang menatapku dengan sendu. Jangan melihatku seperti itu. Aku tahu aku memang menyedihkan. Di ambang bingung atas keputusan yang kubuat sendiri. 

Pernah kubaca sebuah kalimat bahwa hidup itu perkara berani. Kali ini, aku ingin mengambil bagianku. Berani keluar dari tempat lama untuk menuju tempat baru. Setelah menanti dengan penuh harap serta kecemasan, hari ini tiba juga. Waktu untuk menyelesaikan kegiatan mengemas dan memilih barang mana yang harus kubawa dan kutinggalkan.

Perkara berani dan pindah tempat itu memaksa orang untuk beradaptasi. Beradaptasi dengan alamat baru. Beradaptasi dengan rute baru. Beradaptasi dengan lingkungan baru, dan beradaptasi dengan hal-hal baru lainnya. Sanggupkah aku melaluinya? Sanggupkah aku beradaptasi dengan semuanya? Kalau ternyata nanti tidak nyaman, bagaimana? Ah, aku harus bergegas.

Rasa takut dan ragu pun menyerangku yang sedang berhadapan dengan beberapa kardus kecil yang sudah dinamai sesuai isinya. Seketika ingin kubongkar semua dan kutata seperti semula. Seketika aku ingin melakukan rutinitas harianku saja. Mereka bilang 'if you never try, you’ll never know’. Memang, tetapi perasaan aneh ini menghantamku dengan kejam.

‘Coba dulu. Jangan takut’, katanya. Sialnya, mereka tidak pernah memberi peringatan bahwa perubahan itu akan diikuti rasa takut. Seperti bayangan di ruangan penuh cahaya. Tidak bisa dihindari dan selalu mengikuti. Aku edarkan pandanganku sekali lagi. Lucu, ya. Sesuatu akan selalu lebih berharga ketika waktu untuk bersama telah usai. Meskipun sesekali aku akan kembali.

Tidak pernah kusadari sebelumnya bau khas kayu dari lemari pakaianku. Kini aromanya masuk ke penghidu. Aroma yang mungkin saja kutemukan di tempat lain, tetapi kutahu, mereka tidak sama. Ruang yang telah lama kutempati kini terasa lebih lega. Bunyi klik dari pintu pun masuk ke telinga. Aku harus bergegas. Pesawat yang akan membawaku tidak akan menunggu lebih lama.

Image: Pixabay

Senin, 23 Agustus 2021

Unrelease

To the long who I miss
To the long sentences, I never finish
To the night full of wishes
To the feeling, I never release
To the park full of red roses

You live rent-free in my mind and my heart
But you and I must be apart
This head is just like a museum of art
Full of our creation in a dark night
and in a day full of sparkling light

How to release the pain as it should be?
The pain that still haunts me freely
How could I close the only door that makes me happy?
I wish I knew how to let go of this memory
May I wish our love become endlessly?

Sabtu, 14 Agustus 2021

Sebuah Pertanyaan

Dalam berisiknya keheningan, aku selalu bertanya pada gelap, 'Apa cerita ini memang benar-benar sudah berakhir? Apa sudah harus kububuhi tanda titik di akhir kalimatnya?'. Sial. Malamku seringkali tidak tenang karena ini.

Apa masih ada lembar kosong di halaman selanjutnya? Apa masih ada kesempatan untuk menggores kata, kalimat, dan untaian paragraf lainnya? Atau jangan-jangan, memang sudah harus kututup dan simpan buku ini?

Ah, andai saja aku bisa menemukan jawabannya. Keraguan selalu menyelimuti. Ketakutan selalu menghantui. Frasa 'Kalau saja waktu itu...' terngiang-ngiang di kepala. Aku harus apa? Tak bisakah kau membantuku, malam?