Minggu, 16 Juni 2019

Manusia dan Omong Kosong


Setelah hampir 17 hari di Jakarta dengan janji mengerjakan revisi seminar proposal, akhirnya saya membuka laptop dan berakhir dengan menulis tulisan ini. Revisian pun belum saya sentuh, padahal sore nanti saya sudah harus kembali ke perantauan. Rasa malas sungguhlah nyata.

Tapi tidak apa, sebelum saya lupa apa yang sedang saya pikirkan dan rasakan sekarang, sebelum menghilang begitu saja, saya akan coba luapkan segala omong kosong ini.

Saya rasa kita semua pernah menangis di tengah gelapnya kamar saat ingin memejamkan mata. Berusaha terlelap namun malah air mata yang meluap. Memikirkan dan menangisi banyak hal, entah hal yang menyakitkan, hal yang kita harap tidak pernah kita lakukan since the first place, dan hal-hal lainnya. Meski terkadang setelah bertemu teman, bertukar pikiran dengan seseorang, menghabiskan waktu dengan membicarakan hal-hal sepele dengan keluarga, saya menjadi sadar bahwa saya baik-baik saja, bahwa saya cukup kuat menghadapi hal-hal tersebut, bahwa saya tetap hidup, setidaknya sampai saat ini.

Sebetulnya tulisan ini adalah rangkuman dari kejadian-kejadian yang saya alami belakangan ini. Mungkin omong kosong ini berbicara tentang manusia dan hal-hal ajaibnya.

Saya semakin sadar kalau kita memang tidak akan pernah bisa menyenangkan hati semua orang, karena akan selalu ada  yang mendukung dan tidak. No matter how good we are. Namun, buat saya, terlalu naif kalau kita tidak mau peduli dengan omongan orang. Buat saya, ada yang namanya pertimbangan. Saya rasa tidak ada salahnya mendengarkan omongan orang, di sana kita bisa mempertimbangkan sekiranya yang bermanfaat dan tidak. Toh, kita memang tetap butuh masukan, meski semua keputusan tetap di tangan sendiri.

Ngomong-ngomong soal keputusan, kita pasti pernah membuat keputusan-keputusan dalam hidup kita. Entah yang sepele atau bahkan butuh waktu yang lama untuk memikirkannya. Terkadang kita harus melawan rasa takut, ragu, atau bahkan menyiapkan diri untuk menghadapi kenyataan setelah membuat keputusan tersebut. Salah satu keputusan serius yang pernah saya buat ialah menuliskan Universitas Brawijaya di Malang saat SNMPTN di saat keluarga saya tidak mengizinkan saya merantau. But I’m here, sedang mengerjakan skripsi untuk sebuah gelar di belakang nama. Saya berterima kasih kepada orang-orang yang mendukung keputusan saya, meski tetap ada yang berkata “Ngapain kuliah jauh-jauh? Kuliah di manapun sama aja”.

Pasti akan selalu ada orang seperti itu. Memberikan respon negatif di saat yang kita butuhkan adalah dukungan.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang selalu memberikan dukungan terhadap apapun keputusan yang telah dibuat oleh seseorang. Terima kasih sudah menghargai, terima kasih sudah menerima, dan terima kasih untuk tetap setia. Untuk kamu yang sudah berani mengambil keputusan, tahu akan menerjang banyak badai, you are rock! Badai akan berlalu, kamu akan tetap hidup, yang tak bisa tinggal, biarlah, mungkin berjauhan memang yang terbaik. Bagian ini saya khususkan untuk seorang teman. I’m here, dude. I love me too!

“Mungkin berjauhan memang yang terbaik”, ya, karena yang dipaksakan tidak akan berjalan mulus. Mungkin sudah saatnya jalan terpisah, tidak lagi beriringan. Manusia itu dinamis. Berubah. Dekat hari ini, besok tak lagi kenal. Jauh hari ini, bulan depan bersama. Lucu, ya. That’s why it called life and nothing last forever. Saya meyakini itu.

Akan ada saatnya kita harus melepas seseorang atau seseorang melepaskan kita dalam hidupnya. Is it wrong? I don’t know.

Buat saya sebuah hubungan juga harus simbiosis mutualisme. Hubungan apapun itu. Teman, pasangan, maupun keluarga. Menurut saya sebuah hubungan itu harus didasari dengan komunikasi dan kompromi yang baik. Saya punya batasan-batasan, begitu pun orang lain. Saya berhak membuat batasan, begitu pun orang lain. Saya butuh manusia lainnya, mungkin manusia lainnya juga butuh saya, di sinilah sebuah kompromi bekerja.

Saya sadar kalau kompromi tidak selalu berakhir mulus. Seperti yang saya katakan tadi, manusia itu selalu berubah. Saatnya melepaskan yang lama, mencari yang baru, atau mempertahakan yang sudah ada. Namun, saya tetap meyakini bahwa kita tetap harus mengusahakan yang terbaik di setiap keadaan.

Melepaskan tak selalu salah.

Beberapa hari yang lalu saya sadar kalau mempertahankan membuat saya dan manusia lainnya sakit, dan saya pilih untuk selesai. Mungkin berjauhan memang jalan yang terbaik.

Setelah banyak berharap.

Berharap sama manusia itu gambling. The less you expect, the less you get hurt. That’s all. Sebuah catatan, hanya karena kita melakukan sesuatu untuk seseorang, bukan berarti seseorang akan melakukan hal yang sama untuk kita. So, do not expect too much.

Ssttt! Don’t worry, melakukan hal baik atau buruk itu tidak akan sia-sia. Semesta mengetahuinya. Kita akan selalu mendapatkan apa yang kita tuai. Semesta akan bekerja dengan caranya.