Setelah hampir 17 hari di Jakarta
dengan janji mengerjakan revisi seminar proposal, akhirnya saya membuka laptop
dan berakhir dengan menulis tulisan ini. Revisian pun belum saya sentuh,
padahal sore nanti saya sudah harus kembali ke perantauan. Rasa malas
sungguhlah nyata.
Tapi tidak apa, sebelum saya lupa
apa yang sedang saya pikirkan dan rasakan sekarang, sebelum menghilang begitu
saja, saya akan coba luapkan segala omong kosong ini.
Saya rasa kita semua pernah
menangis di tengah gelapnya kamar saat ingin memejamkan mata. Berusaha terlelap
namun malah air mata yang meluap. Memikirkan dan menangisi banyak hal, entah hal
yang menyakitkan, hal yang kita harap tidak pernah kita lakukan since the first place, dan hal-hal
lainnya. Meski terkadang setelah bertemu teman, bertukar pikiran dengan
seseorang, menghabiskan waktu dengan membicarakan hal-hal sepele dengan keluarga,
saya menjadi sadar bahwa saya baik-baik saja, bahwa saya cukup kuat menghadapi
hal-hal tersebut, bahwa saya tetap hidup, setidaknya sampai saat ini.
Sebetulnya tulisan ini adalah
rangkuman dari kejadian-kejadian yang saya alami belakangan ini. Mungkin omong
kosong ini berbicara tentang manusia dan hal-hal ajaibnya.
Saya semakin sadar kalau kita memang tidak akan pernah bisa menyenangkan hati semua orang, karena akan selalu ada yang mendukung dan tidak. No matter how good we are. Namun, buat saya, terlalu naif kalau kita tidak mau peduli dengan omongan orang. Buat saya, ada yang namanya pertimbangan. Saya rasa tidak ada salahnya mendengarkan omongan orang, di sana kita bisa mempertimbangkan sekiranya yang bermanfaat dan tidak. Toh, kita memang tetap butuh masukan, meski semua keputusan tetap di tangan sendiri.
Saya semakin sadar kalau kita memang tidak akan pernah bisa menyenangkan hati semua orang, karena akan selalu ada yang mendukung dan tidak. No matter how good we are. Namun, buat saya, terlalu naif kalau kita tidak mau peduli dengan omongan orang. Buat saya, ada yang namanya pertimbangan. Saya rasa tidak ada salahnya mendengarkan omongan orang, di sana kita bisa mempertimbangkan sekiranya yang bermanfaat dan tidak. Toh, kita memang tetap butuh masukan, meski semua keputusan tetap di tangan sendiri.
Ngomong-ngomong soal keputusan,
kita pasti pernah membuat keputusan-keputusan dalam hidup kita. Entah yang
sepele atau bahkan butuh waktu yang lama untuk memikirkannya. Terkadang kita harus
melawan rasa takut, ragu, atau bahkan menyiapkan diri untuk menghadapi
kenyataan setelah membuat keputusan tersebut. Salah satu keputusan serius yang
pernah saya buat ialah menuliskan Universitas Brawijaya di Malang saat SNMPTN di
saat keluarga saya tidak mengizinkan saya merantau. But I’m here, sedang mengerjakan skripsi untuk sebuah gelar di
belakang nama. Saya berterima kasih kepada orang-orang yang mendukung keputusan
saya, meski tetap ada yang berkata “Ngapain kuliah jauh-jauh? Kuliah di manapun
sama aja”.
Pasti akan selalu ada orang
seperti itu. Memberikan respon negatif di saat yang kita butuhkan adalah
dukungan.
Saya ingin mengucapkan terima
kasih kepada orang-orang yang selalu memberikan dukungan terhadap apapun
keputusan yang telah dibuat oleh seseorang. Terima kasih sudah menghargai,
terima kasih sudah menerima, dan terima kasih untuk tetap setia. Untuk kamu
yang sudah berani mengambil keputusan, tahu akan menerjang banyak badai, you are rock! Badai akan berlalu, kamu
akan tetap hidup, yang tak bisa tinggal, biarlah, mungkin berjauhan memang yang
terbaik. Bagian ini saya khususkan untuk
seorang teman. I’m here, dude. I love me too!
“Mungkin berjauhan memang yang
terbaik”, ya, karena yang dipaksakan tidak akan berjalan mulus. Mungkin sudah
saatnya jalan terpisah, tidak lagi beriringan. Manusia itu dinamis. Berubah. Dekat
hari ini, besok tak lagi kenal. Jauh hari ini, bulan depan bersama. Lucu, ya. That’s why it called life and nothing last
forever. Saya meyakini itu.
Akan ada saatnya kita harus
melepas seseorang atau seseorang melepaskan kita dalam hidupnya. Is it wrong? I don’t know.
Buat saya sebuah hubungan juga
harus simbiosis mutualisme. Hubungan apapun itu. Teman, pasangan, maupun keluarga. Menurut
saya sebuah hubungan itu harus didasari dengan komunikasi dan kompromi yang
baik. Saya punya batasan-batasan, begitu pun orang lain. Saya berhak membuat
batasan, begitu pun orang lain. Saya butuh manusia lainnya, mungkin manusia
lainnya juga butuh saya, di sinilah sebuah kompromi bekerja.
Saya sadar kalau kompromi tidak
selalu berakhir mulus. Seperti yang saya katakan tadi, manusia itu selalu
berubah. Saatnya melepaskan yang lama, mencari yang baru, atau mempertahakan
yang sudah ada. Namun, saya tetap meyakini bahwa kita tetap harus mengusahakan
yang terbaik di setiap keadaan.
Melepaskan tak selalu salah.
Beberapa hari yang lalu saya sadar kalau mempertahankan membuat saya dan manusia lainnya sakit, dan saya pilih untuk selesai. Mungkin berjauhan memang jalan yang terbaik.
Setelah banyak berharap.
Berharap sama manusia itu gambling. The less you expect, the less you get hurt. That’s all. Sebuah catatan, hanya karena kita melakukan sesuatu
untuk seseorang, bukan berarti seseorang akan melakukan hal yang sama untuk
kita. So, do not expect too much.
Ssttt! Don’t worry, melakukan hal baik atau buruk itu tidak akan sia-sia. Semesta
mengetahuinya. Kita akan selalu mendapatkan apa yang kita tuai. Semesta akan
bekerja dengan caranya.