Sometimes I feel great, but most of the time, I want to give up.
Tuh, kan! Untung kamu enggak menyerah. Buktinya kamu bertahan sampai sekarang.
Be brave and be wise, time flies, but memories stay.
Sometimes I feel great, but most of the time, I want to give up.
Tuh, kan! Untung kamu enggak menyerah. Buktinya kamu bertahan sampai sekarang.
Be brave and be wise, time flies, but memories stay.
Sebentar. Aku mengambil nafas terlebih dahalu sebelum bercerita panjang lebar tentang perjalananku bertemu dengan Seventeen di Jakarta. Minggu, 25 September 2022 itu salah satu hari terbaik sepanjang 2022 yang rasanya terlalu campur aduk. Soalnya, aku banyak menuruni dan menanjak jalanan ekstrim yang rasanya bikin aku pengin terjun bebas saja.
Kemarin aku nonton bareng tiga teman SMA, yaitu Cici, Bunda, dan Sifa. Sejak muncul poster bahwa Seventeen akan konser di Jakarta, aku dan Sifa berencana nonton karena kita berdua adalah Carat (Cici dan Bunda masih ditahap suka). Pokoknya aku berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan nonton yang paling mahal alias paling depan karena mau lihat pori-pori Mingyu! #SebuahMotivasi
Dibawa Mecima, ternyata pembelian tiketnya dibagi ke beberapa kategori, yaitu Weverse Member, Mecima Member, dan General Sale di Tiket.com. Sepertinya aku terasuki 'Impatient Ghost', sehingga langsung bikin membership Weverse. Oh, inikah yang disebut things we do for love? Pokoknya aku pengin beli tiket Seventeen Be The Sun Concert secepat mungkin.
Akhirnya, tiba juga waktu kritis alias harus war bersama Carat yang ada di Indonesia. Awalnya Sifa mau beli kategori Pink dengan soundcheck, tetapi berhubung aku enggak mau repot-repot standby dari pagi, aku pilih tiket kategori Pink yang biasa. Man Purposes, God Disposes, aku dapat dua tiket Blue dan Sifa enggak dapat tiket untuk Day 1.
Oh, memang kelakuan kita masuk kategori things we do for love, next day kita war lagi untuk mendapatkan kategori Pink atau apa saja yang penting kita nonton konser Seventeen. Dengan kekuatan jari Bunda, akhirnya kita dapat dua tiket Pink yang biasa untuk Day 2. Ketika General Sale, akhirnya aku berhasil war dua tiket Pink yang biasa untuk Day 2. #BernafasLega
Day goes by yang tentunya tidak semulus wajah ganteng Kim Mingyu, aku termasuk ke dalam kategori orang-orang yang kena PHK di kantor. Informasi ini datang H-3 konser. Berpegang pada 'Beberapa hal itu di luar kendali kita.', aku hanya fokus menyiapkan energi positif untuk bertemu Seventeen nanti. Kadang hidup memang sebercanda itu.
Atasanku sampai bingung kenapa aku enggak terlihat sedih. How could I... maksudku, aku sudah menerimanya. Soalnya, aku menangis seharian pun enggak akan mengubah keadaan, kan? Baju, aksesoris, dan tiket sudah di tangan. How can I ignore this blessing just because of something I can't handle? Sometimes we just have to accept it and move on, right?
Sebetulnya, aku sudah bolak-balik dari Cengkareng ke BSD untuk menukarkan tiket karena tiba-tiba aku jadi 'Mbak Jastip'. Dua tiket Blue untuk Day 1 aku jual ke orang lain karena enggak aku pakai. Oh, memilih Seventeen adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup. Aku banyak kenal teman Carat dan kita sempat bertemu di hari pertama konser.
Lagi-lagi, things we do for love, aku lihat banyak orang menyiapkan yang terbaik untuk bertemu Seventeen. Caratbong yang didekorasi, makeup yang unik, baju sesuai dresscode atau warna resmi Seventeen, dan masih banyak lainnya. Their eyes spark love and joy. Rasanya setiap senyuman itu bilang 'Akhirnya! Sebentar lagi kita seruangan'. The wait comes to an end.
Oh, ada banyak orang yang kasih freebies! Ada yang kasih photocard, berbagai macam snack untuk nunggu antrean, koyo untuk pegal-pegal setelah konser, dan masih banyak lainnya. Sumpah! Aku happy banget dikasih freebies yang isinya snack dan koyo. Ini apa namanya kalau bukan cinta dan kasih dalam fangirling?
Btw, aku ketemu Eryl dan Kak Diza, orang-orang yang menemani aku saat nonton konser GOT7 di 2018. Dulu aku belum suka KPop dan mereka membantu aku menghafal member GOT7, lagu apa saja yang dibawakan, dan menemani aku di holding hall. Jadi apa aku tanpa mereka? Bisa-bisa liputan waktu itu enggak bagus hasilnya.
Long story short, sekitar jam 5 sore aku, Sifa, Cici, dan Bunda masuk ke main hall. Aku sempat panik ketika konser mau mulai. Rasanya masih enggak percaya kalau aku bakal melihat mereka secara langsung untuk pertama kalinya. Aku berada di ruangan yang sama dengan jarak yang enggak begitu jauh. Aku dan Bunda pilih tempat agak belakang biar lebih jelas.
Oh, God... Joshua jadi member yang pertama kali maju ke stage paling depan. Aku speechless. Aku rasa, Carat yang baru pertama kali ke konser Seventeen juga speechless. Aku enggak mau komentar apa-apa soal penampilan Seventeen karena mereka itu terkenal sebagai 'Kings of Synchronization'. Aku cuma bisa merekam di kepala, handphone, dan bengong setelahnya.
Apalagi saat Aju Nice dan Snapshoot yang suasanya itu meriah banget! Kalau enggak lihat member joget, ya, melihat Carat yang loncat-loncatan. Jujur, lelah sekaligus happy banget joget the never ending Aju Nice. Rasanya konser selama 3,5 jam itu kurang lama. Next time boleh konser seharian, enggak? #TidakBersyukur
Pasti kalian juga sudah lihat di media sosial soal penampilan mereka, siapa yang paling tampan kalau dilihat secara langsung, siapa yang paling aktif, siapa yang paling manis senyumnya, dan lain-lain. Kalau versiku, sungguh Jeonghan setampan itu. Selama ini aku bilang kalau dia lebih ke arah cantik. Pas aku lihat aslinya... speechless.
Kalau Dino itu... how to put it into words, senyumnya manis banget. Vernon memang enggak banyak omong, tetapi kalau lagi tampil, energi dan daya pikatnya itu kuat banget. Kalau Wonwoo, dia banyak keliling tanpa banyak bicara, Mingyu sungguh enggak bisa diam, dan Scoups yang di hari kedua terlihat kelelahan saat Aju Nice. #UmurTidakBohong
Jeonghan dan The8 juga banyak keliling tanpa banyak bicara, Hoshi dan Seungkwan banyak bicara dan interaksi dengan Carat, Woozi seputih itu, Joshua banyak kasih senyum ke Carat, suaranya DK sebagus itu, dan Jun yang juga setampan itu. Sungguh, aku bingung mau fokus ke siapa karena member-nya banyak dan hampir semuanya aktif. #RekamKananKiri
Btw, ada hal kecil yang warms my heart and realizes how good Wonwoo is. Entah maksud sebenarnya apa (karena hanya dia yang tahu), tetapi aku menangkapnya sebagai kasih sayang Wonwoo ke Carat. Ada waktu saat hampir semua member ke kiri, Wonwoo ke kanan. Saat member ke kanan, Wonwoo ke kiri. Rasanya dia mau kasih tahu kalau dari sisi mana pun, Carat bisa lihat Seventeen.
Kadang, aku masih suka terjaga di tengah malam. Enggak peduli seberapa keras aku berusaha untuk terlelap, kepalaku terlalu berisik dan minta untuk diberi perhatian. Dia memintaku untuk mengingat hal-hal yang telah berlalu bernama kenangan. Sialnya, banyak kenangan yang sebenarnya ingin aku lupakan dan kubur dalam-dalam.
Belum lagi ketika aku berhasil terlelap. Kenangan itu tetap menghantuiku di alam mimpi. Memohon kepadaku agar tidak dilupakan dan selalu diingat. Bukannya apa, mengingat potongan-potongan kenangan ini bikin aku susah bergerak ke mana-mana. Rasanya itu seperti hidup di masa lalu dan terjebak di gelembung bernama andai.
Bukankah menyedihkan ketika seharusnya aku lebih banyak menatap ke depan, tetapi malah diam di tempat dan menghadap ke belakang? Rasanya aku juga ingin memohon ampun kepada semesta. Pasti ada banyak salah yang luput dari ingatan dan aku berlalu begitu saja. Apa di kehidupan sebelumnya aku pernah melakukan hal yang merugikan negara, ya?
Aku juga ingin seperti subjek mimpiku yang rasanya mudah untuk tertawa dan menikmati kehidupan yang sedang berjalan. Namun, kenapa kakiku terasa berat untuk melangkah? Kenapa rasanya masih ada tali tipis yang begitu kuat mengikat? Memang, apa yang aku usahakan belakangan ini belum masuk ke kategori ikhlas, ya, makanya aku jadi begini?
Aku paham, sih, bukan negara saja yang punya musim, tetapi kehidupanku juga. Masalahnya, kenapa rasanya dingin terus? Badainya kenapa enggak juga mereda dan hilang? Kenapa suhunya naik-turun dengan ekstrim? Aku, kan, jadi kesulitan untuk beradaptasi. Tahu, kan, hanya yang mampu beradaptasi yang dapat bertahan? Rasanya aku masih jauh dari sana.
Bukannya salah siapa-siapa, sih. Perasaanku, ya, tanggung jawabku. Aku satu-satunya orang yang bisa mengendalikan isi hati dan kepala ini. Meski kadang banyak diambil alih sampai aku kelimpungan sendiri. Aku, ingin lepas dari ini semua dan melangkah meski perlahan. Rasanya aku sudah enggak lagi tahan menanti terang di gelembung gelap bernama andai.
Novel ini mengajarkan gue untuk memvalidasi perasaan yang gue sedang rasakan. Dengan begitu, gue akan lebih mudah untuk mengambil langkah selanjutnya. Tuesdays with Morrie berisi soal percakapan Mitch Albom dan Morrie Schwartz, gurunya semasa kuliah, Gue belajar soal mencintai hingga melepaskan dari percakapan mereka. So, here is my review with spoilers in it.
Kalian pasti pernah punya sosok guru yang menginspirasi semasa sekolah. Itulah yang terjadi dengan Mitch dan Morrie. Morrie adalah profesor sosiologi yang suka mempelajari tentang manusia dan Mitch menjadi salah satu muridnya. Saat lulus di 1979, Mitch memberikan hadiah kepada Morrie dan berjanji untuk selalu keep in touch. Namun, Man Proposes, God Disposes.
Di sisi lain, Mitch bekerja sebagai jurnalis dan hidupnya disibukkan dengan bekerja. Hingga suatu hari ia mendengar bahwa guru favoritnya menderita, ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit saraf yang memburuk seiring berjalannya waktu. Penderitanya akan kehilangan kemampuan motorik. Mitch pun mencoba untuk menghubungi dan bertemu dengan Morrie.
The most important thing in life is to learn how to give out love, and to let it come in. - Halaman 22
Ada 14 Selasa dalam cerita ini dan kalimat di atas adalah salah satu percakapan Morrie dan Mitch di Selasa pertama saat mereka membahas tentang dunia. Sebuah kalimat yang membuat isi kepala gue sunyi dan tenang seketika. Back then, I thought that I couldn't fall in love again because I had lost one. And of course I can still feel it, only if I let it in. I just should give it a try.
Gue pernah membahas tentang give out love ini di sini. Gue berjanji untuk belajar menunjukkan perhatian gue dengan baik ke orang-orang yang gue pedulikan. Because I know, sometimes we question someone's affection, sometimes we doubt someone's concern, and sometimes we think we don't deserve to be loved. And I don't want people that I care think and feel that way.
If you hold back on the emotions-if you don't allow yourself to go all the way through them-you can never get to being detached, you are too busy being afraid. - Halaman 104
Di Selasa ke-6 saat Morie dan Mitch membahas tentang emosi. Percakapan mereka di bagian ini membuat gue sadar bahwa ketika gue mengizinkan diri gue merasakan emosi-emosi yang ada, maka akan lebih mudah juga buat gue untuk melepaskannya. I bet, we often feel ashamed to look weak because of sadness. And that's why most of the time we say that it's fine, when it's not.
Those words helped me. I let myself feel all those emotions. And finally, one time, I cried in front of my family and friends. Things I've never done in my life. I rarely cry in front of people. With that sadness, I understand why it hurts, I understand what causes it, and it's easier for me to let go. It's heart break. Then I can let go of that emotion for a moment. The peace I've been waiting for has come.
Kata-kata Morrie di atas juga mengajarkan gue untuk enggak takut merayakan kebahagiaan. I bet, we all also question what will happen next when happiness comes to us. Padahal enggak selalu akan ada apa-apa. Laugh to your heart's content. Salah satu idol K-Pop gue juga pernah bilang kalau lagi bahagia, nikmati momennya. Pada akhirnya hidup itu memang roller coaster, kan?
Money is not a subtitute for tenderness, and power is not subtitute for tenderness. - Halaman 125
Buat gue, percakapan mereka di Selasa ke-8 soal uang ini klise, tetapi gue setuju. Ya, pada akhirnya manusia memang enggak pernah puas. Selalu mau lebih dan lebih. Mobil yang lebih mewah, rumah yang lebih besar, dan masih banyak lainnya. Sayangnya, seringkali manusia melakukan itu bukan karena butuh, tetapi untuk memberi impresi dan mencari pengakuan dari orang lain.
Kalau menurut Morrie, untuk mendapatkan kepuasan dan arti hidup, tuh, bukan dengan memiliki barang-barang terbaru dan termahal yang sebenarnya enggak dibutuhkan. Gue pun setuju ketika Morrie bilang bahwa untuk mendapatkan perasaan puas, cobalah untuk menawarkan apa yang dipunya untuk diberikan ke orang lain. Bukan uang, tetapi waktu dan perhatian, misalnya.
Dari contohnya Morrie, ada banyak orang kesepian di rumah sakit yang butuh ditemani. Untuk sekadar mengobrol atau bermain kartu. And now I understand what Morrie meant by giving what we have. Ketika melakukan sesuatu dari hati, pasti ada rasa puas tersendiri. Gue juga percaya, hal-hal baik itu akan kembali lagi. Meskipun dengan cara yang enggak terduga. Vice versa.
In business, people negotiate to win. They negotiate to get what they want. Maybe you’re too used to that. Love is different. Love is when you are as concerned about someone else’s situation as you are about your own. - Halaman 178
Percakapan mereka di Selasa ke-13 ini menyadarkan gue banget bahwa hubungan berbeda dengan bisnis. Gue enggak akan selalu bisa mendapatkan apa yang gue mau hanya karena gue melakukan sesuatu untuk orang lain. Dalam berhubungan dengan orang lain itu enggak ada formula yang pasti. Terkadang gue masih ingin berhubungan, tetapi orang lain enggak. Vice versa.
Seperti yang dialami oleh Mitch ketika adiknya hanya berhubungan seperlunya saja. I know it really hurts. Satu sisi, gue juga harus menghargai keputusan orang lain yang enggak lagi mau berhubungan. Bagian ini bikin gue jadi lebih paham bahwa salah satu bagian manjadi manusia itu berhenti dan mulai lagi. Kata berhenti dan mulai lagi ini juga bisa diaplikasikan dalam banyak hal.
So, ini review Tuesdays with Morrie dari gue. Buku yang mengajarkan gue banyak hal tentang hidup. Mulai dari mencintai, memaafkan, keuangan, hingga membangun keluarga. Kesederhanaan dari Morrie itu menyadarkan gue akan banyak hal biar hidup gue lebih enjoy dan bermanfaat untuk orang lain. One of the best books I've ever read and I highly recommend you read this at least once!
Image: goodreads
Sepanjang aku hidup kurang lebih 24 tahun, aku tahu bahwa aku menyukai kota ini bagaimana pun keadaannya. Kota yang selalu bising dengan klakson kendaraan saat lampu lalu lintas berubah kuning. Kota yang selalu tergenang air ketika musim hujan datang. Kota yang punya banyak gedung tinggi dan lampunya menghiasi gelap malam.
Karena kota ini punya sesuatu yang aku suka. Ada kamu yang membuat menunggu lampu merah ke hijau menjadi lebih menyenangkan. Ada kamu yang menemaniku ketika panik kala petir dan hujan turun dengan deras di musim hujan. Ada kamu yang menemaniku menikmati lampu di gedung tinggi saat malam hari. Setiap sudut di kota ini berarti.
Seperti lampu lalu lintas yang berubah, musim yang berganti, dan lampu di gedung tinggi yang mati karena memang sudah waktunya, aku pun memiliki waktuku sendiri. Waktu saat aku harus menghadapi kota ini sendirian. Tidak ada yang menemani saat menunggu lampu lalu lintas berubah, datangnya musim hujan, dan menikmati lampu di gedung tinggi.
Kota yang aku sukai tidak pernah semenakutkan ini. Menunggu lampu lalu lintas tidak pernah semenjengkelkan ini. Musim hujan kini aku rutuki dengan sumpah serapah agar tidak pernah kembali. Lampu di gedung tinggi tidak pernah terasa indah lagi. Aku, ingin cepat pergi dari kota ini. Kota yang setiap sudutnya pernah begitu berarti.
Kucoba berpikir lagi sebelum membuat keputusan besar dan menyerah dengan kota ini. Apa aku ingin pergi karena rasa takut atau hanya belum terbiasa untuk melihat kota ini dengan sudut pandang yang baru? Rasa terbiasa terkadang memang menyulitkan dan adaptasi adalah kegiatan yang cukup menakutkan. Namun, bukan berarti aku tidak bisa, kan?
Kupelankan kendaraanku saat lampu lalu lintas berwarna kuning. Ketika warnanya merah, aku edarkan pandanganku ke sekeliling. Rupanya, dua orang dengan kostum badut yang sedang berjoget di pinggir kiriku menarik bibirku ke atas. Aku tersadar, bahwa ada banyak cara untuk menanti lampu hijau dan menunggu tidak selalu menjengkelkan.
Beberapa waktu lalu saat aku sedang duduk di rumah, dari jendela yang tidak tertutup gorden itu aku melihat anak-anak yang sedang berlarian di lapangan, menikmati setiap rintik hujan yang turun. Ternyata, hujan tidak selalu menakutkan dan bisa dinikmati dengan banyak cara. Di tengah udara yang dingin dan menusuk tulang, hatiku menghangat.
Kupilih kendaraan umum untuk membawaku pulang dari kantor petang itu. Gedung tinggi menjadi pemandangan utamaku selama di perjalanan. Perlahan, lampu-lampunya menyala. Kupikir tidak ada lagi yang spesial karena kini aku duduk sendirian, tetapi aku tetap takjub dengan kilaunya. Aku, tetap menikmati lampu di gedung tinggi itu.
Mungkin rasanya tidak pernah akan sama lagi karena melihat dan menikmati kota yang aku sukai ini dengan sudut pandang yang baru. Namun, kini aku tahu bahwa aku mampu membuat setiap sudut kota ini terus berarti. Aku hanya perlu mengizinkan diriku untuk lebih berani, mengedarkan pandangan lebih jauh saat berjalan dan merasakan lebih dalam.
Image: Unsplash
Kalau berjalan sesuai rencana, tulisan ini akan kuunggah tepat di malam tahun baru. Aku pun sudah mulai menyicil rangkuman yang akan kutuangkan di halaman ini. Sudah di penghujung tahun, ini adalah waktu yang tepat untuk menapak tilas apa saja yang sudah aku lalui di 2021. Mencoba untuk merefleksikan diri dan berharap ada banyak hal yang bisa dipelajari.
Kalau boleh aku simpulkan, 2021 adalah puncak komedi sepanjang 23 tahun aku hidup. Tahun ini aku diberi kesempatan untuk merasakan hal-hal besar yang enggak terduga. Ada banyak harapan dan doa yang terjadi. Namun, enggak sedikit kejadian yang memilukan dan menggores luka datang menghampiri tanpa permisi. Salah satunya adalah soal kepergian.
Perihal pergi, tahun ini aku banyak merasakannya. Mulai dari kepergian seseorang yang memang waktu hidupnya sudah habis hingga kepergian beberapa orang karena saat di sebuah persimpangan jalan, tujuanku dengan orang-orang tersebut berbeda. Harusnya ini hal yang mudah dipahami, tetapi rasanya sulit untuk diterima dan aku harus beradaptasi lagi.
Aku percaya bahwa manusia memang memiliki perannya masing-masing. Bisa jadi, setiap manusia memang harus bertemu untuk melengkapi cerita satu sama lain. Sialnya, aku sampai lupa kalau setiap cerita itu pasti memiliki rentang waktu dan akhir. Aku jadi kelimpungan sendiri ketika harus berperan di cerita lainnya meski beberapa bagian favoritku sudah berakhir.
Pun enggak selalu manis, beberapa cerita punya akhir terbuka, menggantung, hingga tragis. Andai saja aku dikasih kisi-kisi kehidupan setiap tahunnya, akan kusiapkan hati yang lapang untuk masalah yang bisa membuat lubang besar di hati. Kupelajari cara menjalani hidup saat enggak sesuai prediksi. Kalau saja dikasih, aku yakin akan ada banyak hati yang cepat pulih.
When we do the best we can, we never know what miracle is wrought in our life or the life of another. - Helen Keller