Minggu, 16 Mei 2021

Review Novel Jakarta Sebelum Pagi - Ziggy Z.

Review Novel Jakarta Sebelum Pagi

Akhirnya, gue memberanikan diri untuk mereview buku yang gue baca. Semoga tidak spoiler karena ini pertama kalinya. Long story short, baca Jakarta Sebelum Pagi itu disebabkan oleh salah satu penulis Alternative Universe favorit gue di Twitter. (Kalau kalian mau tahu tulisan-tulisannya, just ask me freely).

Biasanya, gue menganggap tulisan itu cantik ketika sang penulis memilih diksi yang tidak biasa. Buat gue, narasi yang dibuat penulis AU favorit gue ini sangat menarik. Bagaimana dia membangun narasi dengan diksi yang sederhana, tetapi kalimatnya menjadi sangat cantik.

Suatu hari, penulis AU favorit gue ini menjawab pertanyaan tentang buku apa yang paling paling berkesan untuknya. Salah satu jawabannya adalah Jakarta Sebelum Pagi karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. (Setelah selesai membaca, akhirnya rasa penasaran gue terjawab).

Karena gue menganggap penulisan seseorang itu juga terpengaruh dari buku yang dibaca, maka dari itu, pun selagi gue sedang langganan Gramedia Digital, akhirnya gue pilih Jakarta Sebelum Pagi untuk gue baca dan lihat keunikannya.

Review Novel Jakarta Sebelum Pagi

Jadi, novel Jakarta Sebelum Pagi ini menceritakan tokoh bernama Emina yang terobsesi dengan babi setelah membaca Animal Farm. Hampir semua orang dalam hidupnya ia ibaratkan dengan babi. Cerita di mulai setelah dirinya mendapat kiriman balon, bunga, beserta surat setiap hari di balkon apartemennya.

Nissa, sang sahabat yang-tentunya-jauh-lebih-waras menyuruh Emina untuk berhati-hati dengan si stalker. Namun, Emina dengan rasa penasarannya, malah ingin tahu siapa stalker-nya itu. Rasa penasarannya membawa Emina ke sebuah toko bunga dan bertemu dengan Suki, bocah 12 tahun yang sangat dewasa.

Tapi, Suki, sebagai anak kecil, kamu .... benar-benar nggak berpikir seperti anak kecil. Yakin, kamu bukan Benjamin Button betina? - Halaman 163

Pertemuan dengan Suki membawa Emina bertemu dengan Abel, pemuda yang memiliki fobia sentuhan dan suara karena sebuah kejadian di masa lalu. Ternyata, Abel dan Suki ini berhubungan dengan Pak Meneer, tetangga Rumah Para Jompo yang terdiri dari Nenek, Datuk, dan Nin (adik Datuk)-nya Emina.

Surat-surat yang diterima Emina dari sang stalker berisi curahan hati beserta kenangan si penulis surat di Jakarta saat masa lampau. Hubungan Emina dan Abel yang kian mendekat, membuat mereka mendatangi tempat-tempat yang disebutkan pada surat-surat tersebut. Ternyata bukan sekadar surat dan kenangan, surat-surat tersebut mengungkapkan berbagai rahasia; siapa penulis, penerima, dan cerita di baliknya.

Planetarium tempat saya pertama kali mengecup keningmu kini adalah gedung tua yang sudah terlupakan. Tempat-tempat yang dulu kita cintai telah berubah, ditinggalkan, atau semakin dicintai. - Halaman 185

Btw, waktu pertama kali gue baca judul Jakarta Sebelum Pagi, bayangan gue adalah novel tentang kejahatan atau hal-hal aneh yang terjadi di Jakarta ketika waktu subuh. Tenyata, ya, tidak sepenuhnya salah. Karena karakter Abel yang fobia sentuhan dan suara itu membuat dia dan Emina melakukan eksekusi pada dini hari untuk menghindari keramaian dan kebisingan. Jadi, ya, gue paham sekarang.

Gue suka bagaimana sang penulis membangun suasana serta karakter melalui percakapan setiap tokohnya. Seperti si tokoh utama, Emina yang absurd dan to the point dan Nissa dengan otaknya yang waras dan normal seperti kebanyakan orang pada umumnya. Menurut gue, dua karakter ini sangat melengkapi dan ada di dunia nyata.

Jangan cari stalker lo, oke? Promise me, you won't do anything stupid. There's no space for stupid in Jakarta - Halaman 8 & 9

Novel yang berlatar di Jakarta ini juga membuat gue berpikir kalau karakter Suki relate dengan kehidupan. Bagaimana seorang anak dituntut menjadi dewasa sebelum waktunya. Meskipun menghadapi berbagai keadaan dan kondisi yang berbeda. Pun dengan Abel, seseorang yang mengungkapkan perasaannya dengan cara yang bikin geleng-geleng kepala.

Kalau menurut gue, novel ini bukan hanya soal romantisisme dan keabsurdan tentang babi yang bikin gue tertawa setiap membacanya, tetapi ada banyak nilai-nilai yang secara implisit bisa pembaca dapatkan. Mulai dari persoalan keluarga, perasaan yang rumit, menerima seseorang beserta konsekuensinya, belajar melepaskan, dan berdamai dengan masa lalu. Gue takjub, sih, dengan novel ini!

Luka dari masa kecil itu lebih sulit disembuhkan daripada yang kamu dapatkan setelah dewasa. - Halaman 200

Untuk penulisannya, novel ini cukup ringan dan berat bersamaan. Sang penulis sesekali menggunakan pengandaian untuk menggambarkan sesuatu. Gue pun beberapa kali membaca ulang sebuah kalimat agar lebih paham. Btw, novel ini juga membahas tentang teh beserta upacaranya. Ada upacara minum teh di Jepang dan Inggris. Asli. Bagian ini bikin gue penasaran dan bolak-balik ke mesin pencarian untuk mencari info lebih dalam.

Novel Jakarta Sebelum Pagi menjadi karya fiksi terbaik Indonesia 2016 versi majalah Rolling Stone. Kalau kalian suka dengan novel bergenre romantis, komedi, dan misteri, gue sangat menyarankan kalian untuk membaca novel ini. Gue yakin novel ini akan bikin kalian tertawa dan takjub dengan plot yang cukup bikin melongo. Jadi, ya, novel ini sangat worth to read, I guess.

  • Judul Buku : Jakarta Sebelum Pagi
  • Penulis Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
  • ISBN : 978-602-375-844-9
  • Penerbit : Grasindo
  • Halaman : 270

Selasa, 11 Mei 2021

Menjadi Egois di Waktu-waktu Tertentu

Aku, sedikit percaya bahwa kita hanya mengingat hal atau kejadian yang paling baik atau buruk dalam hidup. Kita tidak pernah benar-benar mengingat hal biasa saja yang ketika kita coba ingat, otak harus bekerja lebih keras. Bahkan, kita cenderung mengingat hal paling buruk.

Ketika mendapatkan hal baik, kita hanya mengingatnya untuk beberapa waktu. Coba kalau kutanya, apa hal yang paling menyakitkan dalam hidup yang kamu ingat sampai saat ini? Aku yakin, detik ini juga, memori kita semua melesat dengan cepat ke kejadian tersebut.

Lalu, tanpa aba-aba, amarah, sedih, bahkan sesak menghampiri di relung hati. Tak apa, kita semua pernah melalui hal-hal buruk. Aku paham juga rasanya. Cuma, bukan kenangan baik atau buruk yang menjadi poinku. Namun, cara kita bersikap setelahnya.

Banyak orang jadi selalu berusaha menyenangkan orang lain karena tahu rasanya dilupakan. Lama-kelamaan, mereka tenggelam dalam pusaran yang tidak keruan. Tak jarang, banyak orang ini hilang kendali atas diri sendiri dan enggan berkata tidak; selalu menyenangkan orang lain.

Aku, geregetan. Mungkin ada yang salah juga dengan cara otakku bekerja. Entah. Rasanya, ingin kutempeleng sedikit dan kucegat. Lalu, kubisikkan keras-keras, "Kamu tidak akan pernah bisa menyenangkan hati semua orang atau kamu yang akan kehilangan dirimu sendiri".

Bukankah sedihnya menjadi berlipat? Sudah selalu ingat bagaimana rasanya dilupakan, lalu harus kehilangan diri sendiri karena terlalu dalam berada di pusaran yang tak keruan.

Menurutku, orang-orang yang lupa untuk memilih dirinya sendiri itu semacam senar gitar yang sudah kencang, tetapi dryer-nya terus diputar untuk mencapai nada tertinggi. Akan putus dan tergantikan. Haduh, bukannya ini tambah sedih?

Sudah selalu berusaha yang terbaik, tetapi saat sudah di ambang batas dan lupa berhenti, ujung-ujungnya tergantikan lagi. Kita tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Jangan sampai kehilangan satu-satunya yang kita punya; diri sendiri.

Aku tahu, tidak ada salahnya untuk selalu berbuat baik dan mencoba menyenangkan hati semua orang. Cuma, apa gunanya kalau kita kehilangan diri sendiri dan dimanfaatkan tanpa henti? Memang, sakit. Bahkan kita harus hidup dengan kenangan buruk tersebut.

Ditinggalkan, dilupakan, dan diabaikan itu selalu menyakitkan. Hanya saja, perasaan orang lain pun bukan tanggung jawab kita. Bagaimana kalau sekarang kita berjanji untuk memilih diri sendiri dan membantu semampunya? Karena menjadi egois di waktu-waktu tertentu sangat dibolehkan.

Rabu, 05 Mei 2021

Something Better to Sleep

"I haven't discussed this with anyone because I don't really know how to start. All I know is that I feel weird these past few days."

Kalimat di atas adalah gambaran yang terjadi dengan diri gue saat ini. Entah kenapa gue merasa ada sesuatu yang salah ketika gue sendiri tidak tahu apa yang sedang salah. Rasanya ingin memperbaiki sesuatu yang rusak padahal gue pun tidak tahu apa yang rusak. Bingung? Ya, itu yang gue rasakan sekarang.

Gue takut apa yang sudah gue usahakan beberapa tahun belakangan itu menjadi berantakan. Padahal selama ini gue mencoba untuk menjaganya untuk stay in place. Gue pikir semua akan baik-baik saja, tetapi ternyata bermain dengan perasaan itu tidak mudah. Banyak godaannya. Banyak pertimbangannya. Banyak konsekuensinya.

Sialnya lagi, ketika akal sehat sudah mengambil perannya, perasaan tersebut seringkali terasa salah. Apalagi kalau harus memilih kedamaian atau melakukan yang seharusnya. Semua tambah runyam ketika hal yang seharusnya itu mengganggu kedamaian yang sudah ada. Kedamaian yang sudah lama dibangun dan ternyata banyak janggalnya.

Memang, ya, habit dies hard. Apalagi kalau keadaan mendukung untuk terus melakukan kebiasaan tersebut. Sayangnya, tidak semua kebiasaan itu baik dan tidak semua orang bisa memaklumi. Gue pun khawatir, dia yang sudah lama tertidur, ternyata terusik. Lalu meneriaki gue kalau terus menjaga sesuatu untuk selalu di tempatnya bisa menjadi bom waktu.

Dengan terusiknya dia dari tidur panjangnya, gue takut dia benar-benar bangun dan ikut mengambil peran. Lalu memporak-porandakan semua yang sudah gue usahakan. Gue tambah takut kalau hal yang berantakan ini tidak bisa diperbaiki lagi atau meskipun bisa, tidak akan pernah sama. Skenario terburuk pun menari-nari seenaknya di kepala.

It takes two to tango. Pura-pura semuanya baik-baik saja, gue yang gelisah. Mencoba mengubah suatu kebiasaan, risiko berantakannya besar. Gue cuma berharap, apa-apa yang entah apa namanya ini cepat berlalu. Agar si dia tidak perlu bangun dan ikut mengambil peran. Rasanya pun gue tidak pernah siap menghadapi kerunyaman.

Minggu, 18 April 2021

What Could Have Been Love - Aerosmith


Aku, tuh, lagi bingung. Bingung harus memulai cerita darimana. Rasanya itu penuh, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus mengeluarkannya. Kalau aku bilang tidak aku coba keluarkan, aku bohong. Pasalnya sudah kucoba keluarkan pelan-pelan ke setiap tempat berbeda yang aku punya, tetapi rasanya masih sama saja. Mirip gerimis yang disertai angin dan bertemu atap rumah, riuh.

Rasanya, tidak semua tempat itu bisa memahami arti penuh yang sedang aku rasakan. Bukan, bukan salah tempat itu. Memang bukan tempat yang tepat saja. Maksudku, sebelumnya sudah ada tempat khusus, hanya saja, aku yang memutuskan untuk menutup dan menguncinya. Kuncinya pun ada, hanya saja aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membukanya, bahkan aku ragu tempat itu mau terbuka lagi.

Tahu apa yang menambah rasa penuh ini? Ketika aku sedang membuka Twitter, salah satu following-ku membahas sebuah lagu dari band yang akhir-akhir ini aku dengarkan. Aerosmith. Namanya juga lagi tertarik banget, langsung kubuka Spotify dan kuputar lagu yang dibahas following-ku tersebut. Tak lama, lagu Aerosmith yang sebelumnya aku tidak pernah dengar juga, mengudara tanpa aba-aba.

Nada yang mengalun pelan, lirik yang terucap jelas, aku coba memahami dengan baik apa yang Steven Tyler dan kawan-kawannya bawakan. Lalu, perasaan itu tiba-tiba muncul. Kalian pasti pernah mendengarkan lagu yang sangat menggambarkan perasaan runyam kalian, kan? Itu perasaan yang aku maksud. Sedih, sunyi, lalu bingung. Setelah itu, aku terhanyut dalam kehampaan yang semakin terasa karena lagu tersebut.

Itu yang baru saja terjadi padaku saat mendengarkan What Could Have Been Love - Aerosmith. Kuputar lagu ini berkali-kali untuk menemani diri ini mengetikkan beberapa kalimat. Aku putuskan untuk mengeluarkan seluruh kepenuhan yang sedang aku rasakan. For your information, the power of kepenuhan, aku pun memutuskan menggunakan tempat terakhir ini untuk meluapkan segalanya.

Mungkin, aku yang memang belum terbiasa. Memang perubahan meninggalkan rasa tidak nyaman, kan? Sialnya, aku ini bodoh dan susah beradaptasi dengan hal baru. Terbiasa melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun, lalu memutuskan berubah, aku kelimpungan sendiri. Rasanya seperti anak yang kehilangan orang tua saat sedang diajak pergi ke suatu tempat. Kebingungan.

Seperti kata Steven Tyler 'and now that I'm all alone, all I have is emptiness that comes from being free'. Rasanya mirip sekali. Aku merasa kosong dan sendirian di keadaan yang aku pilih sendiri. Akhir-akhir ini pun aku mempertanyakan hal yang sudah aku lakukan. Apakah aku salah? Apakah ini tepat? Padahal rasanya aku sudah pikir matang untuk semuanya. Mengingat aku benci sekali perubahan.

Mungkin, ya. Ini perkiraan aku saja. Untuk menghilangkan penuh yang mirip gerimis dengan angin ini, aku harus menemukan tempat yang tepat. Agar penuh ini tersalurkan dan dipahami dengan baik. Ingin sekali kubuka tempat yang kututup dan kunci rapat itu. Pertanyaannya, apakah aku benar-benar siap untuk membuka tempat itu? Paling penting juga, apakah tempat itu mau jika aku buka kembali?

Image: Pixabay

Selasa, 13 April 2021

Loveable and Adorable Person

Sebenarnya gue tidak tahu harus mulai dari mana untuk cerita ini karena alasan terbesarnya itu hanya gue dengan pikiran gue yang tidak mau diam. Mungkin juga karena gue jarang melihat ini sehingga menjadi memorable moments.

Ya, harus gue akui tidak ada manusia yang sempurna. Cuma, karena momen tersebut gue jadi berpikir kembali bahwa benar manusia tidak ada yang sempurna, tetapi ada sebagian kecil manusia yang sangat lovable dan adorable. Setiap hal yang mereka lakukan itu menyenangkan hawanya.

Yes, loveable and adorable. These words I choose to describe this memorable moment. 

Begini, sebagai orang yang sering mempertanyakan dan meragukan banyak hal sebagai pertahanan diri, gue sangat tersanjung.

Wow, this person really showed love and sparked joy to everyone around her. How can you do it without hesitation? What did you do in the past to get this much love? But I know you really deserve it. 

Gue bertanya hal itu di dalam hati.

Namun, setelah berpikir panjang dan mengingat rentetan kejadian beberapa waktu lalu, mungkin ini yang dinamakan apa yang ditabur, itulah yang dituai. Banyak cinta, perhatian, kasih sayang, dan usaha yang dilakukan orang ini.

Atau sebenarnya orang-orang ini hanya ini memberikan yang terbaik, ya? Terlepas kecewa yang sebenarnya selalu mengikuti. Tidak ragu untuk menunjukkan kasih sayang sepenuhnya ketika banyak orang enggan melakukannya? Sehingga dibayar dengan banyak cinta dari orang sekelilingnya?

Di sisi lain kejadian ini, gue menyadari suatu hal. Memang akan menyenangkan apabila bertemu seseorang dengan love language yang sama. Ini bukan hanya soal romantisme, tetapi semua hubungan. The spark is real and we will know what true love is.

Meskipun suatu hubungan itu pada hakikatnya milik orang yang menjalankan, ya. Jangan repot-repot untuk peduli apa kata orang. Even if you have a different love language with your partner and relatives, if you stick to it well, it will work.