Minggu, 18 April 2021

What Could Have Been Love - Aerosmith


Aku, tuh, lagi bingung. Bingung harus memulai cerita darimana. Rasanya itu penuh, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus mengeluarkannya. Kalau aku bilang tidak aku coba keluarkan, aku bohong. Pasalnya sudah kucoba keluarkan pelan-pelan ke setiap tempat berbeda yang aku punya, tetapi rasanya masih sama saja. Mirip gerimis yang disertai angin dan bertemu atap rumah, riuh.

Rasanya, tidak semua tempat itu bisa memahami arti penuh yang sedang aku rasakan. Bukan, bukan salah tempat itu. Memang bukan tempat yang tepat saja. Maksudku, sebelumnya sudah ada tempat khusus, hanya saja, aku yang memutuskan untuk menutup dan menguncinya. Kuncinya pun ada, hanya saja aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membukanya, bahkan aku ragu tempat itu mau terbuka lagi.

Tahu apa yang menambah rasa penuh ini? Ketika aku sedang membuka Twitter, salah satu following-ku membahas sebuah lagu dari band yang akhir-akhir ini aku dengarkan. Aerosmith. Namanya juga lagi tertarik banget, langsung kubuka Spotify dan kuputar lagu yang dibahas following-ku tersebut. Tak lama, lagu Aerosmith yang sebelumnya aku tidak pernah dengar juga, mengudara tanpa aba-aba.

Nada yang mengalun pelan, lirik yang terucap jelas, aku coba memahami dengan baik apa yang Steven Tyler dan kawan-kawannya bawakan. Lalu, perasaan itu tiba-tiba muncul. Kalian pasti pernah mendengarkan lagu yang sangat menggambarkan perasaan runyam kalian, kan? Itu perasaan yang aku maksud. Sedih, sunyi, lalu bingung. Setelah itu, aku terhanyut dalam kehampaan yang semakin terasa karena lagu tersebut.

Itu yang baru saja terjadi padaku saat mendengarkan What Could Have Been Love - Aerosmith. Kuputar lagu ini berkali-kali untuk menemani diri ini mengetikkan beberapa kalimat. Aku putuskan untuk mengeluarkan seluruh kepenuhan yang sedang aku rasakan. For your information, the power of kepenuhan, aku pun memutuskan menggunakan tempat terakhir ini untuk meluapkan segalanya.

Mungkin, aku yang memang belum terbiasa. Memang perubahan meninggalkan rasa tidak nyaman, kan? Sialnya, aku ini bodoh dan susah beradaptasi dengan hal baru. Terbiasa melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun, lalu memutuskan berubah, aku kelimpungan sendiri. Rasanya seperti anak yang kehilangan orang tua saat sedang diajak pergi ke suatu tempat. Kebingungan.

Seperti kata Steven Tyler 'and now that I'm all alone, all I have is emptiness that comes from being free'. Rasanya mirip sekali. Aku merasa kosong dan sendirian di keadaan yang aku pilih sendiri. Akhir-akhir ini pun aku mempertanyakan hal yang sudah aku lakukan. Apakah aku salah? Apakah ini tepat? Padahal rasanya aku sudah pikir matang untuk semuanya. Mengingat aku benci sekali perubahan.

Mungkin, ya. Ini perkiraan aku saja. Untuk menghilangkan penuh yang mirip gerimis dengan angin ini, aku harus menemukan tempat yang tepat. Agar penuh ini tersalurkan dan dipahami dengan baik. Ingin sekali kubuka tempat yang kututup dan kunci rapat itu. Pertanyaannya, apakah aku benar-benar siap untuk membuka tempat itu? Paling penting juga, apakah tempat itu mau jika aku buka kembali?

Image: Pixabay

Selasa, 13 April 2021

Loveable and Adorable Person

Sebenarnya gue tidak tahu harus mulai dari mana untuk cerita ini karena alasan terbesarnya itu hanya gue dengan pikiran gue yang tidak mau diam. Mungkin juga karena gue jarang melihat ini sehingga menjadi memorable moments.

Ya, harus gue akui tidak ada manusia yang sempurna. Cuma, karena momen tersebut gue jadi berpikir kembali bahwa benar manusia tidak ada yang sempurna, tetapi ada sebagian kecil manusia yang sangat lovable dan adorable. Setiap hal yang mereka lakukan itu menyenangkan hawanya.

Yes, loveable and adorable. These words I choose to describe this memorable moment. 

Begini, sebagai orang yang sering mempertanyakan dan meragukan banyak hal sebagai pertahanan diri, gue sangat tersanjung.

Wow, this person really showed love and sparked joy to everyone around her. How can you do it without hesitation? What did you do in the past to get this much love? But I know you really deserve it. 

Gue bertanya hal itu di dalam hati.

Namun, setelah berpikir panjang dan mengingat rentetan kejadian beberapa waktu lalu, mungkin ini yang dinamakan apa yang ditabur, itulah yang dituai. Banyak cinta, perhatian, kasih sayang, dan usaha yang dilakukan orang ini.

Atau sebenarnya orang-orang ini hanya ini memberikan yang terbaik, ya? Terlepas kecewa yang sebenarnya selalu mengikuti. Tidak ragu untuk menunjukkan kasih sayang sepenuhnya ketika banyak orang enggan melakukannya? Sehingga dibayar dengan banyak cinta dari orang sekelilingnya?

Di sisi lain kejadian ini, gue menyadari suatu hal. Memang akan menyenangkan apabila bertemu seseorang dengan love language yang sama. Ini bukan hanya soal romantisme, tetapi semua hubungan. The spark is real and we will know what true love is.

Meskipun suatu hubungan itu pada hakikatnya milik orang yang menjalankan, ya. Jangan repot-repot untuk peduli apa kata orang. Even if you have a different love language with your partner and relatives, if you stick to it well, it will work.

Minggu, 21 Maret 2021

#2 Kedai Kopi dan Memori


Aku mengagumi sosok itu. Si pekerja keras tak kenal gengsi yang pandai bersosialisasi. Lelaki dengan banyak mimpi yang selalu paham bagaimana mengatasi banyak situasi.

Mengingat hari saat aku dan dirinya sibuk bertukar pesan untuk berbagi kisah. Mengeluh hal-hal tak penting hingga ide konyolnya yang mengundang tawa. Tak jarang kantuk kutahan agar tetap mendengar suaranya.

Mengingat hari saat aku tak kuasa menganggukkan kepala saat dirinya bertanya apakah aku bersedia untuk menjadi kekasihnya saat di bangku kuliah.

***

"Kita ke pergi ke sini, yuk!"
"Tiba-tiba?"
"Besok jam 7 pagi gue jemput, ya!"
"Dasar gila!"

Begitulah kira-kira percakapan di Sabtu malam sebelum memejamkan mata. Kukatakan dirinya gila sedang kubereskan beberapa perlengkapan di pagi buta untuk perjalanan yang tiba-tiba. Diklaksokan mobil tanda ia sudah tiba. Kuturuni anak tangga dengan langkah besar dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Ia pasang senyuman sambil menyalipkan rambutku ke belakang telinga.

"Berapa lama perjalanannya?"
"Dua sampai tiga jam, mungkin?"
"Oke. Refreshing setelah ujian."
"Let's go?"
"Let's go!"

Perjalanan tiba-tiba ini menjadi ajang karaoke dadakan. Puluhan lagu dilantunkan dan dengarkan. Sambil sesekali ia daratkan kecupan di punggung tanganku saat dalam genggaman. Kuhabiskan waktu bersamanya di antah berantah. Sebuah tempat yang masih belum terjamah. Berendam dan berenang sesuka hati dalam kolam seakan-akan di rumah.

***

Mengingat hari menyenangkan saat tawa tiada habisnya. Mengeluhkan betapa aneh tingkah laku hewan peliharaannya. Kumerindukan sosok yang telah menemaniku tiga tahun lamanya. Kini hanya satu atau dua kalimat yang tertukar. Beberapa ucapan menyambut pagi atau menutup malam. Sesekali membahas siang dengan sukar.

***

Kulangkahkan kaki menuju teman-temanku yang lebih dulu sampai. Melepas rindu yang tertahan karena semua sibuk dengan tugas yang tak kunjung usai. Membahas apapun hingga berandai-andai. Semua membahagiakan sampai pertanyaan itu tiba. Bagai dilempar batu tepat di dada.

"Iya, kedai kopi itu enak, sih. Cuma masih ramai. Ya, kan? Kemarin malam dia ke sana, tuh, sama pacarnya."

Tertegun saat sadar bahwa akulah yang menjadi topik pembicaraan saat tangan temanku menyolek lengan yang kusandarkan di meja. Kulemparkan senyum sebagai jawaban, persetujuan, juga kebingungan.

Tersadar akan kenyataan tentang sebuah dusta lelaki kemarin malam yang membawa kabar bahwa dirinya masih di luar kota.

Rabu, 17 Maret 2021

Angin dan Harapan

Begini, rasanya itu seperti harus keluar rumah dan berjalan di jalan yang penuh sampah dan duri. Belum juga melangkahkan kaki, rasanya sudah lelah.

Padahal, saya juga tidak sendiri. Banyak manusia yang harus menempuh perjalanan yang lebih buruk dari ini. Meskipun begitu, saya tetap boleh mengeluh, 'kan?

Saya harus berjalan sekaligus membersihkan pun berhati-hati. Salah-salah, saya bisa tersungkur dan kesakitan. Saya tidak mau merasakan sakit dua kali.

Kau tahu? Perjalanan ini akan lebih ringan kalau saja ada yang membantu saya membersihkan sampah dan menyingkirkan duri. Ah, andai saja.

Terkadang saya iri. Saya melihat orang lain berjalan dengan mudah karena banyak orang yang membantu menyingkirkan sampah dan duri tersebut. 

Namun, kenapa jalan yang saya lalui harus begitu suram? Meskipun saya optimis bahwa terang di ujung jalan sana adalah hadiah yang akan saya dapatkan.

"Hey, bolehkah saya berada di posisimu sebentar? Saya ingin tahu rasanya tersenyum menatap jalanan yang akan saya lalui. Bukan lesu dan tarikan napas yang panjang setiap kali ingin melangkah."

Terkadang saya ingin menyerah. Biarlah angin membawa saya ke mana pun. Saya pasrah. Namun, saya teringat sesuatu. Beberapa hal di ujung jalan seolah mengatakan untuk tidak menyerah. Sedikit lagi.

Kau tahu? Setelah berjalan terseok-seok sampai ke ujung jalan, saya teringat kembali tentang jalan pulang. Rasanya sesak lagi. Tahu kalau sampah dan duri itu masih tetap kembali.

Jika tidak ada manusia yang dapat membantu menyingkirkannya, saya berharap angin segera membawa sampah dan duri tersebut pergi. Agar perjalanan saya jauh lebih ringan.

Biarlah batu dengan jalan sedikit berlubang yang menemani perjalanan saya. Itu cukup. Ya, angin? Kau dengar, 'kan?

Kamis, 04 Maret 2021

Mencari Jawaban

Menurutku,
Karena manusia itu dinamis
Bergerak, berubah
Pun perasaannya

Namun,
Aku mulai tahu
Aku mulai paham
Perbedaannya bisa dirasakan

Apa perasaan itu menjadi maju
Apa perasaan itu menjadi mundur
Tak berhenti di sana
Kecepatannya pun bisa dihitung

Ya,
Pun bisa aku keliru
Perhitungan tak tepat
Yang dirasa menjadi ragu

Kalau kau ingin lebih yakin
Coba kau peluklah
Tatap matanya
Barangkali ada jawaban lain di sana