Rabu, 05 Mei 2021
Something Better to Sleep
Minggu, 18 April 2021
What Could Have Been Love - Aerosmith
Aku, tuh, lagi bingung. Bingung harus memulai cerita darimana. Rasanya itu penuh, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus mengeluarkannya. Kalau aku bilang tidak aku coba keluarkan, aku bohong. Pasalnya sudah kucoba keluarkan pelan-pelan ke setiap tempat berbeda yang aku punya, tetapi rasanya masih sama saja. Mirip gerimis yang disertai angin dan bertemu atap rumah, riuh.
Rasanya, tidak semua tempat itu bisa memahami arti penuh yang sedang aku rasakan. Bukan, bukan salah tempat itu. Memang bukan tempat yang tepat saja. Maksudku, sebelumnya sudah ada tempat khusus, hanya saja, aku yang memutuskan untuk menutup dan menguncinya. Kuncinya pun ada, hanya saja aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membukanya, bahkan aku ragu tempat itu mau terbuka lagi.
Tahu apa yang menambah rasa penuh ini? Ketika aku sedang membuka Twitter, salah satu following-ku membahas sebuah lagu dari band yang akhir-akhir ini aku dengarkan. Aerosmith. Namanya juga lagi tertarik banget, langsung kubuka Spotify dan kuputar lagu yang dibahas following-ku tersebut. Tak lama, lagu Aerosmith yang sebelumnya aku tidak pernah dengar juga, mengudara tanpa aba-aba.
Nada yang mengalun pelan, lirik yang terucap jelas, aku coba memahami dengan baik apa yang Steven Tyler dan kawan-kawannya bawakan. Lalu, perasaan itu tiba-tiba muncul. Kalian pasti pernah mendengarkan lagu yang sangat menggambarkan perasaan runyam kalian, kan? Itu perasaan yang aku maksud. Sedih, sunyi, lalu bingung. Setelah itu, aku terhanyut dalam kehampaan yang semakin terasa karena lagu tersebut.
Itu yang baru saja terjadi padaku saat mendengarkan What Could Have Been Love - Aerosmith. Kuputar lagu ini berkali-kali untuk menemani diri ini mengetikkan beberapa kalimat. Aku putuskan untuk mengeluarkan seluruh kepenuhan yang sedang aku rasakan. For your information, the power of kepenuhan, aku pun memutuskan menggunakan tempat terakhir ini untuk meluapkan segalanya.
Mungkin, aku yang memang belum terbiasa. Memang perubahan meninggalkan rasa tidak nyaman, kan? Sialnya, aku ini bodoh dan susah beradaptasi dengan hal baru. Terbiasa melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun, lalu memutuskan berubah, aku kelimpungan sendiri. Rasanya seperti anak yang kehilangan orang tua saat sedang diajak pergi ke suatu tempat. Kebingungan.
Seperti kata Steven Tyler 'and now that I'm all alone, all I have is emptiness that comes from being free'. Rasanya mirip sekali. Aku merasa kosong dan sendirian di keadaan yang aku pilih sendiri. Akhir-akhir ini pun aku mempertanyakan hal yang sudah aku lakukan. Apakah aku salah? Apakah ini tepat? Padahal rasanya aku sudah pikir matang untuk semuanya. Mengingat aku benci sekali perubahan.
Mungkin, ya. Ini perkiraan aku saja. Untuk menghilangkan penuh yang mirip gerimis dengan angin ini, aku harus menemukan tempat yang tepat. Agar penuh ini tersalurkan dan dipahami dengan baik. Ingin sekali kubuka tempat yang kututup dan kunci rapat itu. Pertanyaannya, apakah aku benar-benar siap untuk membuka tempat itu? Paling penting juga, apakah tempat itu mau jika aku buka kembali?
Image: Pixabay