Senin, 15 November 2021

Fragmen Memori


Beberapa waktu lalu, aku bertukar pesan dengan teman dekat melalui DM Instagram. Aku membalas story-nya saat dia liburan ke luar kota. Sebenarnya ini hal yang biasa kami lakukan; saling membalas story atau cuitan di media sosial. Bahkan isi pesannya pun enggak penting alias hanya kebodohan semata. Dumb and dumber.

Namun, perasaan aneh ini tiba-tiba muncul ketika aku mengirim pesan untuknya. It feels like "Damn, we used to spend time together.", lunch, dinner, hangout after class, dan masih banyak lainnya. Time flies so fast. Karena kami sudah lulus kuliah dan kembali ke Jakarta-yang-memang-luas, kami pun jadi jarang bertemu dan bertukar cerita secara langsung.

Setelah perasaan aneh itu muncul tanpa diundang, aku pun memutuskan untuk membuka WhatsApp. Mengirim pesan ke grup yang cukup usang berisi sembilan orang perempuan. Iya, usang. Setelah kami lulus kuliah, obrolan di grup jadi jarang terjadi. Memang ketika kami kembali ke kota masing-masing, semua punya kesibukan yang berbeda.

Pasti kalian paham, kan, ketika enggak ada lagi kepentingan yang sama, maka intensitas interaksi pun bisa berkurang. Ya, ini bukan masalah dan umum terjadi dalam hidup. Long story short, aku minta foto-foto semasa kuliah karena aku enggak punya banyak di ponsel ini. I want to recall some memories. I want to feel what I felt at that moment.

Beberapa temanku di grup pun mengirimkan banyak foto waktu kami kuliah. Mulai dari foto setiap semester setelah ujian, setiap ada yang ulang tahun, hingga wisuda. And something goes wrong. I just realized about it. Bicara soal I want to feel what I felt at the moment, sialnya aku enggak bisa mengingat kejadian di foto tersebut dengan baik.

Shit, when was this photo taken? What are we really doing besides coming to our friend's graduation? Why do I do this pose? I can't remember it well. Rasanya seperti disuruh menceritakan kembali mimpi yang baru gue alami. Kesusahan. No matter how beautiful the dream is, I still can't tell it completely. Aku hanya bisa mengingat bagian sebelum benar-benar kebangun.

Pasti kalian pernah kesusahan mengingat kembali mimpi yang baru terjadi, kan? Rasanya rungsing sendiri. Bedanya sama foto yang aku lihat adalah kejadian-kejadian ini nyata dan aku alami, tetapi kenapa susah banget mengingat detailnya? Lalu, aku pun mencoba mengingat waktu kami kuliah. Kebanyakan hanya datang sebagai fragmen memori.

Aku jadi teringat sesuatu. Pertanyaan dari dan untuk diriku sendiri. Aku punya teman dekat yang aku enggak pernah ingat alasan kami bisa sedekat itu. What have we done? Do we have the same story? What stories or answers do we exchange? What do we have in common? Aku enggak ingat apapun. Bahkan kepribadian kami pun sangat bertolak belakang.

Based on what I found on the internet, ada banyak faktor yang menyebabkan manusia lupa terhadap detail sebuah kejadian. And I have my (unscientific) theories too. Mungkin karena aku tidak menaruh perhatian saat menghabiskan waktu bersama mereka. Mungkin karena ragaku bersama mereka, tetapi pikiranku entah ke mana. That's why semua hanya jadi fragmen memori.

So yeah, maybe it's time for me, for us, to pay more attention when spending time with someone who is important in our life. To look them in the eye while we are talking. To give them a warm embrace, so we can even remember their perfume and their smells. A gesture to keep memories in our minds. So we can remember all the details, not just the fragments.

Image: Unsplash

Sabtu, 30 Oktober 2021

Review Novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya - Keigo Higashino

Teman gue membaca novel ini karena bias-nya membaca ini juga. Kalau gue, membaca Keajaiban Toko Kelontong Namiya karena novel ini ramai dibicarakan akun Twitter Literary Base. Para pecinta buku mungkin follow akun ini. Sejujurnya gue tidak menaruh harap dengan novel ini. Gue hanya ingin tahu kenapa orang-orang bilang novel ini bagus. Ssst, ada spoiler sedikit.

Shit. Yes, this novel is hella good. Sebelum beranjak lebih jauh, gue cuma punya dua kata untuk menyimpulkan novel ini: unfinished love. Cinta memang sederhana, tetapi keadaan seringkali rumit. Emang, ya, true love enggak akan ke mana. Kalau memang jodohnya pasti akan bertemu lagi. Akan ada banyak cara dan keanehannya untuk membuat mereka bersatu kembali. #pret

Review Novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya

Di awal-awal bab gue menyimpulkan kalau setiap bab di novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya ini tidak berkesinambungan. Memang, ya, poin tentang membaca dan mendengarkan secara keseluruhan itu benar adanya. Setelah lewat dari bab ke-4, gue sadar kalau semuanya memiliki kaitan. Gue baca novel ini versi Bahasa Indonesia dan menurut gue terjemahannya sangat apik.

Untuk cerita, sejujurnya ada sedikit dalam hati gue yang berkata "Ini dipaksa disambung-sambung enggak, sih?", tetapi karena diterjemahkan dengan baik dan tentu alurnya yang rapi, gue melupakan bagain jelek di hati gue tersebut. Lalu lanjut menikmati cerita. Fyi, teman gue yang membaca novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya ini juga punya opini yang sama dengan gue.

Gue sampai lupa kalau novel ini merupakan novel fantasi. To be honest, I'm not into this genre but this book makes me forget about its genre. Keajaiban Toko Kelontong Namiya dibuka dengan tiga pemuda yang sedang melarikan diri karena aksi pencurian yang dilakukan. Mulai dari drama mobil yang dicuri itu mogok hingga akhirnya mereka sampai di toko tua yang tidak berpenghuni.

Gue suka penggambarkan karakter Atsuya, Shota, dan Kohei dari cara mereka melakukan sesuatu. Kalian bisa merasakan karakter yang keras kepala, pembawaann tenang, hingga terkesan lugu. Di lain sisi, ada beberapa hal yang sangat relate dengan kehidupan nyata. Seperti beberapa orang yang enggak mau ikut campur sampai orang-orang yang feeding their curiosity about something.
Aku paham maksudmu, Atsuya, tapi aku tidak bisa diam saja. Aku ingin membantu karena sepertinya si Nona Kelinci benar-benar bingung. - Halaman 26

Rasanya pengin gue tulis ulang semua yang ada di novel ini, tetapi nanti namanya bukan review. Long story short, Toko Kelontong Namiya ini milik seorang kakek bernama Yuji yang seringkali memberikan jawaban atas pertanyaan anak-anak dan tidak sedikit yang konyol. Namun, Yuji tetap memberikan jawaban sebaik mungkin hingga akhirnya mulai datang banyak pertanyaan serius.

Sesi konsultasi ini terjadi di tahun 70-an oleh Yuji dan masa sekarang oleh Atsuya, Shota, dan Kohei. Semacam ada dunia paralel yang terjadi dalam suatu malam. Sudah gue sebutkan di awal bahwa semua kejadian di novel ini berkaitan, jujur, terkadang gue bingung dengan alur waktunya. Jadi, di beberapa bab gue harus baca pelan-pelan dan mengingat kembali apa yang ditulis sebelumnya. 

Di sesi konsultasi ini, pembaca akan disuguhkan dengan berbagai macam permasalah mulai dari gadis yang ingin menggugurkan kandungannya, pemusik yang bingung harus lanjut mengejar passion atau mewarisi toko ayahnya, seorang anak yang memutuskan kabur karena ayahnya yang terlilit hutang, hingga perempuan yang bekerja menjadi hostes untuk menyambung hidupnya.

Ternyata, memberikan saran itu enggak mudah, ya. Menghadapi orang yang sedang kebingungan itu rumit. Ada debat antara hati dan pikiran, dua hal yang memang susah bersatu. Salah dan kurang bijak menjawab, bisa bikin mereka yang kebingungan semakin hilang arah. Buat gue, setiap hal yang tertulis di novel ini punya banyak pesan tersirat yang mendalam.

Maksudku ajukan pertanyaan yang lebih detail. Dari pembicaraan kalian, menurutku kalian berdua sama-sama ada benarnya. Bagaimana kalau  kita pastikan dulu keseriusan gadis ini, baru memikirkan langkah selanjutnya? - Halaman 302

Di sisi lain, ada tempat sama ajaibnya di novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya, yaitu rumah perlindungan anak Taman Marumitsu. Jadi, semua karakter di novel ini punya hubungan dengan tempat tersebut. Taman Marumitsu ini didirakn oleh seorang perempuan bernama Akiko yang sangat peduli dengan pendidikan dan anak-anak yatim piatu.

Ada bagian yang bikin perasaan gue hangat dari cerita Akiko. Dirinya memutuskan untuk tidak menikah hingga akhir hayat karena cintanya hanya untuk seseorang. Membuat gue berpikir, ada enggak orang seperti itu di dunia nyata? Karena tidak bisa bersatu dengan orang yang dia cintai, maka memilih untuk hidup sendiri dan melakukan hal yang disukainya saja?

Buat gue, novel ini sungguh ajaib sesuai namanya. Pesannya juga banyak banget. Mulai dari mengikuti kata hati, enggak menyerah sama keadaan, dan cinta itu kekuatannya sungguh luar biasa. Meskipun sedikit membingungkan alur waktunya, tetapi semua akan jelas pada akhirnya. Semacam "Ah, that is why all of this happened." akan keluar dari mulut pembaca.

  • Judul Buku: Keajaiban Toko Kelontong Namiya
  • Penulis: Keigo Higoshino
  • ISBN: 978-602-06-4828-6
  • Penerbit: Gramedia
  • Halaman: 400

Image: goodreads

Kamis, 21 Oktober 2021

Aku Harus Bergegas


Di kamar berukuran 4x4 ini, semua yang pernah terjadi dalam 23 tahun hidupku datang tiba-tiba. Seakan memohon untuk diingat, pun muncul sebagai godaan agar aku menetap. Rasanya mereka berniat untuk mengaburkan keteguhan hatiku akan keputusan yang kupikir sudah bulat dan mantap. Namun, rasanya aku salah. Ternyata ada ruang di hatiku yang terasa aneh penuh gelisah. 

Buku setebal 7 senti yang menjadi saksi bisuku selama kuliah. Tas tote bag yang warnanya sudah kucal. Keranjang baju kotor di pojok ruangan. Rasanya, mereka semua sedang menatapku dengan sendu. Jangan melihatku seperti itu. Aku tahu aku memang menyedihkan. Di ambang bingung atas keputusan yang kubuat sendiri. 

Pernah kubaca sebuah kalimat bahwa hidup itu perkara berani. Kali ini, aku ingin mengambil bagianku. Berani keluar dari tempat lama untuk menuju tempat baru. Setelah menanti dengan penuh harap serta kecemasan, hari ini tiba juga. Waktu untuk menyelesaikan kegiatan mengemas dan memilih barang mana yang harus kubawa dan kutinggalkan.

Perkara berani dan pindah tempat itu memaksa orang untuk beradaptasi. Beradaptasi dengan alamat baru. Beradaptasi dengan rute baru. Beradaptasi dengan lingkungan baru, dan beradaptasi dengan hal-hal baru lainnya. Sanggupkah aku melaluinya? Sanggupkah aku beradaptasi dengan semuanya? Kalau ternyata nanti tidak nyaman, bagaimana? Ah, aku harus bergegas.

Rasa takut dan ragu pun menyerangku yang sedang berhadapan dengan beberapa kardus kecil yang sudah dinamai sesuai isinya. Seketika ingin kubongkar semua dan kutata seperti semula. Seketika aku ingin melakukan rutinitas harianku saja. Mereka bilang 'if you never try, you’ll never know’. Memang, tetapi perasaan aneh ini menghantamku dengan kejam.

‘Coba dulu. Jangan takut’, katanya. Sialnya, mereka tidak pernah memberi peringatan bahwa perubahan itu akan diikuti rasa takut. Seperti bayangan di ruangan penuh cahaya. Tidak bisa dihindari dan selalu mengikuti. Aku edarkan pandanganku sekali lagi. Lucu, ya. Sesuatu akan selalu lebih berharga ketika waktu untuk bersama telah usai. Meskipun sesekali aku akan kembali.

Tidak pernah kusadari sebelumnya bau khas kayu dari lemari pakaianku. Kini aromanya masuk ke penghidu. Aroma yang mungkin saja kutemukan di tempat lain, tetapi kutahu, mereka tidak sama. Ruang yang telah lama kutempati kini terasa lebih lega. Bunyi klik dari pintu pun masuk ke telinga. Aku harus bergegas. Pesawat yang akan membawaku tidak akan menunggu lebih lama.

Image: Pixabay

Senin, 23 Agustus 2021

Unrelease

To the long who I miss
To the long sentences, I never finish
To the night full of wishes
To the feeling, I never release
To the park full of red roses

You live rent-free in my mind and my heart
But you and I must be apart
This head is just like a museum of art
Full of our creation in a dark night
and in a day full of sparkling light

How to release the pain as it should be?
The pain that still haunts me freely
How could I close the only door that makes me happy?
I wish I knew how to let go of this memory
May I wish our love become endlessly?

Sabtu, 14 Agustus 2021

Sebuah Pertanyaan

Dalam berisiknya keheningan, aku selalu bertanya pada gelap, 'Apa cerita ini memang benar-benar sudah berakhir? Apa sudah harus kububuhi tanda titik di akhir kalimatnya?'. Sial. Malamku seringkali tidak tenang karena ini.

Apa masih ada lembar kosong di halaman selanjutnya? Apa masih ada kesempatan untuk menggores kata, kalimat, dan untaian paragraf lainnya? Atau jangan-jangan, memang sudah harus kututup dan simpan buku ini?

Ah, andai saja aku bisa menemukan jawabannya. Keraguan selalu menyelimuti. Ketakutan selalu menghantui. Frasa 'Kalau saja waktu itu...' terngiang-ngiang di kepala. Aku harus apa? Tak bisakah kau membantuku, malam?

Jumat, 13 Agustus 2021

Puisi Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali - Adimas Immanuel

Agak berbeda dari tulisan gue yang lainnya tentang buku. Hari ini gue mau sharing tanpa review panjang soal kumpulan puisi, prosa, dan sajak karya Adimas Immanuel. Gue mau sharing beberapa bagian dari tulisan-tulisannya yang gue suka.

Ini karya pertama Adimas Immanuel yang gue baca. Long story short, gue suka banget sama rangkaian kata yang dia buat. Beberapa kali gue tersenyum atas kalimat-kalimatnya. Dan menurut gue, setiap pembaca bisa menafsirkan banyak makna.

Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali

Rute

Mulai menganggapmu rumah
berarti menguji diri sendiri
untuk menghafal rute pulang.

Kerontang

Demi tumbuhnya debar, trauma tak kubiarkan mengakar.
Mengairi kembali jantungmu, mengairi denyut yang sita
ingatanku,
kugarit tanah-tanah lekang, retakan dosa sisa perburuan.

Jembar Latar 

Siapa tahu hari kau akan datang
membawa serta sekuntum hujan,
agar usailah kemarau panjang
dalam jiwa kerontang ini.

Pohon-Pohon Kelana

Manusia adalah pengelana di pikiran manusia lain
meski hati menegaskan ia bukan pejalan jauh yang baik.

Nanti jika habis tubuhmu dan tak ada yang bisa
dibanggakan dari buahmu, kau baru mengingatku
sebagai tangkai daun yang tetap mencintaimu.

Musim Bermukim

cepat atau lambat
gedung-gedung bertingkat
akan rubuh seperti kita
setelah kau
tak jadi fondasiku,
setelah engselku
lepas dari pilar tubuhmu.

Sebelum Malam Susut

Sebelum malam susut dari kedua alis matamu, aku tetap niatkan
menawan sejumlah peristiwa yang terus kausangkal, sebab
perjuangan harusnya menjadi sakral jika kau tak diajari berkhianat
oleh remah-remah roti yang melemahkan keteguhan perutmu.

Gelandangan

Tuhan hidup menggelandang
dalam tubuh yang dibangun
dari pesta pora. 
  • Judul Buku : Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali
  • Penulis : Adimas Immanuel
  • ISBN : 978-602-06-3503-3
  • Penerbit : Gramedia Pustaka
  • Halaman : 108
Image: Gramedia 

Sabtu, 31 Juli 2021

Perubahan dan Adaptasi


Sejak gue kecil hingga remaja dan mulai sadar akan eksistensi gue sebagai manusia, bintang atau zodiak kelahiran kerap dibicarakan. Bahkan, hingga kini gue berusia 23 tahun, perbincangan zodiak ini semakin mendalam. Kalau sebelumnya gue hanya paham 12 zodiak yang masuk ke dalam kategori sun sign, ternyata ada yang namanya moon sign dan rising sign. Apa kalian paham apa itu semua, sobat?

Meskipun enggak sepenuhnya percaya zodiak, bohong kalau gue enggak pernah membaca tentang tahun kelahiran gue beserta tetek bengeknya. Selain dengan logo banteng dan keras kepalanya, ternyata Taurus masuk ke dalam earth sign (Tahu earth sign, enggak? Ada Taurus, Virgo, dan Capricorn) yang susah menerima perubahan. Menarik. Sulit menerima perubahan bisa berarti sulit beradaptasi?

Konon katanya, seorang Taurus agak susah menerima perubahan karena sifat dasarnya adalah kestabilan. Rutinitas adalah sesuatu yang disukai Taurus. Lalu, gue pun berpikir. Kalau begini ceritanya, enggak perlu pakai tameng zodiak lagi. Beberapa manusia memang suka kestabilan, rutinitas, dan rasa familiar. Dengan begitu, akan ada rasa aman. Meski di sisi lain, terus di zona nyaman bisa bikin stuck.

The more you stay the same, the more they seem to change. Don't you think it's strange? - Put your records On, Corinne Bailey Rae

Well, meskipun enggak salah dan banyak juga perubahan yang sifatnya baik, gue pernah membaca tulisan seseorang bahwa sah-sah saja untuk hidup stabil dan enggak terus berambisi. Karena dengan terus berambisi, kita dituntut untuk selalu bergerak maju dan mengambil taktik sebaik mungkin. Pergerakan itulah yang menuntut kita untuk terus berpikir agar tidak salah dalam melangkah.

Namun, bukan perubahan semacam itu yang ingin gue bahas, tetapi perubahan kecil dalam kehidupan yang tanpa kita sadari akan membuat kita berucap "Oh, dulu kita begini, ya...", "Seru banget dulu kita di sekolah begini...", dan disertai rentetan memori yang bermain di kepala. Meskipun secara kasat mata enggak terlihat, ternyata perubahan itu ada. Enggak jarang jadi menciptakan resah.

I remember when I was in high school, Twitter became one of the most used social media by me and my friends. We were fine until the semester break came. We didn't see each other for two weeks, we never chatted again on Twitter. There's nothing wrong, people are just busy with their lives and enjoying the holidays, but then I think it's not like it used to be. Hey, why don't you guys come on Twitter? Hey?

The more things seem to change, the more they stay the same. Oh, don't you hesitate? - Put Your Records On, Corinne Bailey Rae

Sungguh, terkadang gue benci kalau sadar akan sesuatu seperti di atas. Padahal, ya, enggak muncul di Twitter juga enggak apa-apa. Orang sibuk sama hidupnya sendiri, begitu pun gue, kan? Cuma, gue yang sudah terbiasa dengan hal tersebut jadi planga-plongo sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir, ya, enggak ada masalah. Bahkan ini bukan masalah. Cuma, rasanya di hati, tuh, enggak enak. Rungsing.

Sama halnya dengan dua tahun belakangan ini. Meskipun perubahan selalu ada dan enggak pernah bisa dihindari banyak-banyak, dua tahun ini perubahan yang terjadi cukup drastis. Rasanya semua orang dituntut untuk menjadi benda cair yang selalu siap mengikuti bentuk wadah yang menampungnya. Nyatanya, manusia bukanlah air dan banyak orang yang butuh waktu untuk paham, lalu beradaptasi.

Semenjak selesai kuliah dan balik ke Jakarta, beberapa agenda yang akan gue lakukan adalah bertemu tatap muka dengan teman, hangout ke kafe dan mall sesering mungkin, dan ke tempat-tempat seru di Jakarta. Biasalah, angan-angan manusia yang baru beranjak dewasa dan punya penghasilan. Having fun with friends. Sialnya, angan-angan itu harus gue simpan entah sampai kapan sejak Februari 2020. 

The more things change, the more they stay the same. The same sunrise, it's just another day. - The More Things Change, Bon Jovi

Setelah bekerja dan harus di rumah selama pandemi, tentu ada beberapa hal yang membuat gue harus ke kantor. Laptop enggak bisa di-charge contohnya. Gue, si extrovert ini harusnya senang karena akhirnya keluar rumah dan bertemu dengan beberapa orang di kantor nantinya. Sialnya, bukan senang yang gue rasa, tetapi rasa aneh yang menyelimuti. Entah alasannya apa juga gue enggak bisa paham.

Apa karena gue kelamaan di rumah? Apa karena gue sudah terbiasa di ruang kotak berukuran 3 x 3 meter ini? Harusnya bertemu orang menjadi sesuatu yang menyenangkan. Harusnya keluar rumah dan melihat jalanan itu sesuatu yang membuat gue semangat. Harusnya. Duh, ini yang dibilang dengan mixed feeling kali, ya? Soal keluar rumah dan terbiasa di rumah jadi bikin gue linglung sendiri.

Di luar soal perkantoran dan jalanan ini, ternyata gue yang-self-claimed susah menerima perubahan ini sepertinya hanya takut. Takut sama sesuatu yang baru dan enggak familiar. Takut kalau nanti akan ada masalah baru dan enggak bisa menghadapi masalah yang akan menerpa. Takut kalau hal baru enggak sesuai sama ekspektasi di kepala dan perkiraan. Padahal, perubahan juga banyak yang baiknya.
Things change. Stuff happens. Life goes on. - Elizabeth Scott

Jadi ingat perkataan Jay B baru-baru ini. Dia merasa jauh lebih merasakan kebebasan dari sebelumnya. Merasa dia adalah dirinya yang sesungguhnya. Cuma, karena dia salah satu member grup yang memang terbiasa promosi ramai-ramai, hal itu cenderung membuat Jay B merasa sendirian kalau lagi aktivitas solo. Duh, bapak leader, semoga perubahan ini bawa banyak kebaikan dan kebahagiaan, ya!

Mungkin ini juga yang membuat seseorang susah move on? Karena memulai hubungan yang baru itu seperti beranjak dari tempat yang sudah familiar ke tempat yang asing. Apalagi kalau kata Katy Perry di Thinking of You, sih, comparisons are easily done once you've had a taste of perfection, takut kalau yang baru enggak sebaik yang lama. Lanjutan dari Katy Perry juga how do I get better once I've had the best?

Betapa random-nya gue. Mulai dari zodiak hingga move on gue bahas. Bicara soal perubahan, semoga kita bisa menjadi bunglon yang selalu bisa beradaptasi di banyak keadaan. Semoga teka-teki dan puzzle dalam hidup terjawab dan menemukan tempat yang tepat. Semua perubahan personally dan profesionally memberikan banyak pengaruh baik. Rasa cemas dan takutnya dibayar dengan rasa senang.

Image: Pixabay

Minggu, 18 Juli 2021

Review Film The Intern: Pelajaran Berharga Dari Anak Magang

Review Film The Intern

Better late than never. Akhirnya gue menonton film The Intern yang tayang pada 2015 alias enam tahun lalu. Gue sudah melihat poster film ini sejak lama, tetapi gue masih belum berniat untuk menontonnya. Hal yang membuat gue memilih film ini di Netflix adalah cuitan salah satu following gue yang bilang bahwa film ini wajib untuk ditonton. So here I am! Btw, there's a little spoiler.

Sebelum itu, gue ingin memuji seorang Robert De Niro yang semakin tua malah semakin karismatik (I wrote it like I grew up in the same year as him, didn't I?). Begitu pun dengan Anna Hathaway yang ageing like a fine wine alias semakin tua semakin menawan. Wajahnya pun tidak berubah sejak pertama kali gue sadar tentangnya di film The Devil Wears Prada yang tayang pada 2006.

Review Film The Intern

The Intern adalah film bergenre drama-komedi yang ditulis dan diproduseri oleh Nancy Meyers. Film ini mengisahkan seorang laki-laki tua berusia 70 tahun yang telah pensiun, Ben Whittaker (Robert De Niro). Dirinya melakukan magang di sebuah start-up yang bergerak di bidang fashion, About The Fit. Ben pun harus berhadapan dengan sang CEO, Jules Ostin (Anna Hathaway).

Entah gue yang kurang informasi atau memang magang untuk orang tua yang sudah pensiun ini ada di dunia nyata? Sebagai spesialis intern alias gue menghabiskan waktu hampir satu tahun dengan magang di lebih dari satu tempat, I found it funny karena bagaimana start-up identik dengan muda-mudi yang berada di waktu produktif, tetapi The Intern malah menyajikan sebaliknya.
A gentleman carries a handkerchief, not for himself, but in case a lady needs one. - Ben, The Intern
Long story short, kisah ini berawal ketika Ben yang sedang berjalan santai dan menemukan iklan lowongan magang. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Ben pun membuat video perkenalan diri yang merupakan salah satu syaratnya. Sebelumnya Ben bekerja di perusahaan percetakan buku telepon. Dirinya pun berpengalaman di bagian penjualan dan pemasaran.

Sumpah, kalau menurut gue, penonton bisa mendapatkan pelajaran berharga dari bagaimana Ben membuat video perkenalan diri dan menjawab interview. Bagaimana Ben secara lugas paham dan percaya diri atas pengalamannya selama bekerja. Di sisi lain, dengan setting yang disajikan, kita bisa tahu bahwa Ben adalah seseorang yang baik, teratur, disiplin, dan pekerja keras.
Hi, Jules. I'm Ben, your new intern. - Ben, The Intern
Sebagai CEO, Jules terkenal dengan karakter yang cepat, strict, dan detail. Gue pengin bilang kalau Jules ini termasuk orang yang micromanaging. She knows what she want, she knows how to do that and this, and she wants everything in its place. Gue mengagumi banyak bagian dari Jules. Btw, Jules dan suaminya bertukar peran sehingga suaminya menjadi seorang househusband.

Menjadi satu di antara lima anak intern, Ben mendapat tugas untuk menjadi asisten pribadi Jules yang sejak awal secara vokal bilang bahwa dirinya tidak membutuhkan banyak bantuan Ben. Namanya juga hidup. Apa yang kita tanam, itu yang kita tuai. Ternyata hubungan mereka semakin dekat dan Ben banyak membantu persoalan hidup Jules mulai dari bisnis hingga keluarganya.
It's 2015, are we really still critical of working moms? - Jules, The Intern
Overall, The Intern mempunya jalan cerita yang simple tanpa klimaks. Namun, karena apiknya para pemain, narasi yang dibawa, dan pesan-pesan yang disampaikan secara tersirat, membuat film ini menjadi perpaduan yang pas. Ibarat kue, semua takaran bahannya sempurna. Ada sedikit feminisme di film ini yang bisa dipelajari dan membawa pemahaman baru untuk masyrakat modern.

Bagaimana peran suami dan istri bisa ditukar, seperti yang dilakukan Jules dan Matt (Andres Holm). Jules bekerja, sedangkan Matt di rumah mengurus anak dan rumah. Ada bagian yang gue suka dari part ini bagaimana Matt mendukung Jules secara penuh untuk menggapai mimpinya menjalankan bisnis About The Fit. Gue suka bagaimana film ini menyampaikan kalau hal tersebut sah-sah saja.
Love and work, work and love, that's all there is. - Jules, The Intern
Berhubung gue tumbuh dengan film dari novel Nicholas Sparks dengan kisah cintanya yang beragam, entah kenapa gue bisa menebak bahwa film semacam ini akan ada masalah keluarga yang ketebak. Jujur, banyak orang yang pasti relate banget dengan Jules. Kalian tahu kalau pasangan selingkuh dan bingung untuk mengambil langkah. Lalu, pura-pura bahwa semua baik-baik saja. Ngaku!

Berawal dari masalah yang Jules hadapi di kantornya, para investor menyarankan About The Fit untuk mencari Co-CEO dari luar untuk memantau perkembangan About The Fit yang dirasa terlalu cepat. Investor takut bahwa About The Fit akan kehilangan ide. Tentu hal ini membuat Jules sedih, tetapi mau tidak mau Jules pun bertemu dengan para kandidat yang akan bekerja dengannya.
"You should feel nothing but great about what you've done, and I'd hate to see you let anyone take that away from you." - Ben, The Intern
Kandidat terakhir membawa Jules dan Ben ke San Fransisco untuk menemuinya. Long story short, di sebuah kamar hotel di San Fransico, Jules mengatakan kepada Ben bahwa dirinya tahu jika suaminya selingkuh dengan seseorang. Gue suka banget dengan karakter Ben di sini. Memberikan nasihat dengan tepat, tetapi tetap berusaha untuk berada pada tempatnya. Porsinya pas, tidak berlebihan.

Kalian harus menonton film ini dan pahamilah baik-baik percakapan di sini. Mari kita menangis, tersenyum, lalu menangis lagi bersama. Kekhawatiran Jules tentang masa depannya atas opsi keputusan yang ada. Bagaimana Ben secara tegas menjadi pendengar dan lawan bicara yang baik. Oh my god, I really love this part. Rasanya, orang seperti Ben ini wajib ada dalam hidup kita, deh!
You never wrong for doing the right thing... but I'm sure Mark Twain said that one before. - Ben, The Intern

As we know kalau film ini bergenre drama-komedi, kisah cinta yang disajikan di film ini bukan hanya milik Jules. Ben pun menemukan seseorang yang mengetuk hatinya. Drama kecil-kecilan dalam kehidupan Ben yang sudah berumur ini cukup menggelitik. Rasanya gue ikut malu-malu sendiri karena how can you, the elderly, flirt and be jealous like you guys are teenagers? It's cute, tbh!

Sisanya, silakan enjoy The Intern sambil mengisi waktu luang dengan menyesap kopi atau teh. Ini adalah film yang ringan, manis, dan menawan. Film yang berkisah tentang gap dalam bisnis antara generasi lama dan baru, tentang pengalaman yang tidak pernah usang, tentang jatuh cinta, tentang patah hati, dan tentang memaafkan. I, one hundred percent, really recommend this movie!

Image: imdb

Selasa, 25 Mei 2021

Review Novel Some Kind of Wonderful - Winna Efendi

Review Novel Some Kind of Wonderful

Gue itu selalu bingung mau menulis apa di kalimat pembuka. Jadi, ya, ini buku kedua yang akan gue review, Some Kind of Wonderful - Winna Efendi. Ini buku kedua Winna Efendi yang gue baca. Buku pertama yang gue baca adalah Someday, berkisah tentang keluarga, persahabatan, mimpi, dan cinta saat remaja. Gue pun sedang melanjutkan Scars and Other Beautiful Things miliknya.

Some Kind of Wonderful ini sebenarnya juga bercerita tentang hal-hal yang gue sebutkan di atas. Hanya saja, dengan genre metropop, permasalahan yang dihadapi lebih berat dan kompleks. Sudah sejak awal SMA gue tahu nama Winna Efendi, tetapi baru dua novelnya yang gue selesaikan. Gue pengin bilang kalau I love the way she writes. Meski bertema sama, vibes-nya jauh berbeda.

Review Novel Some Kind of Wonderful

Novel ini mengisahkan tentang William Sutjiawan atau Liam Kendrick dan Rory Nicholson yang terjebak dalam kehampaan dan kehilangan dalam hidupnya. Kalau Liam melarikan diri dari cinta pertamanya, Rory kehilangan dua anggota keluarga kecilnya.

Berhenti kuliah dan pindah ke Sydney, tempat kelahirannya, menjadi salah satu keputusan besar Liam. Selain mengejar mimpi menjadi seorang koki yang handal, dirinya juga ingin menghindari cinta pertamanya yang memilih adik tirinya sebagai pendamping hidup.

Meskipun jalannya tak mudah, akhrinya Liam berhasil menjadi seorang Celebrity Chef yang namanya dikenal luas oleh masyarakat. Alih-alih menikmati hidup dengan bahagia, ternyata kehampaan dan bayang-bayang dari cinta pertamanya, Wendy tetap menghantui.
Dia adalah orang pertama yang ingin kuberitahu untuk setiap kabar buruk, setiap kabar baik, and everything in between. I wonder if she misses me the way I miss her. - Halaman 68
Aurora Handitama alias Rory Nicholson, perempuan asal Bandung yang menempuh pendidikan musik di Australia. Memilih menetap di Australia dan menikah dengan Jay Nicholson, temannya semasa kuliah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Ruben Nicholson.

Memilih bidang musik dan menetap di Sydney membuat hidup Rory berpusat pada Jay dan Ruben. Namun, kejadian mengerikan merenggut nyawa Jay dan Ruben. Hidup Rory pun menjadi kelam. Kekosongan, kesepian, dan rasa bersalah pun menggerogoti perasaannya.
Bahkan dalam keramaian yang tak pernah surut, aku merasa jauh lebih kesepian daripada saat aku sendirian. And when you're lonely, you especially miss the people you no longer have. - Halaman 70
Mengambil sudut pandang Liam dan Rory, gue suka bagaimana Winna Efendi mengisi kekosongan di setiap sisi. Kalau buat gue, isi pikiran dan percakapan dalam novel ini tersalurkan dengan baik kepada pembaca. Gue dapat merasakan emosi, jengkel, hingga kehampaan sang karakter.

Berbicara soal keluarga, menurut gue isi novel Some Kind of Wonderful ini cukup related. Apa itu mimpi? Apa itu keinginan? Pilih jurusan kuliah yang lapangan pekerjaannya terbuka luas. Apalah musik dan masak-masakan itu kalau tidak punya fondasi yang sangat kokoh?

Memang, ya, seringkali mimpi dan realita tidak berjalan seiringan. Seringkali kita dihadapkan pada pilihan yang sulit, tetapi harus cepat-cepat memberi keputusan. Berat. Apa ada di antara kalian yang sanasib dengan Liam dan Rory? Semangat, semoga tetap kuat dan bahagia!

Ada poin lainnya tentang keluarga yang bisa gue ambil dan sangat umum terjadi. Sudahlah love language berbeda, terkadang orang tua gengsi atau bingung menunjukkan kasih sayang dan kepeduliannya. Jadilah sang anak yang merasa tidak diperhatikan dan disayang. Vice versa.
Bunda yang dulunya hobi bikin album beginian, lalu diteruskan oleh ayah. Selama bertahun-tahun, beliau mengumpulkan berbagai berita mengenaimu, dan meminta asistennya merekam acaramu supaya bisa ditonton setiap minggu. - Halaman 271
Tentang perasaan, cinta itu hebat banget, ya? Seseorang bisa pergi begitu jauh dan ingin menemukan sesuatu ketika dia sendiri tidak tahu sedang mencari apa. Tentang kehilangan, ternyata duka yang begitu dalam bisa membuat hidup seseorang berantakan dan diam di tempat.

Begitu bertemu, kisah Liam dan Rory pun tidak mudah. Namanya juga perasaan. Akan selalu menjadi pertanyaan. Apa gue benar-benar jatuh cinta? Atau dia hanya menjadi sosok pengganti? Gue belajar tentang dua pertanyaan itu dari novel ini. Jawabannya satu: jujur dengan diri sendiri.

Ada karakter-karakter lainnya yang berperan dalam kisah mereka. Noah, Angelo, dan Daphne. Terkadang, kita bingung menghadapi seseorang yang sedang buta arah dan merasa kehilangan, kan? Winna Efendi menciptakan perasaan bingung tersebut dengan baik melalui karakter-karakternya.
I need a sense of normalcy, bukan segala sesuatu yang mengingatkan akan hari itu. Aku ingin mereka berhenti memberiku perlakuan istimewa, atau menatapku dengan iba sekaligus simpati. - Halaman 119 & 120
Btw, kalau kalian suka dengan masak-masakan pasti kalian akan fokus dengan makanan-makanan yang dimasak oleh Liam. Atau ketika Liam dan Rory melakukan tantangan makanan. Karena gue lebih suka musik, asli, lagu-lagu yang disebutkan di novel ini enak semua. Please, listen to all of them!

Novel ini, tuh, bisa menjadi pengingat untuk kita yang pernah kehilangan dan buta arah. Pengingat kalau keluarga itu tidak hanya yang sedarah. Seperti yang dilakukan Julie dan Stan. Pengingat kalau harus jujur dengan perasaan sendiri. Dan kalau punya rasa sama seseorang, sebisa mungkin ungkapkanlah.

Di sisi lain, gue sebenarnya berharap ada sedikit lanjutan bagaimana hubungan Liam dan Rory dengan keluarga di Indonesia setelah mereka berdamai dengan masa lalu. Menurut gue akan lebih epik kalau bagian keluarga sedikit ditambahkan agar cerita mereka benar-benar selesai dan lapang.
  • Judul Buku : Some Kind of Wonderful
  • Penulis : Winna Efendi
  • ISBN : 978-602-03-3555-1
  • Penerbit : Gramedia
  • Halaman : 360
Image: goodreads

Minggu, 16 Mei 2021

Review Novel Jakarta Sebelum Pagi - Ziggy Z.

Review Novel Jakarta Sebelum Pagi

Akhirnya, gue memberanikan diri untuk mereview buku yang gue baca. Semoga tidak spoiler karena ini pertama kalinya. Long story short, baca Jakarta Sebelum Pagi itu disebabkan oleh salah satu penulis Alternative Universe favorit gue di Twitter. (Kalau kalian mau tahu tulisan-tulisannya, just ask me freely).

Biasanya, gue menganggap tulisan itu cantik ketika sang penulis memilih diksi yang tidak biasa. Buat gue, narasi yang dibuat penulis AU favorit gue ini sangat menarik. Bagaimana dia membangun narasi dengan diksi yang sederhana, tetapi kalimatnya menjadi sangat cantik.

Suatu hari, penulis AU favorit gue ini menjawab pertanyaan tentang buku apa yang paling paling berkesan untuknya. Salah satu jawabannya adalah Jakarta Sebelum Pagi karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. (Setelah selesai membaca, akhirnya rasa penasaran gue terjawab).

Karena gue menganggap penulisan seseorang itu juga terpengaruh dari buku yang dibaca, maka dari itu, pun selagi gue sedang langganan Gramedia Digital, akhirnya gue pilih Jakarta Sebelum Pagi untuk gue baca dan lihat keunikannya.

Review Novel Jakarta Sebelum Pagi

Jadi, novel Jakarta Sebelum Pagi ini menceritakan tokoh bernama Emina yang terobsesi dengan babi setelah membaca Animal Farm. Hampir semua orang dalam hidupnya ia ibaratkan dengan babi. Cerita di mulai setelah dirinya mendapat kiriman balon, bunga, beserta surat setiap hari di balkon apartemennya.

Nissa, sang sahabat yang-tentunya-jauh-lebih-waras menyuruh Emina untuk berhati-hati dengan si stalker. Namun, Emina dengan rasa penasarannya, malah ingin tahu siapa stalker-nya itu. Rasa penasarannya membawa Emina ke sebuah toko bunga dan bertemu dengan Suki, bocah 12 tahun yang sangat dewasa.

Tapi, Suki, sebagai anak kecil, kamu .... benar-benar nggak berpikir seperti anak kecil. Yakin, kamu bukan Benjamin Button betina? - Halaman 163

Pertemuan dengan Suki membawa Emina bertemu dengan Abel, pemuda yang memiliki fobia sentuhan dan suara karena sebuah kejadian di masa lalu. Ternyata, Abel dan Suki ini berhubungan dengan Pak Meneer, tetangga Rumah Para Jompo yang terdiri dari Nenek, Datuk, dan Nin (adik Datuk)-nya Emina.

Surat-surat yang diterima Emina dari sang stalker berisi curahan hati beserta kenangan si penulis surat di Jakarta saat masa lampau. Hubungan Emina dan Abel yang kian mendekat, membuat mereka mendatangi tempat-tempat yang disebutkan pada surat-surat tersebut. Ternyata bukan sekadar surat dan kenangan, surat-surat tersebut mengungkapkan berbagai rahasia; siapa penulis, penerima, dan cerita di baliknya.

Planetarium tempat saya pertama kali mengecup keningmu kini adalah gedung tua yang sudah terlupakan. Tempat-tempat yang dulu kita cintai telah berubah, ditinggalkan, atau semakin dicintai. - Halaman 185

Btw, waktu pertama kali gue baca judul Jakarta Sebelum Pagi, bayangan gue adalah novel tentang kejahatan atau hal-hal aneh yang terjadi di Jakarta ketika waktu subuh. Tenyata, ya, tidak sepenuhnya salah. Karena karakter Abel yang fobia sentuhan dan suara itu membuat dia dan Emina melakukan eksekusi pada dini hari untuk menghindari keramaian dan kebisingan. Jadi, ya, gue paham sekarang.

Gue suka bagaimana sang penulis membangun suasana serta karakter melalui percakapan setiap tokohnya. Seperti si tokoh utama, Emina yang absurd dan to the point dan Nissa dengan otaknya yang waras dan normal seperti kebanyakan orang pada umumnya. Menurut gue, dua karakter ini sangat melengkapi dan ada di dunia nyata.

Jangan cari stalker lo, oke? Promise me, you won't do anything stupid. There's no space for stupid in Jakarta - Halaman 8 & 9

Novel yang berlatar di Jakarta ini juga membuat gue berpikir kalau karakter Suki relate dengan kehidupan. Bagaimana seorang anak dituntut menjadi dewasa sebelum waktunya. Meskipun menghadapi berbagai keadaan dan kondisi yang berbeda. Pun dengan Abel, seseorang yang mengungkapkan perasaannya dengan cara yang bikin geleng-geleng kepala.

Kalau menurut gue, novel ini bukan hanya soal romantisisme dan keabsurdan tentang babi yang bikin gue tertawa setiap membacanya, tetapi ada banyak nilai-nilai yang secara implisit bisa pembaca dapatkan. Mulai dari persoalan keluarga, perasaan yang rumit, menerima seseorang beserta konsekuensinya, belajar melepaskan, dan berdamai dengan masa lalu. Gue takjub, sih, dengan novel ini!

Luka dari masa kecil itu lebih sulit disembuhkan daripada yang kamu dapatkan setelah dewasa. - Halaman 200

Untuk penulisannya, novel ini cukup ringan dan berat bersamaan. Sang penulis sesekali menggunakan pengandaian untuk menggambarkan sesuatu. Gue pun beberapa kali membaca ulang sebuah kalimat agar lebih paham. Btw, novel ini juga membahas tentang teh beserta upacaranya. Ada upacara minum teh di Jepang dan Inggris. Asli. Bagian ini bikin gue penasaran dan bolak-balik ke mesin pencarian untuk mencari info lebih dalam.

Novel Jakarta Sebelum Pagi menjadi karya fiksi terbaik Indonesia 2016 versi majalah Rolling Stone. Kalau kalian suka dengan novel bergenre romantis, komedi, dan misteri, gue sangat menyarankan kalian untuk membaca novel ini. Gue yakin novel ini akan bikin kalian tertawa dan takjub dengan plot yang cukup bikin melongo. Jadi, ya, novel ini sangat worth to read, I guess.

  • Judul Buku : Jakarta Sebelum Pagi
  • Penulis Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
  • ISBN : 978-602-375-844-9
  • Penerbit : Grasindo
  • Halaman : 270

Selasa, 11 Mei 2021

Menjadi Egois di Waktu-waktu Tertentu

Aku, sedikit percaya bahwa kita hanya mengingat hal atau kejadian yang paling baik atau buruk dalam hidup. Kita tidak pernah benar-benar mengingat hal biasa saja yang ketika kita coba ingat, otak harus bekerja lebih keras. Bahkan, kita cenderung mengingat hal paling buruk.

Ketika mendapatkan hal baik, kita hanya mengingatnya untuk beberapa waktu. Coba kalau kutanya, apa hal yang paling menyakitkan dalam hidup yang kamu ingat sampai saat ini? Aku yakin, detik ini juga, memori kita semua melesat dengan cepat ke kejadian tersebut.

Lalu, tanpa aba-aba, amarah, sedih, bahkan sesak menghampiri di relung hati. Tak apa, kita semua pernah melalui hal-hal buruk. Aku paham juga rasanya. Cuma, bukan kenangan baik atau buruk yang menjadi poinku. Namun, cara kita bersikap setelahnya.

Banyak orang jadi selalu berusaha menyenangkan orang lain karena tahu rasanya dilupakan. Lama-kelamaan, mereka tenggelam dalam pusaran yang tidak keruan. Tak jarang, banyak orang ini hilang kendali atas diri sendiri dan enggan berkata tidak; selalu menyenangkan orang lain.

Aku, geregetan. Mungkin ada yang salah juga dengan cara otakku bekerja. Entah. Rasanya, ingin kutempeleng sedikit dan kucegat. Lalu, kubisikkan keras-keras, "Kamu tidak akan pernah bisa menyenangkan hati semua orang atau kamu yang akan kehilangan dirimu sendiri".

Bukankah sedihnya menjadi berlipat? Sudah selalu ingat bagaimana rasanya dilupakan, lalu harus kehilangan diri sendiri karena terlalu dalam berada di pusaran yang tak keruan.

Menurutku, orang-orang yang lupa untuk memilih dirinya sendiri itu semacam senar gitar yang sudah kencang, tetapi dryer-nya terus diputar untuk mencapai nada tertinggi. Akan putus dan tergantikan. Haduh, bukannya ini tambah sedih?

Sudah selalu berusaha yang terbaik, tetapi saat sudah di ambang batas dan lupa berhenti, ujung-ujungnya tergantikan lagi. Kita tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Jangan sampai kehilangan satu-satunya yang kita punya; diri sendiri.

Aku tahu, tidak ada salahnya untuk selalu berbuat baik dan mencoba menyenangkan hati semua orang. Cuma, apa gunanya kalau kita kehilangan diri sendiri dan dimanfaatkan tanpa henti? Memang, sakit. Bahkan kita harus hidup dengan kenangan buruk tersebut.

Ditinggalkan, dilupakan, dan diabaikan itu selalu menyakitkan. Hanya saja, perasaan orang lain pun bukan tanggung jawab kita. Bagaimana kalau sekarang kita berjanji untuk memilih diri sendiri dan membantu semampunya? Karena menjadi egois di waktu-waktu tertentu sangat dibolehkan.

Rabu, 05 Mei 2021

Something Better to Sleep

"I haven't discussed this with anyone because I don't really know how to start. All I know is that I feel weird these past few days."

Kalimat di atas adalah gambaran yang terjadi dengan diri gue saat ini. Entah kenapa gue merasa ada sesuatu yang salah ketika gue sendiri tidak tahu apa yang sedang salah. Rasanya ingin memperbaiki sesuatu yang rusak padahal gue pun tidak tahu apa yang rusak. Bingung? Ya, itu yang gue rasakan sekarang.

Gue takut apa yang sudah gue usahakan beberapa tahun belakangan itu menjadi berantakan. Padahal selama ini gue mencoba untuk menjaganya untuk stay in place. Gue pikir semua akan baik-baik saja, tetapi ternyata bermain dengan perasaan itu tidak mudah. Banyak godaannya. Banyak pertimbangannya. Banyak konsekuensinya.

Sialnya lagi, ketika akal sehat sudah mengambil perannya, perasaan tersebut seringkali terasa salah. Apalagi kalau harus memilih kedamaian atau melakukan yang seharusnya. Semua tambah runyam ketika hal yang seharusnya itu mengganggu kedamaian yang sudah ada. Kedamaian yang sudah lama dibangun dan ternyata banyak janggalnya.

Memang, ya, habit dies hard. Apalagi kalau keadaan mendukung untuk terus melakukan kebiasaan tersebut. Sayangnya, tidak semua kebiasaan itu baik dan tidak semua orang bisa memaklumi. Gue pun khawatir, dia yang sudah lama tertidur, ternyata terusik. Lalu meneriaki gue kalau terus menjaga sesuatu untuk selalu di tempatnya bisa menjadi bom waktu.

Dengan terusiknya dia dari tidur panjangnya, gue takut dia benar-benar bangun dan ikut mengambil peran. Lalu memporak-porandakan semua yang sudah gue usahakan. Gue tambah takut kalau hal yang berantakan ini tidak bisa diperbaiki lagi atau meskipun bisa, tidak akan pernah sama. Skenario terburuk pun menari-nari seenaknya di kepala.

It takes two to tango. Pura-pura semuanya baik-baik saja, gue yang gelisah. Mencoba mengubah suatu kebiasaan, risiko berantakannya besar. Gue cuma berharap, apa-apa yang entah apa namanya ini cepat berlalu. Agar si dia tidak perlu bangun dan ikut mengambil peran. Rasanya pun gue tidak pernah siap menghadapi kerunyaman.

Minggu, 18 April 2021

What Could Have Been Love - Aerosmith


Aku, tuh, lagi bingung. Bingung harus memulai cerita darimana. Rasanya itu penuh, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus mengeluarkannya. Kalau aku bilang tidak aku coba keluarkan, aku bohong. Pasalnya sudah kucoba keluarkan pelan-pelan ke setiap tempat berbeda yang aku punya, tetapi rasanya masih sama saja. Mirip gerimis yang disertai angin dan bertemu atap rumah, riuh.

Rasanya, tidak semua tempat itu bisa memahami arti penuh yang sedang aku rasakan. Bukan, bukan salah tempat itu. Memang bukan tempat yang tepat saja. Maksudku, sebelumnya sudah ada tempat khusus, hanya saja, aku yang memutuskan untuk menutup dan menguncinya. Kuncinya pun ada, hanya saja aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membukanya, bahkan aku ragu tempat itu mau terbuka lagi.

Tahu apa yang menambah rasa penuh ini? Ketika aku sedang membuka Twitter, salah satu following-ku membahas sebuah lagu dari band yang akhir-akhir ini aku dengarkan. Aerosmith. Namanya juga lagi tertarik banget, langsung kubuka Spotify dan kuputar lagu yang dibahas following-ku tersebut. Tak lama, lagu Aerosmith yang sebelumnya aku tidak pernah dengar juga, mengudara tanpa aba-aba.

Nada yang mengalun pelan, lirik yang terucap jelas, aku coba memahami dengan baik apa yang Steven Tyler dan kawan-kawannya bawakan. Lalu, perasaan itu tiba-tiba muncul. Kalian pasti pernah mendengarkan lagu yang sangat menggambarkan perasaan runyam kalian, kan? Itu perasaan yang aku maksud. Sedih, sunyi, lalu bingung. Setelah itu, aku terhanyut dalam kehampaan yang semakin terasa karena lagu tersebut.

Itu yang baru saja terjadi padaku saat mendengarkan What Could Have Been Love - Aerosmith. Kuputar lagu ini berkali-kali untuk menemani diri ini mengetikkan beberapa kalimat. Aku putuskan untuk mengeluarkan seluruh kepenuhan yang sedang aku rasakan. For your information, the power of kepenuhan, aku pun memutuskan menggunakan tempat terakhir ini untuk meluapkan segalanya.

Mungkin, aku yang memang belum terbiasa. Memang perubahan meninggalkan rasa tidak nyaman, kan? Sialnya, aku ini bodoh dan susah beradaptasi dengan hal baru. Terbiasa melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun, lalu memutuskan berubah, aku kelimpungan sendiri. Rasanya seperti anak yang kehilangan orang tua saat sedang diajak pergi ke suatu tempat. Kebingungan.

Seperti kata Steven Tyler 'and now that I'm all alone, all I have is emptiness that comes from being free'. Rasanya mirip sekali. Aku merasa kosong dan sendirian di keadaan yang aku pilih sendiri. Akhir-akhir ini pun aku mempertanyakan hal yang sudah aku lakukan. Apakah aku salah? Apakah ini tepat? Padahal rasanya aku sudah pikir matang untuk semuanya. Mengingat aku benci sekali perubahan.

Mungkin, ya. Ini perkiraan aku saja. Untuk menghilangkan penuh yang mirip gerimis dengan angin ini, aku harus menemukan tempat yang tepat. Agar penuh ini tersalurkan dan dipahami dengan baik. Ingin sekali kubuka tempat yang kututup dan kunci rapat itu. Pertanyaannya, apakah aku benar-benar siap untuk membuka tempat itu? Paling penting juga, apakah tempat itu mau jika aku buka kembali?

Image: Pixabay

Selasa, 13 April 2021

Loveable and Adorable Person

Sebenarnya gue tidak tahu harus mulai dari mana untuk cerita ini karena alasan terbesarnya itu hanya gue dengan pikiran gue yang tidak mau diam. Mungkin juga karena gue jarang melihat ini sehingga menjadi memorable moments.

Ya, harus gue akui tidak ada manusia yang sempurna. Cuma, karena momen tersebut gue jadi berpikir kembali bahwa benar manusia tidak ada yang sempurna, tetapi ada sebagian kecil manusia yang sangat lovable dan adorable. Setiap hal yang mereka lakukan itu menyenangkan hawanya.

Yes, loveable and adorable. These words I choose to describe this memorable moment. 

Begini, sebagai orang yang sering mempertanyakan dan meragukan banyak hal sebagai pertahanan diri, gue sangat tersanjung.

Wow, this person really showed love and sparked joy to everyone around her. How can you do it without hesitation? What did you do in the past to get this much love? But I know you really deserve it. 

Gue bertanya hal itu di dalam hati.

Namun, setelah berpikir panjang dan mengingat rentetan kejadian beberapa waktu lalu, mungkin ini yang dinamakan apa yang ditabur, itulah yang dituai. Banyak cinta, perhatian, kasih sayang, dan usaha yang dilakukan orang ini.

Atau sebenarnya orang-orang ini hanya ini memberikan yang terbaik, ya? Terlepas kecewa yang sebenarnya selalu mengikuti. Tidak ragu untuk menunjukkan kasih sayang sepenuhnya ketika banyak orang enggan melakukannya? Sehingga dibayar dengan banyak cinta dari orang sekelilingnya?

Di sisi lain kejadian ini, gue menyadari suatu hal. Memang akan menyenangkan apabila bertemu seseorang dengan love language yang sama. Ini bukan hanya soal romantisme, tetapi semua hubungan. The spark is real and we will know what true love is.

Meskipun suatu hubungan itu pada hakikatnya milik orang yang menjalankan, ya. Jangan repot-repot untuk peduli apa kata orang. Even if you have a different love language with your partner and relatives, if you stick to it well, it will work.

Minggu, 21 Maret 2021

#2 Kedai Kopi dan Memori


Aku mengagumi sosok itu. Si pekerja keras tak kenal gengsi yang pandai bersosialisasi. Lelaki dengan banyak mimpi yang selalu paham bagaimana mengatasi banyak situasi.

Mengingat hari saat aku dan dirinya sibuk bertukar pesan untuk berbagi kisah. Mengeluh hal-hal tak penting hingga ide konyolnya yang mengundang tawa. Tak jarang kantuk kutahan agar tetap mendengar suaranya.

Mengingat hari saat aku tak kuasa menganggukkan kepala saat dirinya bertanya apakah aku bersedia untuk menjadi kekasihnya saat di bangku kuliah.

***

"Kita ke pergi ke sini, yuk!"
"Tiba-tiba?"
"Besok jam 7 pagi gue jemput, ya!"
"Dasar gila!"

Begitulah kira-kira percakapan di Sabtu malam sebelum memejamkan mata. Kukatakan dirinya gila sedang kubereskan beberapa perlengkapan di pagi buta untuk perjalanan yang tiba-tiba. Diklaksokan mobil tanda ia sudah tiba. Kuturuni anak tangga dengan langkah besar dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Ia pasang senyuman sambil menyalipkan rambutku ke belakang telinga.

"Berapa lama perjalanannya?"
"Dua sampai tiga jam, mungkin?"
"Oke. Refreshing setelah ujian."
"Let's go?"
"Let's go!"

Perjalanan tiba-tiba ini menjadi ajang karaoke dadakan. Puluhan lagu dilantunkan dan dengarkan. Sambil sesekali ia daratkan kecupan di punggung tanganku saat dalam genggaman. Kuhabiskan waktu bersamanya di antah berantah. Sebuah tempat yang masih belum terjamah. Berendam dan berenang sesuka hati dalam kolam seakan-akan di rumah.

***

Mengingat hari menyenangkan saat tawa tiada habisnya. Mengeluhkan betapa aneh tingkah laku hewan peliharaannya. Kumerindukan sosok yang telah menemaniku tiga tahun lamanya. Kini hanya satu atau dua kalimat yang tertukar. Beberapa ucapan menyambut pagi atau menutup malam. Sesekali membahas siang dengan sukar.

***

Kulangkahkan kaki menuju teman-temanku yang lebih dulu sampai. Melepas rindu yang tertahan karena semua sibuk dengan tugas yang tak kunjung usai. Membahas apapun hingga berandai-andai. Semua membahagiakan sampai pertanyaan itu tiba. Bagai dilempar batu tepat di dada.

"Iya, kedai kopi itu enak, sih. Cuma masih ramai. Ya, kan? Kemarin malam dia ke sana, tuh, sama pacarnya."

Tertegun saat sadar bahwa akulah yang menjadi topik pembicaraan saat tangan temanku menyolek lengan yang kusandarkan di meja. Kulemparkan senyum sebagai jawaban, persetujuan, juga kebingungan.

Tersadar akan kenyataan tentang sebuah dusta lelaki kemarin malam yang membawa kabar bahwa dirinya masih di luar kota.

Rabu, 17 Maret 2021

Angin dan Harapan

Begini, rasanya itu seperti harus keluar rumah dan berjalan di jalan yang penuh sampah dan duri. Belum juga melangkahkan kaki, rasanya sudah lelah.

Padahal, saya juga tidak sendiri. Banyak manusia yang harus menempuh perjalanan yang lebih buruk dari ini. Meskipun begitu, saya tetap boleh mengeluh, 'kan?

Saya harus berjalan sekaligus membersihkan pun berhati-hati. Salah-salah, saya bisa tersungkur dan kesakitan. Saya tidak mau merasakan sakit dua kali.

Kau tahu? Perjalanan ini akan lebih ringan kalau saja ada yang membantu saya membersihkan sampah dan menyingkirkan duri. Ah, andai saja.

Terkadang saya iri. Saya melihat orang lain berjalan dengan mudah karena banyak orang yang membantu menyingkirkan sampah dan duri tersebut. 

Namun, kenapa jalan yang saya lalui harus begitu suram? Meskipun saya optimis bahwa terang di ujung jalan sana adalah hadiah yang akan saya dapatkan.

"Hey, bolehkah saya berada di posisimu sebentar? Saya ingin tahu rasanya tersenyum menatap jalanan yang akan saya lalui. Bukan lesu dan tarikan napas yang panjang setiap kali ingin melangkah."

Terkadang saya ingin menyerah. Biarlah angin membawa saya ke mana pun. Saya pasrah. Namun, saya teringat sesuatu. Beberapa hal di ujung jalan seolah mengatakan untuk tidak menyerah. Sedikit lagi.

Kau tahu? Setelah berjalan terseok-seok sampai ke ujung jalan, saya teringat kembali tentang jalan pulang. Rasanya sesak lagi. Tahu kalau sampah dan duri itu masih tetap kembali.

Jika tidak ada manusia yang dapat membantu menyingkirkannya, saya berharap angin segera membawa sampah dan duri tersebut pergi. Agar perjalanan saya jauh lebih ringan.

Biarlah batu dengan jalan sedikit berlubang yang menemani perjalanan saya. Itu cukup. Ya, angin? Kau dengar, 'kan?

Kamis, 04 Maret 2021

Mencari Jawaban

Menurutku,
Karena manusia itu dinamis
Bergerak, berubah
Pun perasaannya

Namun,
Aku mulai tahu
Aku mulai paham
Perbedaannya bisa dirasakan

Apa perasaan itu menjadi maju
Apa perasaan itu menjadi mundur
Tak berhenti di sana
Kecepatannya pun bisa dihitung

Ya,
Pun bisa aku keliru
Perhitungan tak tepat
Yang dirasa menjadi ragu

Kalau kau ingin lebih yakin
Coba kau peluklah
Tatap matanya
Barangkali ada jawaban lain di sana

Minggu, 28 Februari 2021

Jalanin Perlahan Juga Tidak Masalah, Kok!

Gue memberikan judul ini karena teringat masa-masa mengerjakan skripsi. Setelah gue pikir-pikir, hidup gue agak lambat. Gue lulus 4,5 tahun. Molor dari rencana gue yang ingin lulus tepat waktu. 

Meskipun terdengar seperti butterfly effect, gue mensyukuri banyak hal atas terlambatnya kelulusan gue. Setelah resmi sendirian di kos, gue jadi lebih banyak main sama teman-teman gue yang lain.

Gue merasakan juga keseruan menginap di kontrakan teman, menghabiskan waktu di kedai kopi hampir setiap malam, hingga rencana dadakan main ke luar Malang. Kenapa gue mensyukuri hal ini? Karena sebagian besar teman gue perempuan dan all of us berada di zona nyaman yang sama.

Ya, itu sebagai contoh kalau tidak semua hal yang berjalan tidak sesuai rencana itu buruk. Kita bisa mengubah cara pandang terhadap sesuatu. Karena, kalau saja gue terus merasa putus asa (meskipun sempat), gue mungkin akan melewatkan hal-hal menyenangkan itu.

Setelah lulus dan kembali ke Jakarta sebagai fresh graduate, gue bisa magang di salah satu E-Commerce besar di Infonyaa. Senang? Oh, tentu. Meskipun demikian, setelah masa magang habis, gue mulai panik.

Gue harus cepat dapat kerja full time. Ini yang seharusnya dilakukan seorang fresh graduate. Dapat kerja.

Gue sempat tertekan yang membuat gue tidur jam 3 pagi dan bangun pukul 7 pagi. Apa yang langsung gue lakuin ketika bangun tidur? Melamar kerja.

Gue sempat wawancara, kok, dengan beberapa perusahaan. Ada yang ditolak, ada yang tidak sesuai dengan nilai yang gue yakini sehingga gue tolak, dan lainnya.

Ya, gue pernah menolak juga beberapa pekerjaan karena tidak cocok dengan nilai yang diyakini. (Gue terdengar visioner, tetapi masih pakai perasaan juga). *sigh*

Akhirnya, gue magang di salah satu media online di Indonesia. Ya, setidaknya gue punya pemasukan. Masalahnya, gue tahu kalau kemungkinan diangkat menjadi karyawan itu kecil. Soalnya banyak anak magang yang sudah lebih dari 6 bulan di sana.

But here's the thing. Gue ingat dan catat dalam hati. Jenis pekerjaan apa yang gue mau, rencana pekerjaan kalau sekiranya yang gue pengin tidak tercapai, apa saja toleransi gue terhadap keadaan, berapa lama gue harus menjadi idealis, dan lainnya.

Hal-hal ini juga yang membuat gue menolak beberapa pekerjaan. Tidak sesuai dengan perhitungan yang sudah gue punya. Btw, gue pengin bilang kalau gue punya sedikit privilege; tidak dituntut orang tua untuk segera mendapat kerja dan membiayai keperluan rumah.

Dua minggu menganggur sejak magang di media online, salah satu kompetitor E-Commerce tempat gue magang di awal tahun menghubungi gue. Kalian tahu? Di sini gue lagu proses melamar pekerjaan di tempat teman gue.

Apa rasanya ada full time di depan mata, tetapi tawaran intern di perusahaan besar dengan reputasi oke menghampiri? Gue pernah kehilangan dua kesempatan sekaligus. Gue tidak akan mengulanginya lagi.

Akhirnya gue bilang ke orang tua gue kalau gue lagi proses wawancara di perusahan tempat teman gue bekerja, tetapi gue juga mendapat tawaran intern di perusahaan besar. Gue akan pilih yang memberi kabar paling pertama.

Ternyata gue dinyatakan diterima sebagai intern. Besok, perusahaan teman gue memberi kabar bahwa gue lolos ke tahap terakhir. But I already make a promise and decision.

Gue pun berjanji ini menjadi magang terakhir. Sudah saatnya gue mencari pekerjaan full time. Teman gue pun sudah memberi label pada diri gue sebagai spesialis internship. Sungguh. (But, all those internships membawa banyak pengaruh baik ke setiap wawancara yang gue lakukan, loh!)

Dua minggu terakhir magang, gue memberanikan diri untuk bertanya tentang kesempatan untuk gue berkarir di sana. Kesempatan itu pun datang setelah penantian panjang.

Gue bersyukur banget. Perjalanan gue yang tidak sebentar ini akhirnya membuahkan hasil. Ya, meskipun perjalanan ini akan sangat panjang. Ini baru permulaan.

Gue sadar, kalau saja kemarin gue buru-buru, kalau saja gue tidak pakai perhitungan, kalau saja gue asal menerima, gue tidak bisa membayangkan, sih.

Akhirnya gue paham pentingnya berlaju dengan persiapan, berlaju dengan matang, berlaju dengan banyak rencana. Pun gue sedang tidak berlomba-lomba dengan siapapun.

Gue hanya berlomba dengan ketakutan akan ketinggalan, berlomba dengan pencapaian seseorang yang sebenarnya gue juga tidak tahu kerasnya jalan yang dia lewatkan, atau berlomba untuk mendapat pengakuan. Entah.

Dear self, selamat menempuh perjalanan baru. Fighting!

Rabu, 03 Februari 2021

Mengenal Kata Cukup dengan Gaya Hidup Minimalis


Belajar hidup miminalis

Belakangan ini gue lagi tertarik dengan gaya hidup minimalis. Entah kenapa, gaya hidup ini (sebagian besar) cocok dan masuk akal untuk gue. Salah satu poin dari gaya hidup minimalis yang gue pahami adalah merasa cukup atas sesuatu yang telah dimiliki.

Gue membaca buku Goodbye, Thing: Hidup Minimalis ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki dan menonton film dokumenter Minimalism: A Documenter About the Important Things di Netflix. Sederhananya, dua hal ini memberikan gambaran tentang hidup dengan sedikit barang.

Dari buku yang gue baca, gue mendapatkan pencerahan bagaimana barang dan ruang yang kita punya itu dapat memberi sumbangan stres dan kebahagiaan yang cukup signifikan.

Fumio menjabarkan bagimana dahulu saat dirinya mengoleksi banyak barang yang pada akhirnya hanya menumpuk tanpa arti. Dirinya pun sudah terlalu lelah untuk sekedar merapikannya. Fumio juga memberi contoh bagaimana semakin sedikit barang bisa membuat perasaan menjadi lebih senang.

Ya, seperti hendak berpergian lalu tiba di hotel. Kamar hotel adalah salah satu contoh keadaan kamar yang terisi dengan barang secukupnya. Paham, kan, rasa lega melihat tempat dengan sedikit barang seperti kamar hotel? Lalu, perasaan stres dengan banyak barang ia umpakan saat pulang dari berpergian. 

Bagaimana kita harus menyusun barang ke dalam koper yang ditambah dengan barang-barang yang baru saja dibeli saat liburan. Bagaimana kita harus putar otak untuk membuat barang-barang tersebut masuk ke dalam koper.

Gue pun setuju dengan contoh yang Fumio berikan. Terkadang gue juga merasa gerah dengan barang-barang di kamar dan rumah gue yang berantakan. Apalagi kalau barang tersebut sudah lama tidak digunakan. Namun, atas nama takut nanti diperlukan, disimpanlah barang itu.

Lanjut ke film dokumenter, ada dua pemeran di sana, Joshua dan Ryan. Mereka sudah berteman sejak kecil dan banyak kejadian yang akhirnya membuat mereka memutuskan untuk hidup minimalis dan membangun web theminimalists.com untuk menceritakan perjalanan mereka.

Sejujurnya gue banyak menerima insights dari sisi Joshua. Bagaimana ia menceritakan perjalanan karier, rumah tangga, hingga ibunya yang jatuh sakit. Singkatnya, pada satu titik terendah dalam hidupnya, Joshua mencari arti dari semua barang-barang yang telah ia miliki. Rupanya nihil. Perasaannya hampa.

Mulai dari sana Joshua belajar untuk memilah dan menyortir barang yang dimilikinya. Di suatu waktu, Ryan menyadari perubahan yang terjadi pada hidup sahabatnya. Akhirnya Ryan pun memutuskan untuk ikut mencoba gaya hidup minimalis dan mulai menyortir barang-barangnya.

Long story short, ketika ibunya Joshua meninggal, ia datang ke rumah ibunya dan menemukan banyak barang. Ada sebuah kotak yang ternyata isinya foto-foto Joshua saat masih kecil.

Ada keterkaitan poin ini dengan buku Fumio. Poinnya adalah seringkali kita memberikan nilai sentimentil terhadap benda. Jadi, barang-barang banyak menumpuk atas nama kenangan. Padahal, kenangan itu adanya di pikiran kita.

Gue tidak sepenuhnya setuju karena terkadang dengan melihat album lama itulah kenangan lama muncul dengan jelas di kepala. Lalu, Fumio memberikan jalan alternatif untuk foto-foto yang sudah dicetak; di-scan dan simpan di file komputer dan semacamnya. Yes, it makes sense to me.

Dari film dan buku ini juga memberikan pencerahan tentang keberadaan benda dalam hidup. Apakah kita benar membutuhkan barang-barang tersebut atau sekadar bentuk nilai atas diri kita? Maksudnya begini, rak yang dipenuhi buku, meja rias yang dipenuhi dengan make-up, lemari dengan berbagai model pakaian, dan koleksi lainnya, apakah benar kita membutuhkannya?

Apa buku di rak sudah dibaca semua? Apakah paham dengan semua isi buku yang dibeli? Atau jangan-jangan, kita hanya ingin terlihat cerdas karena mengoleksi banyak buku? Begitu pula dengan koleksi barang lainnya.

Kalau menurut gue, tidak ada yang benar atau salah untuk gaya hidup yang orang pilih. Hanya saja, ya, gaya hidup minimalis ini bisa menjadi pengingat untuk tidak bertindak impulsive terutama saat berbelanja.

Oh, iya. Gaya hidup minimalis ini bukan juga soal pilihan warna barang yang harus netral. Bukan juga harus membeli barang yang murah dan tidak boleh beli barang yang mahal. Bukan. Selain itu, seseorang yang tidak memiliki televisi belum tentu menerapkan gaya hidup minimalis dan seseorang yang memiliki televisi bisa saja menerapkan gaya hidup minimalis.

Gaya hidup minimalis ini mengajarkan gue untuk tahu apa saja barang yang sebenarnya dibutuhkan, untuk tahu apa saja barang yang dimiliki, dan untuk tahu apa saja barang yang sering dan tidak digunakan.

Gue memahami gaya hidup ini sebagai pengingat untuk merasa cukup. Mengenali dengan baik apa itu kebutuhan dan keinginan. Bagaimana gue harus menggunakan dan memanfaatkan barang sebijaksana mungkin agar tidak menjadi tumpukan barang yang tidak berguna di rumah.

Bagaimana cara memulai hidup minimalis? Berani membuang barang itu salah satu jawabannya. Banyak orang yang terjebak dengan kalimat yang gue sebutkan di atas; takut nanti dibutuhkan. Padahal tahu kalau barang itu tidak akan tersentuh dalam satu tahun ke depan.

Ya, memang harus pelan-pelan. Bisa dilihat dari barang-barang terdekat, mungkin. Make-up misalnya? Coba diingat-ingat, lipstick apa yang sudah lama tidak digunakan? Segera buang ke tempat sampah. Selamat mencoba! 

p.s
I know I will never fully adopt this lifestyle even though I-can-decluttering-my-clothes-and-make-up because I still collect albums from my beloved boy bands GOT7 and Seventeen. *clown*